KEMAH

304 2 0
                                    

Sore ini, tubuhku begitu menggigil. Matras terpal tak cukup buatku hangat. Padahal aku sudah minum parasetamol selepas memandu outbound tadi.

"Masih pusingkah?" Raihan mendatangiku.
Tangannya menyentuh dahi dan tenggorokanku.
"Hmm.. ya sudah. Kalau begitu, kamu enggak perlu ikut api unggun dulu ya malam ini. Istirahat aja dulu."
Aku mengangguk.

Untuk meredakan pening, aku coba memejam mata. Sesekali masih terbangun, lalu kupejamkan lagi. Namun aku benar-benar terbangun kala hentak kaki menyergap telingaku.

"Du, Du. Kamu masih panas ya?" suara Rika memecah hening. Sejurus, tangannya hinggapi dahiku.
"Waduh.." Dia pun memandangiku bak tikus yang masuk perangkap.
"Kamu kalau cuma pakai ini saja, panasmu enggak bakal turun," kudengar sayup ceramahnya.

Seketika dia hilang dari pandanganku. Namun tak sampai lima menit, dia kembali membawa sesuatu yang tergulung.

"Nih, pakai baju olahragaku dulu."
"Hmmm….?" balasku
"Aku lihat tadi baju olahragamu basah kuyup sehabis outbound. Biar enggak kedinginan, pakai dulu bajuku ini ya?"
"Nggak apa, Rik?" tanyaku lirih.
Dia mengangguk. Seketika itu dia bergegas keluar dari tenda.

Mengingat waktu yang makin gelap, kawan-kawanku terlalu sibuk di luar. Mempersiapkan segalanya untuk pesta puncak kemah. Aku tak bisa berbuat banyak karena tubuhku yang lemas saat ini.

Aku coba menegakkan badanku. Perlahan aku mencapai kesadaranku. Setengah menit aku terdiam. Lalu kulihat seragam olahraga yang teronggok di muka. Kupegang, agak kuremas. Rasanya cukup untuk mencegah angin malam menghantuiku.

Apakah langsung kupakai saja? Tapi kaosku sendiri lumayan basah. Pakai atau tidak?

Ya sudah. Akhirnya, kupakailah seragam bercorak kuning-biru itu. Kemudian aku kembali berbaring. Bertumpu kepala di atas naungan tas ransel. Dan benar kata batinku, "tubuhku menjadi 'hangat' saat memakainya".

*-*-*

Aku menghadap cermin. Menatap dalam lekuk tubuh yang begitu kentara. Berlapis setelan olahraga SMA milik Rika.

Aku tidak menyangka hangatnya katun atasan begitu menyerap dingin yang datang. Bulu-bulunya merata. Tidak seperti punyaku yang sebatas di sekitar logo sekolah.

"Bolehkah kutukar seragammu, Rik?" gumamku. "Aku sangat suka."

Siapa sangka Rika begitu pandai mengelola pakaian olahraganya. Padahal dia dikenal sebagai gadis super sibuk satu jurusan. Ikut lomba debat tingkat provinsi. Pun Adiwiyata dan Duta Anti Narkoba. Terlebih dua kegiatan terakhir, yang sering melibatkan seragam olahraga.

"Du..." Aku terkejut Rika menepuk pundakku. "Boleh, kok."
"Heh...?"
"Kamu mau bertukar seragam denganku, kan? Aku siap."

Aku masih menganga.

"Aku enggak masalahin bau badanmu. Aku enggak peduli apa kata teman kelasku. Aku tetap sedia memakai seragammu."

Aku hening. Membayangkan Rika yang memakai seragam olahragaku. Di jam olahraga, tanpa dicurigai banyak orang. Lantas kualihkan pandangan ke arah perutku.

Begitu ketat di perut dan pinggang. Aku sempat cemas, jika baju ini kupakai setiap olahraga sekolah. Apakah aman ketika aku bersenam lantai? Apakah aman kala aku bermain voli?

"Du, aku sudah paham jalan pikirmu. Ketimbang telat, mending jawab dulu pertanyaanku: 'Jadi tukeran atau tidak?'"

"Oke. Jadi." Aku menjawab singkat.

Tanpa basa-basi, aku langsung menyalami sang gadis. Seketika ia pun berubah kostum menjadi seragam olahragaku.

Aneh. Padahal tadi habis kupakai untuk berbasahan di sungai. Kenapa sekarang mendadak kering?

"Makasih banyak, Du."

Rika melepas genggamanku. Melangkah pergi. Lalu hilang ditelan kabut tipis.

Tak berselang lama, kabut itu kian mengembang. Membesar dan hitam. Dan hinggap di atas kepalaku.

"Dar...!"

Mendadak di depanku ada Raihan. Memercikku dengan air supaya lekas bangun.

"Du, bangun, Du," ucapnya.
"Hmmm..." jawabku sambil mencari nyawa.
"Bangun dulu, yuk. Soalnya dari tadi kamu susah dibangunin. Habis itu kita makan bareng." Dengan entengnya Raihan acungkan jempol ke aku.

Aku mengedipkan mata. Tersadar. Kemudian beranjak ke tenda dapur bersamanya.

+++
Bersambung
+++

DUHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang