"Rama?"
Nona Diva memanggil nama saya.
Saya jawab panggilannya sambil mengaduk teh hitam yang akan saya sajikan.
"Bagaimana rasanya hidup tanpa terbebani pandangan banyak orang?"
Tatapannya yang kosong terlihat sangat menyedihkan.
"Nona adalah orang yang hebat. Tidak pantas untuk menanyakan soal kehidupan pada saya yang rendah." jawabku singkat.
"Kau tidak melihat tingkah lelaki yang datang setiap pagi kesini?"
Nona menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Aku tidak ada apa-apanya bagi dia. Aku hanya manusia rendahan yang akan dia buang setelah menghisap semua manisku. Kita tidak ada bedanya dimatanya."
Cangkir teh berwarna putih gading itu diangkat olehnya, lalu beliau meminum teh hitam itu teguk per teguk.
"Umurmu berapa, Rama?"
Saya tidak tahu, nona.
"Saya mulai bekerja pada tuan besar sejak masih kecil sekali, saya sudah tidak ingat, nona."
Alis tebal nona terangkat pelan.
Beliau menganggukkan kepalanya perlahan.
"Bagaimana mawar yang kau tanam tempo hari?"
"Tumbuh dengan baik, nona. Sangat baik. Nona ingin saya petikkan?" tawar saya dengan harapan akan membuat nona merasa lebih baik.
"Tidak perlu, biarkan mereka tumbuh dengan bebas. Jangan dipatahkan."
Matahari terlihat mulai terbenam.
Sudah waktunya saya pulang.
"Kau adalah pelayan paling setia yang pernah kutemui. Apakah aku boleh meminta sesuatu?"
"Tentu, nona. Ada apa?"
"Kalau aku meninggal, tolong tanam mawar pucat itu diatas makamku, ya."
"Nona, jangan bicara seperti itu. Nona harus hidup, nona."
"Berjanjilah padaku, Rama."
"Nona-"
"Rama."
Nafas yang sejak tadi tertahan di tenggorokan saya keluarkan secara paksa.
"Kumohon. Kau sudah berjanji untuk menuruti kemauanku, bukan?"
"Baiklah, nona."
Senyum tercipta dari wajah manis nona.
Senyuman yang lebih indah dari bunga manapun.
Senyum yang saya harap dapat terus ada selamanya.
-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
Diva
FanfictionKisah singkat Diva, nona yang dihormati dengan kepandaian dan kecantikannya, dari sudut pandang sang tukang kebun, Rama. written by jadelinewrites. 2022.