90' | Babak Kedua

86 8 6
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Setengah windu kemudian ....

Rotterdam, 06 Januari


   Pada bulan prima hari keenam, suhu mengalami penurunan yang signifikan. Salju pertama jatuh di pelukan Kota Rotterdam. Rimbun pepohonan di Vroesenpark* tak seelok kala musim semi menyapa. Putihnya salju mulai bergerak meluruhi setiap jengkal ruas jalan, pepohonan, dan kanal secara konstan. Menghangatkan badan di dekat bara api adalah hal yang lazim dilakukan. Namun, pilihan yang lebih baik adalah menikmati secangkir anijsmelk** dan semangkuk sup ercis hangat sembari menatap salju yang jatuh ringan di balik jendela.

_________

(*Taman di Kota Rotterdam, Belanda
(**Minuman khas Belanda yang terdiri dari susu panas yang dibubuhi dengan biji adas manis dan dimaniskan dengan gula.
_________

   Seorang pria merapatkan parka yang membaluti tubuhnya. Hiruk pikuk yang terjalin di dalam sebuah restoran tak membuat dingin pergi begitu saja. Kedua tangan berbalut sarung rajut itu saling beradu, lalu salah satunya bergerak memutarkan sendok di dalam cangkir. Bunga lawang ikut berputar mengikuti arah sendok itu berotasi. Hal itu membuat perasaan tenang menjalari pikirannya.

   "Aku sudah memesankan tiket untuk keberangkatan kita ke Barcelona. Lusa kita berangkat, semoga verdomde sneeuw* tidak menutupi area runaway. Atau kita harus dengan terpaksa menundanya. Echt shit! Espanyol akan memutus kontrak trial ini jika kita tak segera berangkat," dumel pria berbadan tambun sambil menyendokkan sesuap sup ercis ke mulutnya.

_________

(*Salju sialan
_________

   Matanya tak lepas menatap layar ponsel yang sibuk bergetar tiap kali sebuah pesan muncul di permukaan. Pria di hadapannya hanya menggelengkan kepala sambil mengulum senyum ketika melihat tingkah gecul agennya. Cukup lama mengenal, membuat ia tahu, bagaimana sifat asli pria bertubuh tambun itu. Blak-blakan dan sering meleja, di samping auranya yang penuh karisma.

   "Ingat, ini adalah kesempatan besar. Tunjukkan bakatmu di hadapan pelatih Espanyol saat trial berlangsung agar dia tertarik dan langsung mengubah kontrak trial ini menjadi resmi. Ini tidak datang dua kali, kapan lagi bisa bermain di Segunda División* Spanyol? Setiap pesepak bola tentu ingin sepertimu, Xavi. Melebarkan sayap di Eropa."

_________

(*Nama liga sepak bola kedua tertinggi di Spanyol, di bawah Primera División.
_________

   Xavi paham akan hal itu, tentu ia akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Membela klub Rotterdam selama empat tahun membuatnya mengalami beberapa kesulitan. Awal pertama bergabung, dia harus di hadapkan dengan situasi rumit. Pertandingan hidup dan mati agar terhindar dari degradasi menjadi awal yang membuat para suporter Sparta tidak menaruh kepercayaan padanya. Menurut mereka, Xavi lah yang menjadi penyebab klub kebanggan mereka terasingkan dari Eredivisie*.

_________

(*Kasta tertinggi dari sepak bola profesional di Belanda.
_________

   Xavi memainkan permainan yang cukup buruk di debut pertamanya. Saat itu ia belum banyak beradaptasi, itu sebabnya ia agak kebingungan menerapkan taktik yang disampainkan pelatih. Namun, ia terus belajar. Tak hanya soal kemampuan dalam mengolah bola, juga belajar bahasa. Semua itu ia lakukan untuk membungkam mulut suporter yang meragukan kehadirannya di dalam klub. Hasilnya pun lumayan, tercatat, Xavi sudah mengepul sebelas gol dan tujuh belas assist selama kurun waktu empat tahun yang dijalani. Bonusnya ia mendapat rezeki nomplok, yaitu mendapat tawaran trial dari Klub Espanyol.

   "Aku sudah tidak sabar memulai trial-ku bersama Espanyol." Xavi menanggapi setelah cukup lama terdiam dalam lamunan kenangan.

   "Bagus, dan ... jangan lupa untuk mengatur jadwal pulang. Ayah dan mamamu terus saja menerorku untuk membawa anaknya pulang ke tanah air jika ada waktu senggang."

   Xavi mengangguk mafhum dengan kerinduan kedua orang tuanya. "Jeda internasional atau nanti saat hari raya datang."

   "Ya ... semoga saja, jeda internasional kali ini tidak ada halangan untuk pulang," ucap Galeno penuh harap.

   Senyum singkat terukir di wajah Xavi. Lalu ia mengalihkan pandangan untuk menatap langit Kota Rotterdam dari jendela kaca. Hanya kabut yang hinggap, tidak ada satu pun penampakan awan cumulus, stratus, ataupun stratocumulus yang biasa menghiasi langit Kota Rotterdam. Menatap langit membuatnya mengingat pesan yang dulu dikirimkan oleh seorang gadis. Sampai sekarang, pesan itu masih tersimpan pada sticky note ponselnya. Sengaja, agar ia lebih leluasa membaca jika hasrat tengah menginginkannya.

   Bola akan tetap sama bentuknya dari masa ke masa. Langit pun demikian, akan tetap sama. Walaupun kita memandangnya dari tempat yang berbeda.

⚽️🧤🏅🏆

Herculesplein 341, Utrecht, Belanda

11 Januari


   Hari kesebelas, cahaya matahari mulai menelusup masuk ke setiap sudut kota. Setelah mengalami masa terpuruk di tengah salju yang tanpa henti meluruh, kini kehangatan matahari bisa kembali dirasakan. Tapi terkadang cuaca tidak bisa diprediksi, terlebih Januari masih masuk ke dalam kategori musim dingin.

   Namun, ada yang lebih membuat gadis berbalut duffle coat itu bisa bernapas lega. Tak lain adalah ia sudah mampu menuntaskan tuntutan kerjanya. Bertahan di tengah cuaca Kota Utrecht yang dingin bukanlah suatu hal yang mudah. Sebab ini untuk yang pertama kalinya ia bisa merasakan dingin dengan suhu menunjukkan angka kurang dari nol derajat.

   Tren pemain abroad membuat semuanya bermula. Kantor redaksi mengirimnya ke kota ini demi meliput debut pertama seorang pesepak bola tanah air yang menancapkan kariernya di luar negeri. Pecinta sepak bola selalu penasaran dengan debut pertama para pemain, terlebih kerap kali mereka selalu mendesak pemain untuk segera mencari klub luar agar mereka bisa mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki. Hal ini lah yang memacu kantor redaksinya untuk mendapatkan info eksklusif tanpa perantara media luar.

   Djenar mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya ketika suara dering membuat sakunya terasa bergetar. Nama seorang terpampang, tanpa berpikir dua kali gadis itu langsung mengangkat teleponnya. Suara seorang wanita dengan ungkapan kerinduannya membuat Djenar terenyuh.

   "Djenar sudah selesai, kemungkinan besok Djenar pulang, Bu," katanya coba menenangkan. Gadis itu harus rela meninggalkan sang ibu demi tugasnya. Tidak hanya sendirian, ibunya ditemani tetangga yang sudah kenal dekat. Jadi, gadis itu setidaknya bisa sedikit bernapas lega ketika meninggalkan.

   Beberapa percakapan berikutnya bergulir, hingga menyisakan salam perpisahan. Tepat setelah Djenar menutup teleponnya, seorang menepuk pundak gadis itu. Tatapan bertanda tanya dilayangkan, pria di depannya hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Merasa tidak enak berterus terang. Sedikit info, Djenar tidak melakukan tugasnya sedirian. Ia ditemani oleh Andaru yang siap mengabadikan setiap momen percakapan bersama narasumber.

   "Well, ini mungkin info buruk buat lo. Jadi, gue baru dapat kabar kalau Pramita batal berangkat ke kandang RCDE. Kantor redaksi meminta kita untuk berangkat besok. Mereka pikir, berhubung kita masih di Eropa, jadi tugas itu dibebankan ke kita."

   Andaru menjeda sejenak kalimatnya ketika mendapati Djenar dengan raut tak enaknya.

   "Tapi, tenang. Mereka memberi kita bonus libur selama dua hari di Barcelona!"

   Alih-alih membuat senang, kabar selanjutnya semakin membuat wajahnya muram. Yang gadis itu inginkan hanyalah kembali ke pelukan ibunya.

•••○•••


Tambahan part!🧤

OFFSIDE [Full Time||End]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang