"Yang tidak merasakan tidak akan paham, dan yang tidak mengalami tidak akan mengerti."
'''
Seventeen, begitulah mereka menyebutnya. Bukan karena mereka bertujuh belas, malahan hanya ada tiga belas batang hidung yang ada di dalamnya.
Tujuhbelas. Angka unik yang identik dengan usia kedewasaan seseorang. Sejak kecil mereka sudah melegitimasi kumpulan mereka demikian. Dengan harapan adanya kebebasan yang mereka dambakan selayaknya orang dewasa. Tanpa adanya aturan yang mengikat. Tanpa adanya tuntutan yang membelenggu.
Tahun ini, ketiga belas insan ini akhirnya menginjak usia tujuh belas tahun. Namun, apa yang selama ini mereka impikan hanyalah sebuah halusinasi belaka dari ego mereka. Mereka sadar, bahwasannya semakin dewasa maka semakin eratnya lilitan tali yang membelut kehidupan mereka. Angan-angan akan kebebasan terbang terbawa oleh kenangan masa lalu yang kini menjadi debu. Debu yang masih mengotori perjalanan hidup mereka saat ini dan pasti ke depannya.
Setidaknya itulah yang menjadi pergumulan mereka. Sebuah alasan kuat yang menyatukan mereka untuk saling terpaut satu sama lain. Saling menjadi batu sandaran satu sama lain. Saling menjadi tameng untuk melindungi satu sama lain. Sebuah perasaan yang sulit diutarakan dan dideskripsikan secara verbal.
Perasaan itu demikian dirasakan oleh salah satu dari mereka yang kini tengah berjalan lunglai menuju ke sekolah. Sebenarnya bisa saja ia meminta supirnya untuk mengantarnya sehingga itu tidak perlu repot-repot berangkat pagi dan mengotori sepatu putihnya akibat becek sisa hujan tadi malam. Namun, pikirannya kini sedang kalut. Sesekali ia menendang kerikil-kerikil kecil yang menghalangi jalannya sebagai luapan atas kekesalannya.
"Sampai kapan kau akan kalah dengan si anak pungut itu?"
Ia menghela nafasnya kasar mengingat ucapan ayahnya tadi pagi.
"Sadarlah kau terlahir dari darah orang cerdas! Dasar tidak becus!"
Sudah menjadi rutinitas baginya selama tujuh belas tahun mendengarkan cemooh yang keluar dari mulut orang yang bahkan memiliki ikatan darah dengannya.
Sangking larut dalam pikirannya, tak sadar ia sudah berada di depan kelas.
"Selamat pagi Jeonghan!"
Senyumnya merekah tatkala matanya bertemu dengan seseorang yang baru saja menyapanya.
"Hai Josh! Mana yang lain?"
"Ayo, kita ke rooftop mereka menunggu di sana!" ajaknya bahkan belum sempat Jeonghan meletakkan tasnya di bangku.
"Lalu mengapa kau sedari tadi masih di kelas?"
"Tentu saja menunggumu!" ungkapnya.
Jeonghan melirik tangan milik Joshua yang menariknya. Hatinya terenyuh, padahal bisa saja Joshua cukup mengabarinya melalui chat tanpa harus menunggunya. Lelaki di depannya ini terlalu baik untuk mendapatkan ujaran kebencian dari ayahnya. Jeonghan bahkan tak bisa membencinya meskipun Joshua-lah penyebab amarah Ayahnya padanya.
Sesampainya mereka di rooftop, dilihatnya teman-temannya berdiri membentuk setengah lingkaran. Jeonghan dan Joshua mendekat untuk melihat lebih jelas.
Di hadapan mereka ada tiga murid, duanya laki-laki dan satunya lagi perempuan. Ketiganya duduk bersimpuh dan menundukkan kepala mereka dalam-dalam tanpa berani menatap mata tajam yang menusuk mengelilingi mereka.
"Ada apa ini?" tanya Jeonghan.
"Tiga orang ini mengacau," ujar Hoshi tanpa melepaskan atensinya pada tiga murid itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
°F*ck My Life - svt
Dla nastolatkówSetiap kisah mereka mencerminkan pancarona yang indah sekalipun terselimuti awan kelabu. Ketika segalanya menjadi sulit, mereka saling memasok sedikit kebahagiaan. Suara hati mereka terhubung satu sama lain, bertaut dan berbicara dalam kepiluan. -s...