JEJARING

123 1 0
                                    

Pak Irfan tiada henti berbicara di depan kelas. Mendoktrin seluruh siswa dengan eksplorasi bangsa penjajah di Nusantara.

Padahal aku sudah tidak tahan dengan nyeri di badan dan kaki. Salah tumpuan, membuat tubuhku menanggung gelak tawa teman-teman saat berolahraga tadi. Sialan!

"Waktu pelajaran hari ini telah selesai." Suara perempuan terdengar renyah dari pengeras suara kelas. "Sampai jumpa esok pagi dan semangat belajar kembali."

"Baik, Teman-teman. Kita sambung pelajarannya Kamis depan." Guru itu berujar.

Setelah Andre memimpin doa penutup, guru sejarah itu lantas kembali ke ruang guru. Meninggalkan keriuhan di dalam kelas.

Bertebaranlah anak-anak kelas di depan koridor. Begitu pun aku, yang duduk menanti Hanum tiba.

"Makasih banyak, ya." Aku terkaget melihat Diana di samping kiriku. "Bajunya udah aku terima tadi pagi."
"Ta-tapi, kamu enggak marah, Na?"
Diana tertawa tipis. "Ngapain marah ke kamu, Du? Yang penting kamu udah kembalikan. Beres deh."
"Hmm, masalahnya kan belum sempat ..."
"Udah jangan dipikir pusing. Habis ini aku yang cuci langsung. Mumpung enggak ada tugas sekolah."

Heh? Aku tak mengira Diana mau mencuci sendiri. Padahal pas aku belajar kelompok pekan lalu saja, ia ogah mencuci gelas bekas jamuan. Bukan hanya itu. Aku kuatir ia peka mencium bau orang lain di seragamnya. Ini semua gara-gara Hanum, sih.

"Aku duluan, ya Du."

Diana menghilang ditelan barisan siswa lainnya menuju gerbang sekolah. Meninggalkanku seorang diri, mematung tanpa tahu jati diri.

Aku terus membatin keberadaan Hanum. Padahal sudah pukul setengah dua. Tapi batang hidungnya tak kunjung nampak dari pintu kelasnya.

Separuh jam tiada kabar membuatku jengah dalam lamunan. Bangkitlah tubuhku, menuju parkiran tempat sepeda hitamku berada.

Aku melintas di samping koperasi, tiada pula sosok Hanum. Kulirik ruang UKS, juga nihil. Makin yakinlah langkahku untuk pulang ke kediaman.

Aku buka gembok di roda depan. Kudorong jagang hingga terangkat. Barulah aku memutar arah sepeda untuk segera pulang.

"Eh, eh, eh. Mau kemana kamu, Du?" Tiba-tiba Hanum menyergap stang sepedaku. "Kamu enggak inget janji kita bulan lalu?"

Aku menghela napas.

"Apa sih, Num? Badanku capek ini."
"Lho, kok malah marah sih? Berarti kamu mau foto mumimu kesebar di ruang guru?"

Heh, apa-apaan ini? Darimana dia tahu aku pernah disekap di DKA?

"Aku punya banyak fotonya dari Geraldine, loh." Hanum balik mengancam.

Aduh, aduh. Dasar cewek. Mulutnya pedas banget kayak 'seblak jeletot'.

Jadilah adu mulut kecil di parkiran. Aku yang tidak tahan dengan nyeri berusaha menerjang hadangan Hanum. Pun dengan sang gadis, yang terus mengunci arah sepedaku berkehendak.

"Ayolah, Du. Sebentar aja."
"Beneran, ya?"
"Iya, beneran. Nanti aku bantu hilangin pegalmu juga."

Apa boleh dikata. Kami yang kadung bersepakat, melangkah pelan menuju ruang UKS.

*-*-*

Setibanya disana, aku dikejutkan dengan beberapa barang tak wajar di ranjang UKS. Neck collar, cable tie, tali pramuka. Dan yang paling tidak masuk akal: kenapa ada head gear juga? Apakah lakon hari ini adalah pencurian?

"Jangan kaget, ya Du. Itu senjata buatku nanti." Hanum menjelaskan. "Tapi, karena kamu curhat ke aku tadi, akhirnya kamu deh yang bakal pakai mereka semua."

DUHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang