Sebenarnya Ridho tak suka keheningan. Bahkan untuk sejenak, ia sangat benci. Namun, kali ini ia sangat menyukai suasana itu. Ia dapat dengan leluasa mencuri pandang gadis yang duduk sebelahnya.
Tampaknya gadis itu tak menyadari kalau dirinya tengah diperhatikan oleh Ridho. Lihat saja, dengan santainya Ridho memandang wajah gadis itu.
Putih dengan pipi kemerahan. Wajah yang chubby dan jangan lupakan lesung pipinya. Semua sangat sempurna.
"Tin!!!!" Suara klakson mobil yang ramai tak sekali pun mengalihkan pandangannya.
"Pak?!" Suara dan guncangan yang lembut menyadarkan Ridho. "Sudah lampu hijau, Pak."
Ridho benar-benar malu kali ini. Bagaimana bisa ia kehilangan fokus saat berada di jalan raya. Dengan sigap, Ridho menjalankan mobilnya.
"Bapak lagi banyak kerjaan ya?" Pertanyaan yang dilayangkan Dina membuat kening Ridho berkerut.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Dina menunduk. Tak berani menatap lawan bicaranya.
"Karena saat di lampu merah tadi Bapak melamun." Suara Dina sangat pelan bahkan terkesan takut untuk mengungkapkan isi pikirannya.
Ia takut salah bicara. Apalagi dengan orang yang lebih tua darinya. Tak disangka, bukannya kata-kata amarah yang didengar malah suara tawa yang sangat lepas. Dina mengangkat kepalanya dan menoleh pada Ridho.
Ridho sangat geli mendengar ucapan gadis itu. Sampai ia tak menyadari telah mempermalukan dirinya untuk ke dua kali di depan gadis itu.
"Khem?!" Ridho berusaha menetralkan diri. Sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Dina. "Saya tidak apa-apa. Bahkan pekerjaan Saya, alhamdulillah sudah selesai semua."
"Jadi kenapa Bapak melamun saat di lampu merah tadi?"
Ridho menggaruk tengkuknya. "Sebenarnya Saya lagi memperhatikan kamu. Saya sampai lupa kalau kita berada di lampu merah dan lampu sudah berubah hijau."
Dina memandang wajah yang tengah serius memperhatikan jalan. Tak tampak raut kebohongan. Apa yang dikatakan pria itu adalah benar.
Suasana yang hening membuat Ridho menoleh sekilas ke arah Dina.
"Oh iya?! Ini belok kemana?" Dina tertegun. Dengan cepat ia menjawab sebelum mereka nyasar.
"Belok kiri Pak, nanti ada pohon mangga di depan sana. Itu rumah Saya." Ridho mengangguk.
"Terima kasih Pak, sudah ngantar Saya," ucap Dina sebelum turun dari mobil.
"Iya, sama-sama. Saya juga berterima kasih karena sudah menemani Saya makan." Ridho tersenyum manis. Untung saja kesehatan jantung Dina sangat baik, kalau tidak. Mungkin dirinya akan pingsan melihat manisnya senyum pria itu.
"Iya pak, sama-sama. Bapak tidak mau mampir?" Ridho melihat arlojinya. Dengan berat hati ia menolak kesempatan emas itu.
"Maaf banget, Saya sebenarnya ingin mampir. Tapi Saya ada urusan pekerjaan. Lain kali saja." Dina mengangguk.
"Kalau begitu Saya pulang. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati Pak!" Ridho menjawab dengan membunyikan klakson mobilnya.
Dina dapat bernapas dengan legah saat melihat mobil Ridho menjauh dari kediamannya.
Baru saja membalikkan badan, wajah seseorang berhasil mengejutkannya.
"Astagfirullah! Fauzan! Ih... ngeselin banget sih!" Sang punya kejahilan tertawa terbahak-bahak melihat raut kesal Dina.
"Tadi siapa?" Dina yang sebenarnya masih ngambek karena kejahilan Fauzan menjawab dengan jutek.
"Orang." Kening Fauzan berkerut.
"Namanya siapa?"
"Ridho."
"Ridho siapa?" Fauzan benar bingung. Ia tak pernah tau kalau ada teman gadis itu bernama Ridho.
Fauzan yang terus bertanya membuat Dina semakin kesal. Bukannya dibujuk malah diberi pertanyaan. Memangnya ini sedang quiz?
"Tau ah!" Dina pergi masuk ke dalam rumah meninggalkan Fauzan. Namun tangannya ditahan oleh lelaki itu.
"Jangan marah dong. Maaf buat yang tadi. Nanti aku belikan es krim mau?" Mendengar kata es krim wajah Dina langsung berseri-seri. Rasa kesalnya telah hilang ditelan bumi.
Fauzan tersenyum melihat wajah Dina yang tidak cemberut lagi. Tapi rasa penasarannya belum tuntas. Ia kembali bertanya pada Dina.
"Ridho itu siapa? Perasaan kamu nggak punya teman yang namanya Ridho."
"Khem?! Sebelum aku jawab bisa nggak tangannya di lepas." Fauzan baru menyadari kalau ia terus memegang tangan gadis itu. Ia pun melepasnya dengan lembut dan terpaksa.
Dina sebenarnya sedikit kecewa karena Fauzan melepaskan tangannya. Eh?! Apa yang barusan ia pikirkan? Dina menggeleng. Tingkah Dina barusan membuat Fauzan khawatir. Ia pun segera memanggil nama gadis itu.
"Kamu kenapa? Pusing?" Dina berhenti lalu kembali menggeleng manjawab pertanyaan Fauzan.
"Ridho itu dosen aku."
"Dosen?" Dina mengangguk.
"Kenapa kamu bisa sama dia?"
"Bisa nggak kita bicaranya di dalam aja? Kakiku pegal." Dina menatap kedua kakinya yang cukup lelah hari ini.
Tiba-tiba saja Fauzan menggendong Dina membuat gadis itu terkejut dan menjerit.
"Eh? Apa-apaan ini? Turuni nggak?" Dina meronta-ronta dalam gendongan Fauzan. Tapi namanya juga Fauzan, badan kecil Dina tak sebanding dengan kekuatan lelaki itu.
"Bukannya kamu bilang kaki kamu pegal?"
"Tapi nggak gini juga! Turuni nggak?" Bukannya menurut, Fauzan seolah-olah sengaja menutup telinganya. Ia menghiraukan perintah gadis itu.
Fauzan membawa Dina masuk ke dalam rumah. Sadar dengan kekuatannya, Dina hanya bisa pasrah dibawa layaknya karung beras oleh Fauzan.
"Dasar bandit!" Dumel Dina. Fauzan yang mendengarnya tertawa geli.
***
Assalamualaikum.
Wah... sikit-sikit udah bisa nambah nih ceritanya. Siapa yang kangen?Saya??!!

KAMU SEDANG MEMBACA
MASA KULIAH
Teen FictionUdah banyak khayalan sebelum masuk ke masa kuliah. Ada banyak teman, banyak kating cogan, banyak pelajaran baru. Seribu sayang kalau yang dikhayalkan nggak sesuai. Di sinilah Dina yang sedang menjadi MABA di salah satu kampus di kota Binjai. Melanju...