Chapter 8: Datang dari Esok

1 0 0
                                    

Bayang-bayang akan damainya dunia ini masih terus berputar dalam kepalaku. Masih dalam lamunan konyolku ini aku sempat berpikir apa jadinya kalau dunia ini sejak dari awal tidak ada yang namanya perbedaan. Hanya satu, satu saja yang ada. Tidak ada negara, tidak ada ras maupun kasta, bahasa pun hanya ada satu, dan bahkan tidak ada agama. Ya sebagian orang ada yang beranggapan kalau sumber dari berbagai pertikaian dan ketidak damaian dunia ini adalah perbedaan itu. Karena perbedaan itulah semuanya ingin merasa lebih baik. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka punya lebih baik dan memaksakannya terhadap orang lain. Lantas aku pun mulai berpikir dan menarik jauh diriku ke ujung dari permasalahan ini. Kalau memang perbedaan itu adalah sumber dari berbagai masalah lantas mengapa kita tidak mencoba memikirkan solusinya? Kita malah memaksakan apa yang kita punya, bukankah akan lebih baik kalau kita menggabungkan semua perbedaan yang ada menjadi satu kesatuan. Sebuah kesatuan yang serba bisa dan saling menutupi kekurangan yang ada. Kalaupun ada orang yang berpikiran bahwa dalam kehidupan ini harus serba sama untuk menghindari permasalahan. Ya bayangkan saja, kau tidak akan bisa membuat sebuah rumah hanya menggunakan batu bata saja.

Masih dalam pusing aku berusaha bangkit, sekuat tenaga aku mengangkat tubuhku sendiri agar bisa duduk dan mengamati sekitarku. Samar-samar aku mulai mengenali dimana aku sekarang, mana mungkin juga aku tidak mengenali bangunan ini. Tepat sekali ini merupakan bangunan dimana aku pernah duduk menuntut ilmu disini, gedung sekolah SMA ku. Setelah beberapa saat rasa pusing dari kepalaku mulai mereda, akupun mulai berjalan dengan perlahan. Setelah pulih sepenuhnya aku langsung melompati salah satu pagar yang bagian atasnya sudah lapuk. Aku masih ingat betul pagar inilah akses utama para siswa dulu ketika ingin membolos. Sambil bersandar disebuah pohon yang terletak tak jauh dari jalan raya ini aku mulai berpikir, apa yang kulakukan sekarang? Aku berniat untuk kembali ke masa depan, namun tidak bisa. Aku sudah berulang kali menekan tombol home namun tidak terjadi apa-apa. Sepertinya apa yang kulihat sebelum terlempar kesini ternyata benar. Mesin itu hancur ketika aku sudah memasuki portalnya. Rasa bingung dan panik mulai menghampiriku. Sempat berpikir juga kalau lebih baik aku memulai hidup baru disini dan melupakan segalanya, namun itu mustahil. Mana mungkin bisa aku melupakan apa yang sudah aku lewati. Ratusan nyawa melayang tepat dihadapanku sendiri dan aku lebih memilih untuk memalingkan muka serta melupakan segalanya? Ayolah diriku jangan bercanda. Dengan segenap hati aku mulai menetapkan diri, setidaknya aku harus menggagalkan proyek mesin waktu itu, meskipun pada akhirnya aku akan terjebak dimasa ini. Sebagai langkah mungkin aku harus bertemu dengan Pak Shodiqin. Tak mungkin juga aku langsung bertemu dengan Valerie apalagi dengan diriku sendiri. Memang masih belum terbukti namun aku takut hal buruk akan terjadi kalau aku bertemu dengan diriku sendiri di masa ini. Sel-sel tua di otakku ini mulai bekerja mengingat dimanakah rumah Pak Shodiqin di masa ini. Ya tak bisa dipungkiri memang, aku sudah lupa dimana rumah tersebut. Mengingat terakhir kali aku kerumahnya adalah 10 tahun yang lalu. Lagipula sekarang aku juga tidak tahu tanggal berapa sekarang, tapi setidaknya aku tahu kalau sekarang sekitar jam 4 sore, ya langit senja ini tak pernah berbohong. Aku pun mulai menyusuri trotoar dan masih berusaha mengingat akan lokasi rumah tersebut. Samar-samar aku mendengar ada seseorang yang memanggilku dari belakang, ya mau dipikir bagaimanapun itu tidak mungkin bukan? mana mungkin ada yang mengenaliku dimasa ini. Ya mungkin saja orang itu salah.

" Reiza Daniarta!"

Pada awalnya aku sengaja untuk tidak menoleh, namun begitu nama lengkapku dipanggil sontak saja aku kaget. Sembari menoleh ke belakang aku mendapati wanita tua berpakaian serba hitam. Cantik, itulah pendapatku setelah melihat wajahnya. Aku yakin dikala mudanya ia pasti wanita yang cukup cantik. Meskipun sudah berumur sekitar 60 tahunan kulit keriputnya tersebut masih belum bisa menyembunyikan kecantikannya.

" Ini aku."

Masih dengan wajah kebingungan aku terus menatap wanita tua tersebut, lalu tak lama kemudian butiran-butiran air mata mulai menetes diwajahnya.

Esok Yang Lebih BaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang