8. Dua Pasangan Takdir

708 111 14
                                    

"Apa yang kau lakukan, Prongslet?"

Harry menoleh, mendapati Sirius yang duduk santai di sofa perpustakaan. Pria itu tampak bugar dengan pandangan mata yang tajam. Lord Emrys tersenyum dan menghampiri sang ayah baptis dengan tangan memegang buku bersampul hijau dengan hiasan ular.

"Mencari buku yang menarik." Harry duduk di sofa lain. "Bagaimana keadaanmu? Apakah kau sudah lebih baik saat ini?"

Sirius tersenyum. "Tidak pernah sebaik ini. Terima kasih atas pertolonganmu waktu itu, Harry."

Harry menggeleng dengan ekspresi tenang. "Tidak perlu berterima kasih, Sirius." Ia membuka buku di tangannya dan mulai membaca halaman pertama.

Sirius terdiam. Mata kelabunya memandang lekat ke arah Harry yang fokus membaca. Entah kenapa, putra baptisnya terasa begitu jauh walaupun nyatanya saat ini ia berada di dekatnya. Seakan, Harry memiliki level yang berbeda dengan Sirius sendiri. Sirius bisa merasakan dadanya sesak tanpa sebab.

Tak lama, perapian menyala dengan api hijau. Dari sana muncul Theo dengan Hera yang tertidur nyaman di punggungnya.

Harry yang melihat itu menaikkan sebelah alis dan bertanya dengan geli. "Kali ini dia kenapa?"

Theo mengembuskan napas. Ia berjalan ke arah sofa dan duduk setelah mengubah posisi Hera agar berbaring di pangkuannya. Jemari Heir Nott mengelus dahi Hera yang berkerut karena tidak nyaman.

"Sepertinya Hera lelah. Kami berjalan-jalan dari Diagon Alley sampai London Muggle."

"Kalian sampai ke sana? Hera tidak merepotkanmu, kan, Theo?"

Theo tersenyum. Ia menyamankan posisi Hera. "Dia sama sekali tidak merepotkanku. Sama sekali tidak." Mata abu-abu miliknya berbinar ketika bertatapan dengan mata zamrud yang serupa dengan milik Hera. "Perjalanan kami penuh dengan kejutan. Kami bertemu dengan Keluarga Malfoy dan Profesor Snape!"

Sirius yang saat itu meminum teh yang sudah disediakan Layla—peri rumah Peverell Manor—tersedak. Ia dengan cepat meraih tisu dan mengusap mulutnya. Mata kelabunya melotot.

"Kalian bertemu Malfoy dan Snape?!"

Theo terkekeh geli. "Iya, Lord Black."

Sirius mengusap rambut hitamnya gusar. "Mereka tidak menyakiti kalian, kan, Theo?"

Harry menggelengkan kepala melihat kepanikan tak kasat mata Sirius. Ia mengangkat cangkir teh dan menyesap isinya pelan. Sudut bibirnya berkedut melihat reaksi tak terduga ayah baptisnya.

"Tenang saja, Paman. Mereka tidak menyakiti kami, kok."

Sirius mengembuskan napas lega.

Ketiga lelaki yang ada di sana kembali larut pada pikirannya masing-masing. Harry kembali sibuk dengan bukunya dan Theo asyik mengelus rambut merah Hera yang menjuntai di sisi wajah. Sirius tersenyum melihat keduanya yang tampak kuat dengan cara mereka sendiri. Sekalipun ia orang dewasa, Sirius merasa dirinya begitu lemah di hadapan Harry dan Theo, terutama Harry—melihat ia yang dengan mudah menghanguskan para Pelahap Maut dengan satu mantra mematikan.

Suara langkah kaki menuruni tangga membuat atensi ketiganya teralih. Amelia dan Susan Bones berjalan mendekat ke arah mereka. Ekspresi wajah Amelia terlihat canggung, sementara Susan terus berada di belakang punggung sang bibi. Sesekali ia mengintip ke arah Harry yang balas menatapnya dengan senyuman manis. Lalu kembali bersembunyi dengan wajah memerah.

"Amy, bagaimana keadaanmu?" Sirius menggeser duduknya, membiarkan Lady Bones duduk di sampingnya.

"Sirius, terima kasih atas pertolonganmu sebelumnya. Aku tidak tahu harus membalasnya dengan apa," balas Amelia pelan. Matanya melirik Harry. "Dan untukmu, Tuan Potter, kurasa aku berhutang budi padamu."

Veil of TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang