Chapter 6: Melompat

1 0 0
                                    

Matahari pagi itu seakan memberitahuku kalau sudah waktunya aku untuk bangun. Angin pantai mulai menerpa diriku ketika sedang berjalan meninggalkan tenda tempatku tidur tadi. Sudah terlihat beberapa anak buahku disini membaur dengan baik. Dan juga sekarang aku bisa menikmati roti terbaik di Distrik Sidoarjo di pulau ini. Namun aku tak boleh terlena dengan itu semua. Aku harus segera bertindak. Setelah tempo hari Valerie bercerita tentang penyelamatan para tawanan tersebut aku nyaris saja meluapkan semua amarahku. Setelah semua hal yang sudah kuperbuat pada pemerintah mereka melakukan itu padaku dan semua anak buahku. Mereka bahkan memberi sebuah tuduhan-tuduhan palsu kepadaku. Memang sudah seharusnya aku segera melepas topeng mereka dan membeberkan semuanya pada seluruh warga. Mulai hari itu setelah beberapa pertimbangan dan tambahan banyak informasi akhirnya aku dan seluruh anak buahku memutuskan untuk bergabung dengan Kain Merah. Ini merupakan keputusan terbaik, setidaknya ini lebih baik daripada menjadi burung peliharaan pemerintah. Apa gunanya juga hidup sejahtera dan terjamin kalau terkekang dan tanpa kebebasan. Dan hari ini merupakan hari penting dimana kami berencana untuk menyerang pemerintah tepat di pusatnya, Istana Negara di Distrik Jakarta. Ini memang terdengar gila namun kami harus melakukannya. Dan penyerangan tersebut hanya sebuah pengalihan perhatian, tujuan kami sebenarnya adalah merebut kembali mesin waktu dan memperbaiki semuanya dari awal dimana mereka mulai merubahnya. Satu penyerangan di Istana negara dengan balutan aksi demonstrasi para warga dan satu serangan di Pulau Nusa Kambangan untuk merebut mesin waktu tersebut. Ya memang ini rencana besar jadi tidak heran kalau rencana besar ini sudah direncanakan sejak 3 tahun yang lalu. Dan juga massa yang dikumpulkan untuk demonstrasi juga sudah cukup banyak, setidaknya cukup banyak untuk menutupi semua jalanan yang ada. Semua koneksi yang dibutuhkan sudah terkumpul mulai dari transportasi hingga medis sudah terkumpul semuanya. Mereka dengan tanpa paksaan sedikitpun bergabung dengan Kain Merah. Namun kami tak boleh meremehkan pemerintah. Lawan kami kali ini bukanlah seorang bocah kecil yang hanya bisa bermain kelereng namun seorang senior yang mampu menghasut semua orang dengan kecerdikannya. Sebenarnya kami masih belum tahu siapakah yang mengendalikan semua ini. Aku yakin pasti ada satu orang yang memimpin mereka semua dan menjadi otak dibalik semua kejadian ini. Pada awalnya Kain Merah beranggapan kalau orang itu adalah presiden sendiri, namun mereka salah para presiden tersebut hanyalah sebuah boneka yang dikendalikan seseorang dan entah siapa itu. Kami pun menyebut orang itu dengan sebutan Queen. Seperti sang ratu yang mengendalikan rajanya seperti itulah Queen yang mengendalikan presiden dan seluruh bawahannya. Memang benar perbedaan pendapat itu sebuah hal yang wajar namun beda lain halnya dengan ini, ini bukan lagi sebuah perbedaan pendapat namun sebuah pendapat yang melawan arus dan menghancurkan pendapat siapapun yang menghalanginya. Aku rasa kami tidak akan semudah ini mengungkap siapa Queen sebenarnya.

Kondisi ayah Gema mulai membaik, sekarang ia mulai bisa berjalan sedikit meskipun dengan bantuan tongkat. Semenjak Gema tersadar setelah kejadian tempo hari ia langsung mengikuti pelatihan khusus bersama Dadang. Ya sepertinya anak muda itu menyimpan sesuatu yang amat mendalam setelah melihat kondisi ayahnya. Aku berharap ia tidak akan bertindak gegabah hanya gara-gara tidak bisa mengendalikan emosinya sendiri. Dan yang paling membuatku heran adalah perkembangan Valerie yang cukup meningkat pesat. Entah sejak kapan gadis yang hanya bisa berlari cepat ini mulai menguasai salah satu seni bela diri. Memang ia masih dalam tahapan pemula namun aku pikir itu sudah cukup untuk bisa melindungi dirinya sendiri. Dan disini hanya aku saja yang mungkin tidak berkembang. Tapi ya sudahlah apa boleh buat.

" Selamat pagi Pak Reiza."

Baru saja aku memikirkannya sekarang ia sudah muncul dibelakangku sambil membawa dua buah roti bluder ditangannya. Ia kemudian memberikanku 1 roti bluder itu dari tangannya. Rambutnyapun mulai terburai akibat hembusan angin ketika ia mulai melangkah melewatiku. Sekilas aku melihat sosok sahabatku dulu. Ia benar-benar sama persis sepertinya, namun entah mengapa aku merasa kalau itu bukan dia. Lalu sebuah pemikiran tiba-tiba muncul dikepalaku.

Esok Yang Lebih BaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang