11. Dua Mahkota

442 59 7
                                    

"Confringo!"

"Crucio!'

Helaian merah terkibas sejenak ketika mantera merah melesat cepat. Memutar tubuh dengan anggun, tangan kanan yang yang menggenggam tongkat hitam dengan kilauan biru menunjuk tepat pada seorang pemuda enam belas tahun di depan sana. Sebuah senyum tajam terbentuk.

"Avada Kedavra!"

Tongkat cokelat terjentik. "Glacius!" Bersamaan mantera itu dirapal, tameng es terbentuk di depan sang pemuda. Mata hijau berkilau layaknya predator.

"Imperio!"

Terkesiap oleh mantera dadakan itu, Hera berdecih. "Sialan!"

"Bahasa, Hera!"

"Kau tidak akan memperhatikan cara bicaramu jika kau berada di posisiku, Harry!" Hera menyangkal. "Glacius!"

Di seberang arena latihan yang luluh lantak karena berbagai mantera yang terlempar, dua sosok berdiri mengamati. Sebuah senyum geli terbentuk di wajah tampan pemuda bermata abu-abu, dibarengi cekikikan gadis bermata cokelat hangat.

"Mereka sama sekali tak berubah." Theo menggelengkan kepala pasrah melihat kelakuan aneh bin ajaib Kembar Potter. Tak satu pun hari mereka terlewat tanpa adanya perdebatan. "Bisakah mereka berlatih dengan tenang tanpa berteriak seperti itu?"

Susan memutar bola matanya penuh sayang. "Kau seperti tidak mengenal mereka saja. Sudah setahun berlalu, lho."

"Iya, aku tahu itu, Susan. Kau tak perlu menegaskannya." Theo membalas dengan malas.

Susan tertawa.

Mata kelabu Theo terus mengamati pertukaran mantera dari Kembar Potter. Lusinan mantera mematikan terlontar tanpa berpikir. Bulu kuduk tengkuk Theo meremang, melihat latih tanding kedua temannya. Sungguh, itu tidak bisa disebut latih tanding jika mereka bukan penyihir sekaliber si Kembar. Pertukaran itu lebih seperti ajang membunuh, terutama dengan banyaknya mantera gelap dan berbahaya yang terapal. Theo berani bersumpah kalau gudang mantra kedua Potter lebih dalam dari itu.

"Kapan mereka akan berhenti coba." Pewaris Nott mendesah kasar. Ia mengusap rambutnya frustrasi melihat duel kedua temannya. Namun, di sisi lain, tangannya juga gatal untuk mengambil tongkat sihir dan bergabung.

Susan menyandarkan bahunya ke lengan Theo yang lebih tinggi. Senyumannya yang manis tidak menghilang. Mata cokelatnya bersinar ceria. "Kau ingin bergabung dengan mereka, kan? Kenapa tidak denganku?" tantangnya.

Theo sontak menoleh. Mata kelabunya menatap Susan penuh perhitungan hingga tak lama sebuah senyuman miring terbentuk. "Oke!"

Menjentikkan tongkat pinusnya, Susan memasang perisai pelindung sebelum melemparkan kutukan pembunuh ke arah Theo. Mata cokelatnya berubah bagai predator. "Tunjukkan latihanmu di bawah Granpa Merlin, Pangeran Keagungan."

Menyeringai, Theo memasang postur siaga. Matanya berkilat. "Musang kecil telah berubah menjadi rubah, bukan, Susan? Granma Morgana akan sangat bangga."

"Mulutmu sangat manis rupanya. Imperio!"

"Protego!"

***

Suara langkah kaki memenuhi sebuah manor besar. Jubah hitam yang membalut tubuh tinggi itu melayang sepanjang langkah. Sosok tegap Severus Snape berjalan di ruang leluhur Peverell Manor. Mata hitamnya memandang sekeliling, mengangguk menyapa para potret keluarga elite penyihir itu.

Langkah Master Ramuan berhenti di depan potret besar. Sosok berjubah hijau dengan mata biru tajam balas menatapnya. Ia menundukkan kepalanya sekilas. Mata hitamnya menatap lekat potret yang saat ini juga menatapnya.

Veil of TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang