KARYAWISATA

125 1 0
                                    

Berhubung besok sudah hari Sabtu, aku dan Hanum bersepakat kata. Kita harus tidur di kamar yang sama, dengan pakaian yang sama. Meski mulanya ia mengerutkan dahi, akhirnya wajahnya mengiyakan permintaanku.

*-*-*

Seperti Januari yang telah lalu, hujan mengguyur cukup deras. Banyak titik air yang tersenyum dari balik kaca.

"Kak Nana, Kak Nana. Coba lihat sini!" Saras menyergapku. "Bentuknya bagus, kan?"

Ukiran tanda hati yang bertulis nama kami. Aku hanya mengangguk pelan untuknya.

"Kamu nanti tidur sama siapa? Sama aku, kan?"
"Heem, sama kamu, Ras. Sama Hanum juga."
"Wah, yang bener, Kak Nana?" Saras berdecak kagum. "Asyik... Aku bisa diajarin MTK sama Hanum."

Senyum tipisku tak mampu menghentikan imajinasi Saras. Gadis itu sebegitu fanatiknya dengan Hanum. Ya, wajar saja. Soalnya Hanum sudah jadi aset berharga sekolah.

Sejatinya, alasanku mengajak Hanum untuk tidur bersamaku bukanlah tanpa sebab. Aku begitu penasaran dengan koleksi seragam olahraga yang dia miliki. Dengar-dengar, setelan SD-nya yang dulu berbahan bulu. Kepincutlah hatiku.

"Anak-anak, jangan lupa dengan tugas kalian nanti, ya?" Bu Dewi memberi instruksi ke arah siswa.
"Baik, Bu," balas kami kompak.
"Catat pesannya Pak Indra dan Pak Buyung."
"Baik, Ibu."

Kemeriahan mikrobus begitu mewakili semangatku. Semangat untuk karyawisata ke kebun apel. Sekaligus berpesta dengan Hanum.

*-*-*

Setelah seharian di kebun apel, aku pun membujurkan badan di kasur putih. Begitu empuk, hingga ingin rasanya untuk tidur duluan. Tapi aku sudah ada janji dengan Hanum malam ini. Kuharap dia juga masih terjaga.

"Hanum, Saras, Nana. Waktunya makan malam." Ibu Dewi memanggil kami dari balik pintu.
"Baik, Ibu," balas kami

Kami pun bergegas keluar kamar. Menuju ruang makan di lantai bawah.

Betapa kagetnya aku, melihat dua baris makanan telah menyapa. Di sisi tembok, teman-temanku begitu lahap menyantap menu malam ini.

"Loh, kok kaosnya udah dipakai?" Tiba-tiba Pak Idrus menghampiriku. Menatap baju olahraga yang berbalut di badan. "Kan ke bendungannya masih besok?"
"Hehe... Maaf, Bapak. Saya kedinginan soalnya. Enggak biasa ke hotel."

Kuabaikan ajakan basa-basi beliau. Berhubung perutku sudah keroncongan, buru-buru aku mengambil piring. Menciduk nasi, cap cay, dan tumis tempe sebagai makan malamku.

"Emang enak, ya Na? Tempe bareng cap cay?" Saras bertanya padaku.
"Enak kok, Ras. Ibuku sering bikin ini di rumah," tandasku setengah alibi. "Cobain aja, Ras."

Saras pun manut. Mengambil menu yang sama. Tak sampai sepuluh suap, dia sudah tak nyaman makan. Dia muntah-muntah menghadap tembok. Hingga terjatuh dari duduknya.

"Waduh, alergi kedelainya kumat," gumamku.

Buru-buru Saras dibopong oleh Pak Idrus ke kamar kesehatan. Bu Dewi turut menyusul dengan wajah penuh risau. Meninggalkan aku dan siswa lain yang penuh pertanyaan.

*-*-*

"Ini gimana ya, si Saras?" Hanum melempar tanya.
"Entah. Bu Dewi enggak ngabarin lagi." Aku membalas dalam baringanku.
"Kasihan juga ya, Saras. Badan kecil gitu, malah pingsan."
"Heh? Bukannya enak, ya Num?"
"Kok orang pingsan dibilang enak?"
"Iya, dong. Enak yang gotongnya."

DUHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang