ROTASI

109 1 0
                                    

"Bagaimana? Ada yang bisa menjawab?" Bu Siska kian santer mengetuk spidolnya ke papan tulis. "Ah, masa tidak bisa sih, materi ini? Bukankah kalian sudah pernah belajar di kelas X, ya?"

Kupingku terus diteror oleh guru semampai itu. Sepertinya teman-teman tidak begitu antusias dengan pembelajaran beliau siang ini. Ya wajarlah. Habis lompat harimau, masih disuruh lompat materi pula. Ayolah, Bu Siska! Kasihlah petunjuk bagi kami, domba-dombamu!

Kelas hening. Angin pun tak mau singgah di seragamku. Padahal sekarang adalah jam-jam kritisku, yang butuh asupan oksigen.

Brak

Kagetlah aku. Kupandang tubuh guruku sudah berada di kursi kayu. Wajahnya bergurat pasrah, tetapi terpendam kejengkelan.

"Oke. Tugas untuk kalian! Buatlah materi yang menarik tentang kelima sumber energi terbarukan ini."

"Bu, kelompok empat orang seperti biasa, kan?" Hendra memotong.

"Tidak! Tidak ada kelompok-kelompokan! Tugas ini: IN-DI-VI-DU!"

Seketika angin Bahorok menerpa bulu mataku. Anak-anak kelasku sontak memprotes. Ada yang berdalih tugasnya terlalu rumit. Ada yang berdalih tugas mapel lain terlampau banyak. Tetap saja hati Bu Siska dingin.

"Ibu tidak mau tahu. Besok pagi, sudah harus ada video presentasi kalian di meja ibu! Jelas, kan?"

"Ba-baik, Bu." Teman-temanku tambah menciut.

Tanpa membenahi meja ajar, wanita itu merangsek keluar kelas. Meninggalkan gemuruh hebat di ruangan balok ini.

"Tugas lagi, tugas lagi." Bayu menggerutu.

"Ah, enggak asyik gurunya." balas Hendra menyindir.

Celotehan serupa kian menyeruak. Bahkan ada yang mulai pasang badan untuk melabrak ruang guru. Siapa lagi kalau bukan untuk bertemu Bu Siska?

Kutengok Pandu dan Gilang, panji andalan kelas, sudah melangkah ke koridor. Tapi tak lama setelahnya, mereka kembali masuk. Rupanya Pak Jaiz memelototi mereka dari jendela belakang kelas.

"Ngapain keluar-keluar?!" Kumis tebalnya menggesek gorden.

"Ma-mau cari Bu Sis…" Gilang angkat suara.

"Banyak alasan, dasar bocah! Jangan keluar kelas, sebelum bel pulang!"

Pria itu segera menghilang. Kemurahan pun muncul di kelas. Hingga aku tidak berani ikut les biola hari ini

*-*-*

Akhirnya. Aku bisa menggosok badanku di sofa ruang tamu. Dengan rok hitam yang masih terurai, aku memejamkan mata mencari ketenangan.

Rasanya sudah lama aku tidak rebahan di sini. Paling-paling, aku langsung cabut ke kamar. Pesta kecil. Terus minta tolong ibu membereskan. Terlalu banyak pesta telah merenggut kesendirianku.

Tiba-tiba layar hitam berubah menjadi gemerlap bar malam. Kudengar terompet di kanan dan kiri. Orang-orang di sekitar terus menggeret tanganku.

"Kayak tidak asing, nih?" gumamku.

Dan benar saja. Aku melihat Ayumi menggantung di langit-langit. Tubuh telentangnya hanya bermodal sehelai kain dan tali tambang.

"Tiga, dua, satu!"

Lampu sorot begitu terang ke tubuh wanita itu. Berputarlah dia bak baling-baling pesawat. Semakin kencang beat lagu yang terdengar, semakin lihai pula Ayumi beraksi.

Putar ke kiri. Putar ke kanan. Hingga berakrobat layaknya selebrasi Wayne Rooney. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan.

