PIKET

181 2 0
                                    

"Sudah siap, Num?" Ayah mengencangkan sabuk pengaman. Aku memeriksa isi tas. Buku sudah tertata semua. Dasi dan topi sudah lengkap.

Gigi pertama sudah masuk. Ayah menginjak gas. Kami pun meninggalkan pekarangan rumah.

Aku sebenarnya sudah janjian dengan Arifin untuk berangkat bareng. Tapi, bagaimana lagi? Ayahku begitu nafsu melihat sang anak di gerbang sekolah nanti.

Hari ini adalah hari yang cukup menyebalkan. Upacara bendera disambung jam olahraga. Daripada ribet berganti seragam, aku lapisi sekalian seragam olahraga di badan dengan seragam identitas. Walau buat badan agak kaku, setidaknya bisa mengusir dinginnya AC.

Tak sampai sepuluh menit, mobil kami sudah tiba di depan gerbang sekolah. Aku keluar dari kabin. Berpamitan dengan ayahku.

"Jangan lupa berdoa ya, nanti," pesan Ayah. Aku mengangguk dan berjalan menuju arah pelataran sekolah.

Ruang guru telah menantiku. Kuintip sekilas. Hanya ada Pak Robert yang asyik dengan novelnya. Gelegar tawanya membawaku ke barisan kelas adik tingkat.

"Sepinya…" Aku menyapa angin di koridor. Menjelang ujung kelas X IPS, langkahku terhenti.

"Kok tumben sudah dibuka semua?"

Aku pun balik kanan, grak.

Sebuah keanehan. Sejak kapan Pak Tukang sigap sekali membuka pintu kelas? Perasaan, tiada batang hidung beliau di pekarangan tadi.

Masa bodoh dengan penjaga sekolah, aku tertarik pada satu kelas. Deret tengah, bersegel besar di atas pintu: X IPS 3. Bergegas aku mencari rasa penasaranku di sana. Kususuri baris bangku dekat tembok selatan. Ada warna biru yang memanggilku. Benar saja dugaanku.

"Lho? Harta karun!"

Mulutku tak henti gemetar. Aku menemukan seragam olahraga biru. Lemas tak berdaya. Menanti arwah yang ingin diajak 'berteman'.

Kira-kira siapa pemiliknya? Kok bisa-bisanya lalai dengan barang berharganya?

Aku mengendus aroma klorin. Sudah pasti setelan ini telah dipakai olahraga kemarin hari. Tapi tunggu. Klorinnya tidak seperti Bejo atau Ujang. Dia begitu halus, bahkan samar dengan aroma parfum kelas.

Kunikmati aroma itu. Penyegar pikiran di awal hari.

Tiba-tiba langkah kaki mulai berdatangan di telinga. Buatku tersadar dari lamunan.

"Waduh, piketku!" Aku menepuk jidat.

Kegamangan muncul. Apakah kutinggalkan kelas ini dengan tangan kosong? Atau mencicipi sebentar harta karun yang kutemukan barusan?

Ah, sial! Langsung kubabat saja seragam biru laut itu. Kusinggah ke dalam ransel. Lalu keluar dari lokasi setenang mungkin.

Kutengok belakang. Rupanya gerombolan siswa masih jauh adanya. Amanlah diriku untuk menuju kelas.

Tiba di depan kelas, aku disambut sapa dari Ritaku tersayang. "Num, kok tumben datang jam segini, seh?"

Aku menggaruk kepala.

"Hehe. Aku bareng ayahku tadi, Rit."

Kulempar tas ke kursiku. Kuambil sapu dan pengki. Mulailah rutinitas sekolah kulakoni. Beriring basa-basi busuk jejepangan yang disajikan si Rita.

Cukup menyapu saja, kalori di badan sudah lumayan terbakar. Apalagi kalau berpesta.

*-*-*

"Terima kasih, Nak Anak. Sekian pelajaran kali ini."

Bu Binti mengambil daftar presensi. Membubuhkan sandi rumput. Lalu bergegas mengundurkan diri. Meninggalkan aku dan teman-teman seperti kumpulan bebek di sawah.

Tak perlu waktu lama, Rita langsung menemukan tubuhku.

"Langsung ke kelas?" ajak gadis itu. Kubalas dengan anggukan.

Kami pun bergegas menuju kelas. Sebelum dijajah kaum Adam yang mendadak laknat setiap selesai jam olahraga.

Mumpung masih sepi, kuambil ranselku. Lalu kuhampiri Rita untuk bersegera ke kamar mandi. Keluarlah kami dari kelas, disambut siulan dari Bejo and the gang.

Kutapaki beberapa anak tangga, hingga tiba di kamar mandi langganan. Lokasinya cukup terpencil, sehingga jarang dijamah oleh teman sekelasku. Hal yang buat diriku nyaman berganti kostum - dan melenakan diri.

Berhubung kawanku sudah masuk ke bilik ujung, masuklah aku ke bilik dekat pintu masuk. Krek. Pintu tertutup.  Saatnya berganti seragam.

Seperempat perjalanan telah kulakukan. Tapi, aku menemukan sesuatu yang janggal. Kuangkat baju olahragaku ke dekat lampu.

"Kok warnanya begitu tua, ya?" batinku.

Buru-buru aku bandingkan dia dengan kaos yang kutemukan pagi ini.

Kulirik keduanya. Meski sama-sama mengusung satu garis di lengan dan logo kuning di dada kiri, kentara jelas perbedaan warna pada mereka. Saat Kirana logonya pun, barang punyaku memiliki sablon yang tipis dan menyatu dan kain.

Aku mengerutkan dahi.

Biar tidak penasaran, kupakai langsung setelan milik adik tingkat. Celana kutarik, baju kujabarkan. Jadilah aku murid baru di sekolah!

Memang beda sensasinya. Baju baru pasti lebih bergairah dibanding baju lama. Apa itu juga yang membuat Ayah selalu memberiku mukena atau kerudung baru tiap tiga tahun?

Kedua telunjukku mulai memeriksa. Bagian pinggang, biasa saja. Pun dengan betis ke bawah.

"Ternyata di sini bedanya." Aku melihat arah telunjukku kini.

Sedang antusias menginterogasi, terdengar ketukan pintu kepadaku.

"Num? Sudah, belum?"

Aduh, Rita memanggil. Sejurus kusabet seragam identitas. Kupakai langsung. Menyisakan setelan olahragaku di sisi belakang ransel.

Kala kulepas kuncian grendel, kutemui gadis itu memasang wajah gerutu.

"Oalah. Dasar cewek. Ganti seragam aja lamanya kek mau naik haji."
"Aamiin," timpalku.

Kembalilah kami ke dalam kelas. Disambut gemuruh para lelaki, yang masih setia berkaos dalam tanpa peduli kaum hawa yang lalu lalang.

+++
Bersambung
+++

DUHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang