45' | Babak Pertama

49 8 23
                                    

•••○•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••○•••

   “Gouden jongen! Apa yang telah kamu lakukan?”

   Walaupun mengatakan dengan nada yang sedikit berbisik, suara Coach Rutger masih terdengar jelas di tengah kesunyian lorong di sekitar ruang ganti pemain. Semua staf dan para pemain sudah keluar dari stadion, kini tinggal Coach Rutger dan gouden jongen yang tersisa. Coach Rutger tampak meradang setelah mengetahui hasil akhir yang sangat melenceng dari kesepakatan.

   Panasnya pertandingan yang sempat berlangsung selama kurang lebih sembilan puluh menit dengan additional time lima menit hanya menghasilkan akhir remis. Sebelum wasit memperingati kick off dengan peluit di tangannya, pria berambut jabrik meminta agar tim yang dibela gouden jongen bisa mengalah dengan lapang hati. Namun, rupanya pria muda itu tidak mengindahkan atau lupa dengan kesepakatan yang telah dibuat. Bertemu dengan sang rival membuat jiwa tidak ingin mengalah-nya bangkit.

   “Coach, aku hanya melakukan apa yang ingin aku lakukan!” tutur gouden jongen.

   "Tapi ini melenceng dari perjanjian! We moeten opgeven. Saya yakin, dia pasti sangat marah."

   “Kumohon untuk kali ini saja. Aku hanya tidak ingin terlihat lemah di mata rivalku sendiri.” Coach Rutger menggeleng tak habis pikir dengan jalan pikiran pria itu.

   Seseorang telah mendengarnya diam-diam. Percakapan, serta gerak-gerik telah terekam ke dalam kamera yang ia bawa. Sebuah keberuntungan, bisa mendengar sendiri pembicaraan antara dua mafia yang tengah berdebat tanpa berpikir tak akan ada orang lain mendengar. Rupanya mereka salah besar. Keapesan sebentar lagi akan mengganyang mereka berdua.

   "Ya, Andaru memang bocah pintar yang selalu bisa mencari celah," gumam pria itu mengernyih.

⚽️🧤🏅🏆

   Selalu ada cerita menarik di balik sepak bola. Tak hanya sekadar memainkan bola di kaki dengan gawang sebagai tujuan untuk menghasilkan poin. Juga tak melulu tentang menang atau kalah, dan tim mana yang pantas dijuluki tim underdog karena kalah dalam suatu pertandingan secara beruntun. Karena ini lebih daripada itu.

   Sepak bola adalah cerita tentang sebuah tim yang berjuang bukan hanya untuk mendapat gelar. Melainkan berjuang bersama untuk mengukir sebuah sejarah. Kebersamaan selalu menjadi momen manis nan esensi. Perjuangan bersama tim tentu yang paling berkesan dan tidak akan pernah terlupakan.

   Pun demikian dalam benak Xavi. Rasa-rasanya tak rela harus menjadikan hari ini, di jam ini, menit, serta detik ini sebagai waktu terakhir ia bergabung dalam klub yang telah membesarkan namanya. Hasil remis di kandang sendiri yang didapat dari laga persahabatan, serta laga terakhir baginya, tampak kurang memuaskan. Harusnya ia bisa memberi lebih sebelum benar-benar mengucapkan selamat tinggal.

  "Vi, yakin masih mau di sini?" tanya Jauzan. Ia tampak tak tega meninggalkan sahabatnya sendirian di tengah lapangan. Sedangkan, tribune sudah lama ditinggalkan oleh para suporter. Stadion amat sepi, kecuali beberapa tukang bersih stadion yang masih membersihkan sampah sisa pertandingan.

   "Lo duluan aja, Wir. Gue masih mau menikmati hari-hari terakhir di home base Kesebelasan Biru," kata pria itu sambil menyelonjorkan kaki. Jauzan hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Lalu tangannya terangkat untuk mengacak rambut Xavi sebelum pergi.

   Menikmati senja di tengah lapangan rasanya menjadi pilihan yang tepat. Awan tampak berarak dengan warna jingga yang menambah kesan sore hari semakin terasa. Mengedarkan pandangan ke penjuru stadion membuat ingatannya terlempar. Atmosfer yang pernah ia rasakan rasanya masih ada dan akan tetap sama.

   "Ekhem, sori kalau ganggu."

   Xavi hanya bergeming ketika suara itu mengalihkan perhatiannya. Masih tanpa suara, ia memperhatikan seorang gadis yang kini telah mengambil duduk di sebelahnya. "Boleh aku temani?" tanyanya sambil tersenyum manis.

   Pria itu seakan terhipnotis, secara spontan ia menganggukkan kepala bertanda menyetujui. Jujur, cahaya senja yang terbias di wajahnya membuat Xavi terpesona. Entah mengapa degup yang terasa, membuatnya tersiksa.

   Djenar menatap Xavi aneh, ketika pria itu melihatnya tanpa berkedip sama sekali. "Kenapa?" tanya Djenar sambil mengernyitkan dahinya lucu.

  Xavi menggeleng lalu berucap pelan, "Kamu cantik."

  "Apa?" Bukannya tidak mendengar, namun Djenar perlu memastikan jika pendengarnya tidak salah. Xavi memujinya cantik?

   Sial. Hal itu malah membuat Xavi patah lidah. Dengan gugup, ia memalingkan wajahnya dari Djenar. "Ti-tidak, a-aku hanya ... ingin mengucapkan terima kasih karena kamu telah menemaniku."

   Gadis itu mengangguk sambil mengulum senyum. Ah, mengapa rasanya kecewa ketika Xavi tidak mengulagi pujian yang sempat ia lontarkan padanya?

   "Dan terima kasih karena telah membantuku sampai sejauh ini," ungkapnya tulus.

   "Tak masalah. Bagaimanapun, aku punya hutang budi, dan itu harus dibayar."

  Xavi mengiakan ucapan Djenar. Lalu merenung. Jika dipikir, entah sejak kapan sapaan aku dan kamu menjadi sangat akrab untuk mereka. Yang jelas itu membuatnya nyaman ketimbang sapaan lo dan gue.

   "Besok ada konferensi pers, 'kan?" tanya Djenar kembali bertanya setelah keheningan tampak menguasai mereka.

   Xavi mengangguk, "Ya. Tadinya aku tidak ingin mengingat konferensi besok sebab ketika mengingatnya selalu membuatku gugup."

   Djenar tertawa pelan, sejurus kemudian mengambil ponsel dari dalam tas yang ia bawa. Gadis itu menyambungkan headset pada ponselnya. Hal itu tak lepas dari pandangan Xavi. Sambil tersenyum kembali--yang membuat degup jantung Xavi berulah--Djenar memasangkan salah satu kepala headset pada telinga Xavi.

   "Aku biasanya dengerin lagu setiap merasa gugup, setelah itu rasa gugupku hilang. Mungkin kamu harus coba."

⚽️🧤🏅🏆


  "Saya tidak ingin banyak bicara tentang kasus yang tengah menimpa saya. Tunggu saja kejutan yang akan saya buat besok."

  Tepat hari ini adalah konferensi pers Xavi berlangsung. Konferensi pers ini diadakan bukan hanya bertujuan untuk memberi klarifikasi terkait hengkangnya Xavi dari kesebelasan biru. Melainkan juga klarifikasi terkait skandal yang menimpanya. Tentu ini menjadi kesempatan emas bagi para wartawan yang sudah gatal ingin menanyai Xavi banyak hal sejak skandal itu terkuak.

   "Bagaimana perasaan Anda setelah manajer klub tidak memperpanjang kontrak Anda?"

   "Perasaan? Oh, ayolah, tidak usah ditanyakan lagi. Tentu saya sangat kecewa dan ingin menuntut manajer klub. Em ... maaf, saya hanya bercanda!" 

   Seperti biasa, Xavi telah menjadi versinya kembali. Melontarkan candaan yang terdengar cringe saat wawancara merupakan hobinya.

   "Baik, ini serius. Saya sangat kecewa dengan keputusan yang diambil. Bahkan saat saya belum dinyatakan bersalah atas kasus itu. Tapi yang pasti saya akan berusaha membuktikan bahwa saya tidak bersalah."

   "Bagaimanapun, nama saya besar karena kesebelasan biru. Saya sangat berterima kasih pada manajer klub serta pelatih yang telah mempercayai saya untuk berada di klub ini. Saya sangat senang bisa berada di sini, namun kenyataan yang terjadi sekarang harus menjadi kenyataan pahit bagi saya."

   Xavi mengembuskan napas beratnya setelah mengakhiri ucapannya. Pada barisan kursi depan, ayahnya menatap haru.

•••○•••

OFFSIDE [Full Time||End]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang