chapter 9🐺🐱

182 31 0
                                    


Jennie menatap ibunya yang sedang berdiri di seberangnya, tepat di sisi kasur tempat raganya berbaring. Ibunya hanya menatap Jennie dalam diam, seakan ingin menebak apa yang sedang di mimpikan anaknya saat koma. Dan tak perlu menunggu lama, ibunya kembali menangis tersedu.

"Sayang," suara ibunya terdengar parau. "Hari ini eomma membuat kimchi kesukaanmu. Eomma pikir, kamu pasti ingin memakannya ketika siuman nanti. Lalu, Rowoon semalam bermain di kamarmu, katanya dia kangen tante cantik nya ini. Karena ulahnya, Mino dan Hyunsuk mengomeli nya dan memberesi kamarmu yang telah diberantaki oleh nya. Jarang sekali kan melihat kakakmu dan adikmu satu itu beres-beres kamarmu? Hahahaha." 

Tangan ibunya terulur untuk mengelus pucuk kepala Jennie. "Hari ini dokter memanggil eomma. Ia ingin mengatakan sesuatu terkait keadaanmu." Wanita paruh baya itu menggigit bibirnya, berusaha menahan tangisnya, walaupun sia-sia. "Apapun yang akan dikatakan dokter tentangmu, eomma percaya kamu mampu melalui ini semua, Sayang." Ibu Jennie sudah tidak dapat menahan tangisnya. Jennie selalu benci melihat eommanya menangis, terlebih karenanya.

"Eomma menyayangimu, Jennie."

Suara ketukan kamar terdengar, dan dokter masuk. Dokter itu termasuk wanita tinggi, karena ia harus sedikit menundukkan kepalanya ketika masuk kedalam kamar Jennie. Jennie dapat melihat ibunya semakin menggenggam erat tangan Jennie, yang tak dapat dirasakan oleh roh Jennie.

"Sebelumnya, saya ingin meminta maaf." Dokter itu terdiam sejenak, berusaha menjaga agar perkataannya tak salah. "Kondisi Jennie semakin hari semakin memburuk. Jantungnya semakin melemah. Mengingat berkali-kali jantungnya berhenti, menunjukkan tubuhnya sudah tidak mau bekerja sama dengan alat bantu hidup. Bisa dikatakan, detak jantung Jennie masih ada karena alat bantu hidup ini. Bila kita terus mempertahankan keadaan seperti ini, kita hanya menyakiti tubuh Jennie. Karena gadis itu tidak akan dapat hidup tanpa alat bantu hidup ini."

Jennie membenci setiap kata yang diucapkan dokter itu.

"Jadi, saya menyarankan suatu hal." Dokter tersebut menyodorkan sebuah formulir untuk ditanda tangani. "Saya menyarankan untuk mematikan alat bantu hidup ini, dan merelakan Jennie ke tempat yang lebih baik. Tapi kami akan melakukannya bila anda bersedia menandatanginya."

Ibu Jennie hampir meremas formulir yang diterimanya. "Kau ingin aku membunuh anakku sendiri?"

"Saya hanya ingin anda membiarkan Jennie pergi dengan tenang tanpa rasa sakit lagi," Dokter itu hanya tersenyum maklum.

"Aku tidak mungkin membiarkan Jennie mati."

"Semua keputusan ada di tangan anda. Kami tidak memaksa." Dokter tersebut menepuk pundak Ibu Jennie pelan, menguatkan wanita paruh baya yang sepertinya tak mampu berdiri lagi setelah ini. "Anda yang tahu apa yang terbaik untuk Jennie."

Tak perlu menunggu lama di ruangan tersebut, Jennie segera melayang-layang menembus kaca rumah sakit, menuju udara terbuka. Ia tidak akan membiarkan ibunya membuat pilihan yang menyakiti ibunya. Jennie harus menemukan Persephone ataupun Hades.

Jennie hampir menyerah setelah semalaman melayang-layang untuk mencari perhatian, tapi tidak ada tanda-tanda Hades maupun persepohone akan muncul. Namun tak lama setelah matahari terbit ia segera merasakan hawa dingin yang dahulu ia rasakan di taman. Hawa mematikan yang membuatnya melemas seketika. Tangan dingin menggapai pergelangan tangannya dan menariknya dengan cepat terjun ke jalanan.

Jennie merasakan tatapan tajam yang mematikan dari mata hitam pria yang menariknya. Pria itu tertawa diiringi petir, seakan merayakan sesuatu. Jennie tak perlu menjadi Einstein untuk tahu pria yang ada dihadapinya adalah Hades atau Haruto.

"Wah, sudah bosan menjadi roh tanpa arah, ya?"

Jennie bergetar mendengar suara berat Dewa dunia bawah itu. "Aku tidak ingin membuat ibuku kesulitan membuat pilihan."

A ghost, but not a ghost// Park Jeongwoo X Kim JennieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang