Diam saja dan bersikap acuh terhadap masalah yang tengah menghampiri, bahkan berniat menghindarinya bukan suatu jalan yang tepat. Memang, tidak ada orang yang merasa tenang dan kadang kali bersikap gegabah dalam menyelesaikan masalah. Bisa saja hal itu malah membuat semuanya runyam. Cara terbaik untuk hal ini adalah jangan pernah merasa takut akan hukuman yang mengancam. Tenang dan berpikir jernih adalah salah satu kunci untuk membuka pintu solusi.
Apa yang dilakukan Xavi sudah tepat. Walaupun pada awal skandal ini mencuat ia sempat frustrasi, pada akhirnya ia bisa mengendalikan. Ia tenang, dan mencari cara untuk keluar dari jeratan skandal yang berusaha menghancurkan kariernya. Ia sadar, didepak dari daftar timnas dan pemutusan kontrak secara sepihak dari Kesebelasan Biru tak serta-merta membuat kariernya hancur lebur.
Banyak klub yang ingin meminangnya, sebelum skandal ini menyergap. Termasuk klub rivalnya, Kesebelasan Merah. Bukan tidak mungkin jika skandal ini bisa ia selesaikan dengan cepat, klub lain akan melanjutkan pinangannya. Jika pun ada rezeki lebih, syukur-syukur ia dilirik salah satu klub luar negeri. Bermain untuk klub luar negeri dan menjadi pesepak bola internasional adalah impiannya sejak dulu.
"Sebelumnya udah gue peringati. Jangan coba-coba menyerang, jika tidak ingin terkena counter attack. Gue harap setelah ini lo nggak mengalami sudden death, mantan!"
Pria itu kontan berbisik di telinga Shakira saat pihak kepolisian sedang sibuk mengutak-atik sebuah file yang Xavi bawa sebagai barang bukti untuk menyangkal tuduhan dari Shakira. Gadis itu tampak berusaha tenang, walaupun raut wajah gugup dan detak jantung yang mulai memacu membuat perasaannya tidak tenang. Kemudian ia mendengkus sebelum membalas ucapan menyebalkan yang dilontarkan Xavi.
"Jangan membuat semuanya rumit, Xavi. Aku sudah bilang, kembalilah padaku dan akan kucabut tuntutan itu."
"Bukan gue yang mengalami kerumitan, tapi lo, mantan!" sarkas Xavi. Tidak ada lagi panggilan aku-kamu, Xavi coba membiasakan diri untuk memanggil Shakira dengan sapaan lo-gue.
"Let's see!"
"Ya, lihat aja apa yang akan gue tunjukin."
Entah mengapa perasaan Shakira semakin tidak karuan, bahkan polisi berpangkat brigadir tempo lalu yang ia temui terus saja melirik dengan tampang seriusnya. Kemudian saat polisi bertanya tentang file itu pada Xavi, jantung Shakira semakin berpacu cepat. File apa yang dimaksud? Apakah itu bukti dari Xavi? Memangnya Xavi punya bukti apa untuk menyangkal tuduhannya? Dalam benak Shakira terus bertanya-tanya.
Hingga sampai ketika file yang dimaksud adalah sebuah rekaman suara diputar, Shakira benar-benar bisa merasakan jika jantungnya sudah pindah dari tempatnya. Rekaman suara itu terdengar jelas, percakapan dirinya dengan Mason tempo lalu di tempat parkir apartemen. Manik mata dengan balutan softlens itu menatap Xavi tak percaya, bertanya-tanya dari mana pria itu bisa mendapatkannya atau jangan-jangan ini hanyalah rekayasa. Berbanding terbalik, Xavi tampak menunjukkan senyum iblisnya pada Shakira.
"Terkejut? Tidak menyangka? Ya, setidaknya itu yang gue rasakan saat pertama kali mengetahui sifat asli lo!" kata Xavi yang membuat Shakira kembali menelan ludahnya dengan susah payah.
"Mason pikir bisa menghilangkan buktinya, tapi ternyata tidak! Masa depanku cukup cerdik untuk membuat salinan rekaman itu." Xavi sengaja menekankan kata masa depanku untuk memanas-manasi mantannya, dan berusaha menunjukkan bahwa Shakira bukanlah prioritasnya sekarang. Xavi menganggap Shakira layaknya bola yang harus ditendang.
"Bukti ini telah berbicara bahwa Xavi tidak bersalah. Apakah Anda masih ingin menyangkalnya, Nona Shakira?" tanya polisi berpangkat brigadir dengan wajah datarnya.
