•••○•••
"Setelah passing bergerak."
"Satu langkah, dua langka."
"Jangan diam! Engkel-nya juga ikut main."
Yejun berteriak tanpa henti. Pria bermata sipit itu berusaha menerjemahkan setiap instruksi Coach Jae-Sun agar semua pemain bisa memahami materi yang tengah dijelaskan oleh beliau. Sedangkan, Coach Jae-Sun sendiri tengah menggerakkan bola di kakinya untuk mempraktikkan teori yang disampaikan. Sebenarnya ini cukup mudah, hanya sekadar teknik dasar passing. Bagi semua pemain bola, tentu hal ini sudah dipelajari dengan baik. Namun, Coach Jae-Sun merasa perlu menjelaskannya lagi sebab beberapa pemain ternyata belum paham betul bagaimana cara passing bola dengan baik dan benar.
"Di lapangan mana bisa kalian begini?" Pesan terakhir yang diterjemahkan Yeju itu sekaligus menjadi sindiran keras untuk pemain.
"Selebihnya, kalian bisa beristirahat," pungkas Yeju membubarkan sesi latihan. Secara serempak mereka mengiakan. Lalu bergegas ke tepi lapangan untuk menenggak sebotol minuman atau menyeka keringat yang terasa menjalar.
"Xavi," panggil Yeju. Xavi yang hendak mengikuti langkah teman-temannya pun mengurungkan niat. "Coach Jae-Sun ingin bicara dengamu," lanjut Yeju. Xavi hanya mengangguk, kemudian mengikuti langkah Coach Jae-Sun, Yeju, dan juga Coach Ramli—asisten pelatih—yang menjauh dari rombongan lainnya.
Raut wajah yang ditunjukkan keduanya membuat Xavi harap-harap cemas, ia terus memikirkan apa topik yang akan mereka bahas bersamanya. Pikir Xavi, mungkin mereka akan membahas soal progresnya selama latihan beberapa hari ini. Setidaknya, ia tak merasa khawatir sebab setelah teguran dari Coach Jae-Sun dua hari yang lalu membuatnya belajar banyak hal.
Coach Ramli memulai pembicaraan terlebih dahulu. Beliau berbicara dengan tatapan tegasnya, "Xavi, sebenarnya kamu adalah salah satu pemain favorit saya." Xavi tersenyum senang seraya tersipu malu ketika mendengar sepenggal kalimat yang diucapkan Coach Ramli.
"Tapi saya kecewa." Senyum Xavi seketika luntur, namun Coach Ramli segera melanjutkan ucapannya kembali ketika mengetahui perubahan raut wajah yang ditunjukkan Xavi. "Skandal yang menimpamu membuat kami harus mengambil tindakan serius."
"Skandal? Maksudnya soal perkelahian itu, Coach?" tanya Xavi kebingungan.
"Bukan, soal perkelahian itu sedari awal kami sudah tahu dan kami memakluminya. Namun, setelah mendapat kabar bahwa kamu terlibat skandal kekerasan terhadap pacarmu, kami sungguh tak percaya. Bagaimana bisa, pemain yang berlabel timnas melakukan tindakan memalukan seperti itu?" Coach Ramli menggelengkan kepalanya saat mengucapkan kalimat terakhir. Tak habis pikir.
Betapa terkejutnya Xavi saat mengetahui hal itu. Ia baru mengetahui kabar ini dari Coach Ramli. Soal ancaman Shakira malam itu ternyata bukan sekadar gertakan belaka agar Xavi mau kembali menjalin hubungan dengannya. Xavi dibuat seperti orang ling-lung sekarang, ia mengusap wajahya kasar saking tidak percayanya. Pada hari ini juga, ancaman Shakira telah berubah menjadi momok yang menakutkan bagi kariernya.
"Coach, saya tidak pernah sama sekali melakukan hal itu!" Sebisa mungkin, pria itu mencoba meyakinkan tiga orang yang ada di hadapannya.
Coach Ramli menggeleng, "tapi bukti yang ditunjukkan oleh pacarmu itu sudah jelas, Vi. Maaf, tapi kami tidak ada pilihan lain. Coach Jae-Sun pun telah memutuskannya."
Setelah Coach Ramli menyelesaikan ucapannya, kini giliran Coach Jae-Sun yang berbicara lewat terjemahan dari Yeju. "Setelah teguran yang saya berikan tempo lalu, kamu sudah melakukan yang terbaik di latihan ini. Saya paham kekecewaanmu, tapi saya lebih kecewa mengetahui skandal ini. Dengan terpaksa, saya harus mencoretmu dari daftar timnas."
"Ketenaran terkadang bisa membutakan. Saya memang sangat butuh pemain yang fleksibel dan mempunyai skill bagus, tapi sayangnya perilakumu tidak mencerminkan hal itu." Coach Jae-Sun menepuk keras pundak Xavi sebelum pergi meninggalkannya, terlihat jelas bagaimana raut wajah kecewa bercampur kesal yang ditunjukkan. Yeju menatap Xavi kasihan.
"Xavi, setelah latihan usai, berkemaslah. Malam ini, kamu saya pulangkan," pungkas Coach Ramli yang tidak bisa berbuat banyak.
Setelah hanya tinggal dirinya seorang di pojok lapangan yang jauh dari teman lainnya, pria itu berteriak kencang. Tak peduli dengan tatapan teman lain, ia beberapa kali menendang rumput hijau dengan kesal.
⚽🧤🏅🏆
"Nar, belum pulang?" Andaru yang hendak keluar ruangan berhenti, ketika melihat ke arah meja kerja Djenar yang masih berpenghuni.
"Ini mau pulang, Bang!" Gadis itu mengemasi barang-barangnya, sedangkan Andaru masih menungguinya. Agaknya, ia perlu sedikit basa-basi dengan gadis itu.
"Lo udah dengar kabar soal Xavi yang dicoret dari timnas?" tanya Andaru ketika gadis itu telah berada dekat dengannya.
"Udah."
"Sayang banget, padahal gue suka gaya mainnya. Selain itu, karakter dia yang fleksibel dan bisa ditempatkan di posisi manapun, kecuali defender. Membuatnya menjadi pembeda di dalam tim." Djenar hanya diam saat Andaru berceloteh di sepanjang perjalanan.
"Eh, tumben diam. Biasanya juga ikut komentar," seloroh Andaru.
"Bang, gue nggak ada waktu buat bahas itu sekarang. Gue ada rencana buat ngikutin Mason malam ini."
"Ke mana?"
"Nggak tahu, tapi yang pasti dia mau bertemu seseorang. Kemarin kebetulan gue ke rumahnya, tiba-tiba dia dapat telepon dari orang ini. Dari gelagatnya buat gue curiga," jelas Djenar.
"Apa iya, dia ada hubungan dengan mafia bola?" kata Andaru tiba-tiba yang membuat Djenar menoleh. " Ya, coba lo pikir. Di foto yang sempat gue kasih kemarin, Coach Rutger kasih dia tas—"
"Kata dia itu hanya baju kotornya yang tertinggal," potong Djenar.
Andaru menghela napas sejenak. "Tapi, kenapa tidak teman yang ada di sebelah tempat dia yang kasih langsung? Nggak mungkin dong, kalau temannya titip tas itu ke Coach Rutger, terkesan tidak sopan." Djenar masih mencerna perkataan Andaru, cukup masuk akal.
"Pasti isi dalam tas itu uang hasil match-fixing."
"Masuk akal! Tapi, kita bahas lagi lain kali aja ya, Bang. Gue barusan dapat info dari Bi Ratmi kalau jam delapan Mason mau pergi, dugaan gue dia mau ketemu sama orang yang ada di telepon."
Bi Ratmi adalah wanita yang sudah lama mengabdi sebagai pembantu di rumah Mason, wanita itu cukup dekat dengan sahabatnya. Tak jarang setiap kali Mason ada kegiatan di luar rumah, pria itu selalu memberitahu pada Bi Ratmi.
"Oke, hati-hati. Gue sebenarnya mau ikut temenin lo, tapi keinget kalau hari ini ada janji sama ayang," kata Andaru cengengesan. Djenar hanya mencibirnya, lalu gadis itu melangkahkan kaki ke tempat motornya terparkir.
Djenar yang tak ingin terlambat untuk menguntit perginya Mason pun menjalankan motor lumayan kencang. Angin malam yang terasa menusuk pori-pori kulit membuat gadis itu menyesal tidak membawa serta jaketnya.
•••○•••
Penasaran nggak si Mason mau ke mana? Sepertinya cuma aku yang penasaran, hem😌
Jangan lupa kasih feedback ya teman-teman untuk bab kali ini, see you in the next part! 🧤
KAMU SEDANG MEMBACA
OFFSIDE [Full Time||End]✅
Roman pour Adolescents《Cerita ini lolos dalam kategori Editor Choice pada event menulis 40 hari bersama Rdiamond Publisher》 ⚠️CERITA LENGKAP! ⚽️🥇🏆🧤 Bagi Xavi Anggara, hidup bagaikan sebuah permainan sepak bola. Tidak asal menendang tanpa ada tujuan. Tidak mudah menggi...