LALAPAN

119 1 0
                                    

Ada yang berceletuk kalau rawon adalah makanan terenak jika disantap di siang hari. Adapula yang menyodorkan bakso sebagai sajian utama.

Bukan. Bukan itu semua jawabannya, saudara-saudara. Menu makan siang terbaik bagiku adalah tiga suku kata: la-la-pan.

Apa yang dilalap? Apa saja. Jamur goreng, ayam goreng, ati ampela, hingga terong-tempe pun bisa ludes.

Kebetulan Pak Robert mengajakku makan lalapan siang ini. Beliau adalah wali kelasku sekaligus pembina OSIS. Ihwal beliau mengundangku adalah berunding tentang orientasi gabungan (orgab) yang hendak diadakan bulan depan.

"Menurutmu, pantaskah jika Dewan Karya (Ambalan) tidak ikut orgab tahun ini?" Pak Robert melontar kata dan cuilan beras matang.
"Hmm, saya kira itu tidak etis, Bapak. Orgab sudah menjadi rutinitas sekolah kita. Di samping menjadi tradisi, kegiatan itu bisa menghemat pembiayaan juga."

Aku tak suka berbasa-basi jika menyangkut soal uang. Bagiku, uang adalah sebaik-baiknya bahan bakar di dunia. Itulah alasanku mengapa menolak keputusan pengurus DKA yang ingin diklat tersendiri.

"Bapak masih ingat ujian praktik tahun lalu, kan?" Aku ganti bertanya.
"Iya, Du. Ingat kok." Pria itu menjawab sembari menyoroti lele gorengnya.
"Nah, itu semua karena perkara uang. Kakak kelas saya ada yang bilang, kalau uprak mereka harusnya bebas biaya apapun." Aku melahap ekor lele yang begitu hitam. Mulutku cukup penuh dengan nasi. "Termasuk biaya admin."

Suasana meja makan kembali hening. Hanya terdengar gonggongan siswi SMA-ku yang mengantre di tukang cilok.

"Lantas, apakah yang harus Bapak lakukan? Supaya Pak Irsyadi tidak murka?" Pak Robert menatapku penuh pasrah.

Aku tertegun. Andaisaja beliau adalah adik atau teman kelasku, pasti sudah kuelus-elus kepalanya.

Aku paham simbiosisku dengan Pak Robert begitu rekat. Bermula dari pembagian seragam olahraga, aku bertindak sebagai koordinator kelas. Belum lagi ketika studi wisata ke Museum Angkut. Aku kembali ditunjuk jadi koordinator.

Aneh. Padahal ada Rika sebagai ketua kelas. Kenapa beliau lebih dekat denganku?

Satu hal yang kutahu pasti. Pak Robert tidak bisa berkehendak ibarat preman. Dan aku yakin, konflik OSIS-DKA bakal makin berlarut-larut jika ego mereka terus membesar.

"Ya sudah. Begini saja, Bapak." Aku membuka mulut. "Saya coba datangi dulu ruang DKA siang ini. Bertemu Geraldine, lalu saya ajak dia untuk bicara santai."
"Kamu beneran tidak apakah, Du?"
"Sudah. Saya jamin Bapak tinggal terima beres nanti."

Mulut terbakar sambal lalapan. Keringat makin bercucuran. Hingga tak sadar, dua gelas es teh ludes tersedot kerongkongan.

*-*-*

Pukul 2 siang. Melihat lapangan masih ditempati beberapa motor siswa, aku putuskan untuk menghampiri ruang DKA. Kususuri koridor utara. Kuketuk pintu ruangan. Hening.

Kuketuk lagi.
Hening pula.

Alhasil aku raih daun pintu ruangan itu. Ternyata tidak terkunci. Dengan langkah pelan, aku masuk ke dalamnya.

Tidak ada bayangan tubuh manusia yang kulihat. Hanya perkakas pramuka dan lembar-lembar dokumen yang berserakan.

Ketika melangkah lebih dalam, tak sengaja aku menginjak selembar kertas. Kuambil. Kutatap dalam tulisan yang tercetak.

"REVOLUSI OSIS. BUBARKAN KABINET ENIGMA"

Apa maksudnya? Ambalan ingin bubarkan OSIS? Candaan macam apa ini?

Belum tuntas kucerna kalimat itu, bayang-bayang perempuan memanjang di hadapanku. Kutoleh ke arahnya. Ternyata dia membawa  stunt gun.

"Si-siapa kamu?!" lontarku.

Gadis bercadar itu tidak menggubris. Ia justru makin mendekat ke arahku. Mengambil kuda-kuda.

Kurasakan kejutan listrik di leher. Membuatku lemas tak berdaya.

*-*-*

Gelap. Tak berpendar sedikit pun cahaya di mata. Kulirik kanan dan kiri, ternyata begitu gelap. Napasku juga terasa berat. Seperti ada kain berbulu yang menutup hidungku.

Sayup-sayup aku dapati suara Geraldine sedang berbincang dengan orang lain. Aku tak tahu identitas mereka. Yang pasti, sesama perempuan.

Didera penasaran, aku pun memaksakan diri untuk mendekat ke mereka. Kedua tangan kudorong ke depan. Cukup berat rasanya. Jeratan tali pramuka ini begitu kuat di tubuhku.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk melepas lilitan. Namun yang ada aku terhempas jatuh. Lengkap dengan potongan kayu yang menimpaku. Mengerang kesakitanlah diriku.

"Lho, lho…" suara Geraldine menyambar telingaku. Derap langkahnya kian membesar. "Aduh, Du. Jangan banyak tingkah, dong."

"Lepaskan aku!" sentakku.

"Heh, apa, Du?" Suara tawa menyambut ruangan. "Kamu ngomong apa barusan?"

"Kamu apakan tubuhku ini!? Lepaskan aku!" Aku berteriak.

Beberapa langkah kaki kembali kudengar. Tiba-tiba tubuhku terangkat ke udara, lalu kembali ke tanah.

"Badu Purnawan. Nama yang menarik." Kudapati suara pintu terkunci. "Datang tak diundang, tanpa permisi."

Aku terus mengerang, berharap segera dilepaskan.

"Percuma usahamu, Du. Kamu tidak bakal bisa lepas dari ikatanmu. Berterima kasihlah kepada Tiara, yang telah meminjamkan baju olahraganya untukmu. Terima kasih juga ke Fara, yang telah menyimpulkan tubuhmu di tongkat pramuka."

Sejak kapan aku meminjam setelannya Tiara? Kenapa napasku kian kembang kempis begini?

"Tia, Fara. Enaknya cowok ini kita apakan, ya?" Geraldine mengajak rembuk.
"Kita jemur di kebun sekolah, gimana?" Seorang gadis menyambar.
"Eh, jangan." Perempuan lain menyambar. "Nanti ketahuan Pak Tukang. Kita warnain aja tubuhnya pake sisa cat kemarin."
"Boleh juga, Far." Geraldine kembali bersuara. "Habis kita cat, terus kita pajang di lemari, deh."

Hei, sialan! Mau kalian apakan tubuh kurusku ini? Bisa-bisanya dapat pemikiran macam itu?! Walau aku culun, aku tetap punya jiwa lelaki.

"Percuma, Du. Suaramu enggak kedengeran jelas. Wajahmu sudah kubungkus dengan baju Ambalanku. Kulakban pula seluruh badanmu," ujar Geraldine.

Aku tak peduli basa basi gadis itu. Biarpun sekujur tubuhku dibasahi keringat, aku tetap menggeliat dan mengerang. Berharap ada beberapa sisi tubuh yang terbuka.

Tapi yang kuterima justru gelitik di telapak kaki. Aku pun tertawa geli. Ketika sentuhan itu beredar di paha, makin tak terkendali keringat di area wajah.

Gelap. Pengap. Seperti dipanggang dalam oven.

Sensasi ini membiusku. Pandanganku perlahan kabur. Maafkan aku, Pak Robert. Tubuhku sudah dilalap Geraldine dan kawan-kawannya.

*-*-*

Masih awal hari. Namun dering ponsel sangat mengusikku. Tanganku berseliweran di ranjang. Mencari keberadaan ponselku.

Kuambil batang kotak itu. Dengan belek yang menempel di mata, aku membuka notifikasi di layar utama. Menuju grup WA kelasku.

"Apa sih rame-rame chat di grup?" gumamku.

Aku mengusap layar ponsel. Ke atas ke bawah. Hingga mataku terbelalak dengan tiga foto yang dibagikan Andre. Tidak ada caption yang diberikan.

"What? Si-siapa ini?"

Aku melihat penampang orang yang terbungkus lakban. Penuh warna merah dan kuning di tubuhnya. Dengan secarik kertas yang menempel di dadanya. Sayang, tulisannya buram.

Aku terdiam. Membayangkan betapa malangnya orang itu. Sungguh sangat apes.

"Heh?" Aku tersentak.

Aku tersadar. Ternyata orang di foto itu adalah diriku sendiri. Diriku yang diperkaos di ruang DKA kemarin lusa.

Buru-buru aku menutup ponsel. Mengurung diriku di balik selimut tidur.

+++
Bersambung
+++

DUHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang