seorang laki laki menatap kosong kedepan, tangannya bertumpu pada pembatas balkon kamar, sudah tiga puluh menit berlalu usai nyeri kepalanya kambuh, menatap ke arah ponselnya yang menampakkan foto 3 orang remaja yang tengah saling merangkul, senyum getir tercetak di bibir laki laki itu.
"Kalo gue egois mungkin sekarang lo punya gue."
jauh dalam lubuk hatinya ia sungguh ingin bersama perempuan itu, saling menjaga untuk waktu yang lama, namun ada rasa tak ingin membuat orang yang ia cinta semakin bergantung padanya, hingga ia berada pada keputusan ini, menjaga perasaannya sendiri, untuk tidak menerima perasaan perempuan itu, meski ia sendiri senang ketika mengetahui bahwa perasaan selama 3 tahun belakang terbalas.
namun laki laki ini memilih untuk tidak memulai apapun.
tidak ada yang tau mereka akan berakhir seperti apa, namun yang terburuk adalah ketika memutuskan untuk bersama, salah satu diantara mereka harus siap terluka.
itu sebabnya ia takut tidak ada hal yang akan berakhir baik jika dimulai bersamanya.
ia tersenyum miris mengingat dirinya begitu mencintai perempuan itu hingga tidak mampu untuk mengikatnya dengan hubungan sementara.
terkekeh pelan laki laki itu merutuki dirinya sendiri.
"Dasar bodoh."
"Kapan matinya sih goblok."
Ia tak ingin nantinya akan sulit untuk menerima kenyataan, fakta bahwa ia tidak akan bisa menjaga perempuan itu dalam waktu yang lama, ketakutan tak berdasar ini setidaknya masih menjadi alasan kuat agar tetap menahan perasaannya sendiri.
Setidaknya dengan begini ia tidak perlu bertanggung jawab atas perasaan orang lain.
Begini saja, sudah cukup bisa melihatnya tersenyum sudah cukup baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alive
Teen FictionTerlepas dari segala kemungkinan buruk, aku dan kamu perlu mencoba untuk tau akhir dari cerita kita berujung seperti apa. Sekalipun tidak ada hal baik diantara kita nantinya, aku tidak akan pernah menyesal pernah memulainya. -kahel grahita