Mendadak lidah Shakira kaku, dia tidak memiliki bahan untuk menjadikannya sebagai sangkalan. Rasa takut itu nyata menggelayutinya. Tidak ada yang bisa ia selamatkan, kariernya kini berada di ambang kehancuran. Tinggal menunggu waktu di mana kasus pencemaran nama baik ini diketahui oleh publik. Kesempatannya untuk ikut serta dalam New York fashion week sudah pupus.
⚽️🧤🏅🏆
"Djenar, apa kabar?"
Djenar tersenyum hangat saat seorang pria paruh baya menyambut kedatangannya dengan ramah. Sudah lama Djenar tidak melihat pria ini sebab tuntutan pekerjaan. Pria itu sibuk mengurus bisnisnya di luar negeri hingga jarang pulang ke kampung halaman. Sampai anak kandungnya sendiri sering mengeluhkan hal itu.
"Alhamdulillah, baik, Om," jawab Djenar lalu mengambil duduk.
Pria yang ada di hadapannya ini adalah Haedar, ayah dari sahabatnya, Mason Haedar. Bukan tanpa alasan ia ingin bertemu dan berbincang sejenak dengan ayah Mason. Sebelum hubungan persahabatannya dengan Mason merenggang, pria itu sempat memberitahukan pada Djenar bahwa ayahnya akan pulang. Dan pada saat itu tiba, Mason tidak akan ada di rumah. Ia hanya akan pulang saat malam hari.
Djenar tahu apa alasan Mason bersikap seperti itu. Ia hanya terlalu malas mendengarkan setiap ocehan yang keluar dari mulut ayahnya. Pasalnya, Haedar selalu ingin mengajak Mason membahas tentang perkembangan kariernya. Bukan hanya sekadar membahas hal yang positif atau mencoba memotivasi Mason, Haedar malah memberikan kritikan yang kadang membuat hatinya mencelus. Misalnya saja, membandingkan perkembangan kariernya dengan pesepak bola lain. Itulah yang membuatnya tidak betah berada di rumah selama masih ada ayahnya.
"Kita sudah lama tidak bertemu, Nar. Oh ya, ibumu bagaimana kabarnya?"
"Alhamdulillah baik, Om, kesehatan mental ibu juga lumayan membaik."
Haedar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sayang sekali Mason sedang tidak ada di rumah. Padahal Om sangat ingin membahas perkembangan kariernya," curhat Haedar.
"Sebenarnya saya kemari untuk membahas karier Mason, Om."
Ucapan Djenar membuat Haedar tertarik. Pria paruh baya itu mengamati gerak-gerik Djenar yang mengeluarkan sebuah map. Entah apa yang ada di dalam map itu, yang pasti hal itu membuat Haedar penasaran.
"Om percaya tidak, kalau mafia itu masih ada di dalam tubuh sepak bola tanah air?" tanya Djenar yang membuat kerutan di dahi Haedar semakin kentara.
"Ya, Om pernah dengar soal mafia bola itu. Tapi Om tidak tahu, apakah mafia itu masih ada sampai sekarang."
Djenar tersenyum, lalu menyerahkan map itu pada Haedar. Dengan perasaan bingung, pria itu menerimanya. "Ini apa?" tanya Haedar.
"Tampaknya mafia memang masih ada sampai sekarang, Om. Berdasarkan investigasi yang telah saya lakukan terkait mafia bola, saya curiga Mason terlihat dalam hal ini."
"Apa maksudmu?" Haedar tampak menunjukkan raut tak sukanya ketika secara terang-terangan Djenar menuduh Mason ikut terlibat dengan mafia bola.
"Di dalam map itu ada beberapa foto Mason dengan Coach Rutger. Yang membuat saya-"
"Cukup!" sentak Haedar tiba-tiba yang membuat Djenar terkejut. "Anak saya tidak mungkin terlibat!"
•••○•••
Akhirnya babak pertama sudah selesai! Cerita akan beralih ke babak kedua. Jadi, tunggu cerita selanjutnya di babak kedua ya, kawan-kawan! 😊🧤
KAMU SEDANG MEMBACA
OFFSIDE [Full Time||End]✅
Novela Juvenil《Cerita ini lolos dalam kategori Editor Choice pada event menulis 40 hari bersama Rdiamond Publisher》 ⚠️CERITA LENGKAP! ⚽️🥇🏆🧤 Bagi Xavi Anggara, hidup bagaikan sebuah permainan sepak bola. Tidak asal menendang tanpa ada tujuan. Tidak mudah menggi...