Tengah asyik melihat pertunjukan Ayumi, ada tepukan di pundak kiriku.

"Na, bangun." Ternyata ibuku. "Ganti baju dulu, terus makan."

"Heem, Bu." balasku singkat.

Kusipitkan pandangan. Hingga aku tersadar, setengah tugas Geografiku sudah selesai kurancang.

*-*-*

"Tumben kita pesta hari Rabu?" Hanum berceletuk.
"Iya nih. Aku soalnya kepikiran tugas sekolah," jawabku. "Biasa, dari guru killer."
"Tugas apaan emangnya, Na?"
"Geografi. Sumber energi baru di Indonesia."

Aku menerangkan sepercik ide liar dari mimpiku siang ini. Kucocokkan dengan materi Pembangkit Listrik Tenaga Bayu yang hendak kuambil.

"Jadi nanti aku pengen kamu seperti kincir angin. Berputar-putar."
"Heh...? Yang benar saja, Na?"

Walau awalnya sedikit ragu, namun aku yakin bulat. Toh swivel yang biasa ibuku pakai buat yoga telah kupasang di langit-langit kamar.

"Udah, tenang. Aman kok."

Sudah kuyakinkan Hanum. Bergegas aku menyiapkan seluruh keperluan. Setelan olahraga, tali pramuka, serta kain hammock. Tak lupa pengait kecil berbahan logam.

Tidak sampai tiga menit, si gadis sudah memakai seragam olahraga SMA-ku. Putih, dengan ornamen biru di lengan dan kerah.

"Keringatmu nempel banget, Na," ujar Hanum. Jelaslah. Karena setelan itu kupakai tadi di sekolah.

Untuk mengurangi kecurigaan nantinya, aku lapisi wajah lonjongnya dengan sepasang sleeve arm krem milikku. Biar makin sesak, kurekatkan dengan kerudung instan dari lemari rias.

"Udah kencang, Num?"
"Udah pas, Na." Aku dengar suara Hanum samar-samar.

Tanpa berlama-lama, segera kubuat simpul di tubuh si gadis. Kuingat lembar per lembar tankobon "The Last Rope" yang pernah kubaca sebelumnya.

Sip. Dadanya sudah kencang. Tinggallah aku sangkutkan tubuhnya ke swivel. Kuambil meja dan kursi dari ruang tengah. Kususun secara padu. Barulah kudaki mereka selangkah demi selangkah.

Tubuh kekar Hanum sudah menggelayut di bawah neon. Kusulap meja kursi tadi menjadi kasur busa. Mulailah aku menggarap video pembelajaranku.

"Rotasinya pelan aja, ya Na," pintaku bak sutradara film dewasa.
"Hmm...?"
"Rotasinya pelan aja."
"O-oke."

Hanum mulai beraksi. Perlahan tubuhnya mulai berputar. Dalam kondisi serba terikat, ia maksimalkan telapak kaki dan pundaknya sebagai gaya dorong.

"Bagus, Num. Tambah lagi kecepatannya."

Napas si gadis mulai kembang kempis. Sesekali dia mengerang dan mendesah.

"Enggak bisa dilonggarin apa, Na?" Ia bertanya.
"Jangan dong. Nanti kamu jatuh."

Membayangkan Hanum di langit-langit kamar saja sudah buat aku berdebar. Dua meter dari ubin tingginya. Kalau teledor sedikit, bisa-bisa rusuk atau pinggang menjadi imbasnya.

Lima belas menit terlampaui. Napas Hanum kian kencang kudengar. Akhirnya aku kembalikan tubuhnya ke permukaan. Kulepas ikatan talinya.

"Basah banget..." gumamku.

Aku biarkan dia terlelap di ranjangku. Dengan wajah yang terbungkus lateks. Dengan badan yang basah kuyup.

Cukup kedua tanganku yang melingkari tubuh gadis tersebut. Penuh kehangatan.

++++
Bersambung
++++

DUHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang