"Kok ngelamun aja?"
"Ah? Kenapa?" Dina gelapan saat suara pria itu membuyarkan lamunannya.
"Saya tadi bertanya sama kamu, apakah kamu sudah ada pacar?" Dina diam tak menjawab. Ia bingung harus menjawab apa. Lebih tepatnya takut dengan jawaban yang akan diberikannya akan mengarah ke arah lain.
Karena Dina hanya diam saja, pria itu menghela napas sebelum akhirnya mengatakan kalau Dina sudah bisa kembali ke kelasnya.
"Maaf Pak," ucap Dina sebelum akhirnya pergi dari ruangan Pak Ridho.
Di pikirannya sekarang adalah rasa bersalahnya kepada Dosennya itu. Apakah ia salah dengan tidak menjawab pertanyaan pria itu? Tapi ia merasa pertanyaan Pak Ridho tidak membuatnya nyaman, apalagi mereka yang juga baru mengenal.
"Aduh!" Dina mengaduh kesakitan saat pantatnya menyentuh lantai akibat dirinya yang kebanyakan melamun sehingga tak memperhatikan langkahnya.
"Maaf?!" ucap orang yang ditabrak Dina.
Saat ia sudah berdiri dan mencoba melihat siapa yang menjadi korban, Dina mematung seketika. Lidahnya tetiba keluh tak bisa digunakan untuk berbicara.
"Oh, ini bukannya yang waktu itu bannya keretanya bocor ya?" tanya lelaki itu saat melihat wajah Dina yang mengingatkannya kejadian sewaktu lepas.
"Ah? I-iya, eh?! Maaf ya, tadi nggak sengaja tertabrak. Abangnya nggak apa-apa, kan?" Tanya Dina dan memperhatikan seluruh tubuh lelaki itu dari pangkal rambut hingga ujung kaki.
Lelaki itu menggeleng dan berucap,"enggak apa-apa, Saya tidak luka sedikit pun. Cuma luka di hati doang. Eh? Bercanda Saya."
Diakhir kalimat lelaki itu tertawa membuat Dina tertegun saat melihat senyumannya sedikit memaksa. Namun ia tak ambil pusing dan meminta izin untuk pergi.
"Ah! Ada-ada aja sih kau, Dina?! Bisa-bisanya nabrak orang segala! Buat malu aja," dialognya dengan diri sendiri.
Drrtt....
Dina merasakan ada getaran di saku roknya. Ternyata getaran itu berasal dari ponselnya. Diambilnya benda pipih itu dan melihat banyak panggilan tak terjawab dari Fauzan. Dina semakin merasa kalau dirinya kali ini benar-benar kacau.
"Pasti Fauzan udah nunggu aku daritadi nih."
Dina mempercepat langkahnya menuju gerbang depan kampus. Menemui sosok lelaki yang benar saja sudah menunggu di depan gerbang kampus dengan keretanya. Lelaki itu tersenyum saat sudah melihat sang bidadari berjalan ke arahnya.
Dina semakin bingung dibuat lelaki itu. Pasalnya bukannya marah lelaki itu malah menampilkan senyum manisnya kepada Dina dan menyuruhnya agar segera naik.
Saat di perjalanan pulang Dina merasa sedikit gugup untuk bertanya kepada lelaki itu, tapi untuk menyudahi rasa bersalahnya ia harus memberanikan diri.
"Zan?!" Panggilnya.
"Hmmm..." Sahutan Fauzan yang singkat membuat nyali Dina semakin menciut untuk bertanya.
"Apa nggak usah ku tanya aja ya?" dialognya dengan diri sendiri tapi sayang meskipun suaranya terbilang pelan namun telinga Fauzan masih dapat mendengarnya.
"Mau nanya apa?" Dina hampir saja lompat dari kereta saat mendengar suara Fauzan kalau saja ia tak berpegangan pada ujung baju lelaki itu.
"Hm... Kau marah ya?" Tanyanya dengan suara pelan.
"Marah?" Dina mengangguk dan hal itu dapat dilihat Fauzan dari kaca spionnya.
"Marah kenapa?" Sambung Fauzan meminta agar Dina memperjelas pertanyaannya.
"Ya marah sama ku. Soalnya telpon kau nggak aku jawab-jawab," ucap Dina sambil menunduk memandangi baju lelaki itu.
"Iya, aku marah!" Dina sedikit terkejut dengan jawaban Fauzan yang menggunakan suara yang cukup tinggi.
"Maaf, ya?" Pinta Dina.
Namun beberapa menit selanjutnya tanpa dipikirkan oleh Dina, Fauzan tertawa terbahak-bahak. Dina dibuat bingung kembali.
"Kenapa ketawa?"
"Aku memang marah sama kamu, tapi bukan karena kamu nggak ngangkat telpon aku," jelas Fauzan.
"Jadi kau marah gara-gara apa?" Tanya Dina yang masih belum mendapatkan jawabannya.
"Karena kamu masih saja pake aku-kau kalau bicara samaku. Kan, sudah aku ingatkan berkali-kali. Pakai aku-kamu kalau bicara sama aku atau perlu aku manggil kamu sayang?" Seketika wajah Dina memerah bak kepiting rebus.
Dina yang ingin menyembunyikan wajah memerahnya dari Fauzan ternyata kalah cepat karena lelaki itu dapat melihatnya dari pantulan kaca spion kereta. Lalu hal berikutnya membuat Dina ingin memukuli kepala lelaki itu berulang kali.
"Cie... Mukanya merah!" Goda Fauzan kesekian kalinya.
"Apa sih? Aku lompat nih!" Ancam Dina.
"Eh?! Jangan!" Cegah Fauzan. "Iya-iya, aku nggak ngejekin lagi," ucap Fauzan dan mengehentikan godaannya.
"Awas aja!" Ancam Dina sekali lagi.
Selama perjalanan Fauzan hanya diam dan tak ada niatan untuk mengejek gadis itu.
***
Seh... Ingat kalian membuat Saya ingin melanjutkan cerita ini. Tapi nggak bakalan bisa sesering biasanya. Karena tugas kampus yang banyak juga menumpuk nih.
Btw, Mangat buat kita semua....

KAMU SEDANG MEMBACA
MASA KULIAH
Teen FictionUdah banyak khayalan sebelum masuk ke masa kuliah. Ada banyak teman, banyak kating cogan, banyak pelajaran baru. Seribu sayang kalau yang dikhayalkan nggak sesuai. Di sinilah Dina yang sedang menjadi MABA di salah satu kampus di kota Binjai. Melanju...