chapter 12

302 29 0
                                    

Hermione kini duduk di salah satu meja cafe yang terlihat sepi, menatap lurus ke pria di hadapannya.

Sudah lebih dari sepuluh menit berlalu, namun tidak ada tanda-tanda jika salah satu dari mereka akan mengeluarkan suara.

Diam saling menatap, mencoba untuk mempelajarinya ekspresi satu sama lain dengan tangan terkepal di bawah meja.

Hermione tidak tau apa yang terjadi, tapi pria itu tiba-tiba menghubunginya lewat telepon. Mengatakan bahwa dia ingin bertemu setelah satu bulan lebih menghilang bagai ditelan bumi. Meninggalkan Hermione dengan tanda tanya besar di benaknya.

Hermione bisa menebak alasan di balik semua itu. Ia merasa tidak tau diri. Merusak rumah tangga orang lain lalu merasa sakit hati karena ditinggalkan oleh seorang pria yang lebih memilih istrinya.

Ia tidak berhak merasa seperti itu.

Hermione sedikit berharap jika pria itu mungkin akan datang lebih awal padanya lalu menjelaskan semua hal yang terjadi.

Hermione mengamati pria di depannya. Draco terlihat rapi dengan setelan jas kantor yang masih melekat di tubuhnya.

Hermione mulai bertanya-tanya, bagaimana bisa pria itu dengan mudah menjalani hidup tanpanya disaat Hermione mati-matian menahan rasa sesak di dada.

Seakan-akan berpisah darinya bukanlah suatu hal besar yang mempengaruhi kehidupan pria itu.

Seharusnya Hermione tidak merasa seperti ini. Sejak awal Hermione sudah mengetahui konsekuensi dari hubungan yang ia jalani dengan Draco.

Jika diibaratkan, Draco adalah lautan lepas dengan kedalaman tak terhingga dan Hermione adalah manusia biasa yang dengan sengaja menenggelamkan dirinya sampai dasar laut tanpa tahu cara kembali ke permukaan.

Hermione menundukkan kepalanya, melirik arloji yang bertengger di tangannya. Lalu kembali memandang pria di depannya dengan tatapan yang sulit di artikan.

Well, don't you sit in front of me
and wait for me to talk

Musik terus mengalun di dalam ruangan. Menjadi pengiring dalam keheningan yang terus menyelimuti dua insan saling tatap.

Hermione menghembuskan napas pelan. "Sampai kapan kau akan diam?" Pertanyaan itu terlempar dari bibir tipisnya yang dipolesi lip balm berwarna merah muda.

Pria itu tak kunjung memberikan jawaban.

Hermione hendak beranjak dari duduknya namun kembali mengurungkan niatnya saat pria itu akhirnya mengeluarkan suara.

"Maaf."

Hanya satu kata yang terucap, namun itu sudah cukup untuk membuat genangan air di pelupuk mata Hermione. Mendengar suara pria itu membuat sesuatu di dalam Hermione merasa lega, Hermione sangat merindukannya.

Hermione benci kenyataan bahwa ia mencintai Draco, dan ia juga benci mengetahui fakta bahwa pria itu baik-baik saja tanpa dirinya.

Seolah Hermione tak pernah menjadi bagian besar dalam hidup Draco. Seolah janji dan kata-kata yang pernah terucap dari bibir pria itu kehilangan arti.

"Astoria mengetahuinya." Suara berat pria itu kembali menyapa gendang telinganya. Hermione bisa melihat ekspresi wajah Draco mengeras.

Hermione kembali mendudukkan dirinya perlahan. Melihat ke arah tangan Draco yang ada di atas meja lalu perlahan menatap netra abu milik pria itu.

"Astoria tahu tentang hubungan kita." Ulang Draco, kembali memperjelas kalimatnya.

Bibir Hermione terasa kelu, seolah ada empedu yang tersangkut di tenggorokannya.

London BreezeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang