PESTA

155 2 0
                                    

Tiada yang spesial. Hanya rumah ukuran 48 dengan dua kamar tidur. Di sanalah aku mengundang Hanum untuk ikut berpesta.

"Mantap, Num." Aku julurkan jempol ke hadapannya. Tak kusangka ia datang dengan amunisi lengkap di ranselnya.

"Kamu enggak ditanya sama ayahmu, 'kok bawa ransel dan pakai baju olahraga'?"

Hanum tertawa tipis. "Enggak kok. Ayahku saja tadi pagi sudah berangkat meeting."
"Untunglah. Yuk, lekas masuk, Num."

Kugenggam tangan Hanum. Kubawa ia ke dalam kamar tidurku. Kuraih daun pintu. Krek… Pintu pun terkunci.

Kami bongkar isi ransel Hanum. Seperti dugaanku, pasti gadis ini membawa barang endemik. Kaos olahraga SD, tali pramuka, dan tentu saja: kantung tidur.

Kami bersuten. Siapa yang kalah, dialah yang masuk kantung tidur.

"Tu, wa, ga…" Sorak kami sembari saling melempar tangan.

"Tu, wa, ga…"

Aku tercengang melihat lima jariku. Rupanya kalah dengan dua jarinya Hanum.

"Siap, ya Na?"

Kupejam mata sessat. Sembari mengambil napas dalam.

Mula-mula, aku lepas kerudung di kepala Hanum. Kurekatkan plester hitam di mulutnya. Lalu, kuraih sepintal tali pramuka. Kuukur, kutimbang di tubuh Hanum. Jadilah lemper raksasa.

"Sudah pas?" Tanyaku. Kulihat lekak lekuk samping tubuh si gadis. Nampaknya dia memakai dua setel baju olahraga.

"Hmm, hmm." Balasnya sembari mengangguk pelan.

Eits, masih belum kelar. Karena aku yang kalah, aku pun menyodorkan kaos lapangan PMR punyaku. Hingga lenyaplah wajahnya menjadi lambang PMI yang bertekstur itu. Tak lupa, kupasang kembali kerudung instan di kepalanya - untuk mengencangkan wajah.

Kudengar Hanum mulai kembang kempis. Sepertinya bahan bajuku itu masih sesak di wajah sang gadis. Kupastikan lagi dia masih tersadar.

Kini giliran dia yang hendak meriasku. Setelah wajahku terlapis dua kaos olahraga SD, Hanum dengan cekatan mengikatku. Erat sekali. Tak banyak kata-kata darinya, selain gonggongan poodle yang sayup kudengar.

Kala pandanganku mulai kabur, masuklah aku ke dalam kantung tidur. Slap. Aku merasa celanaku bermasalah. Tapi aku tidak bisa berkutik karena sesaknya ruang.

"Aku sudah masuk, ya Han," sahutku.

Bergegaslah Hanum meraih tuas resleting. Pendar lampu kamar pun mendadak gelap. Bersambung bunyian pertanda ia sudah mengunciku.

Terbiuslah aku dengan hangatnya hari ini.

*-*-*

Dua polyester berbulu. Hijau muda dan biru dongker warnanya. Menumpuk wajahku dengan teratur.

"Aromanya…" 

Bau keringat Hanum menyelinap di hidungku.  Meski masker scubaku masih kupakai, sensasi ini tetap merangsek. Sensasi yang membawaku bernostalgia akan masa kanak-kanak tatkala kami pertama berjumpa mata.

Hanum yang anak pindahan itu cukup menggegerkan kelasku. Bagaimana tidak? Dalam satu semester, ia menduduki pemuncak kelas. Menggusur Adrian yang sebelumnya berkuasa.

Tak berselang lama, ia turut didapuk menjadi kontingen olimpiade sains. Melaju mulus hingga babak nasional. Kendati tidak meraih medali, cukuplah membuat diriku terpana dan bangga: wajahnya masuk sampul koran, dan kaos olimpiadenya menjadi aset berharga (bagiku).

Lambat laun, aroma keringat ini kian menggelitik otakku. Aroma yang sama semenjak kami bersua di SD. Tak terlalu kecut, namun cukup menyengat.

"Kaos ini, seperti baru dipakai semalam," gumamku.

Entah, sudah begitu banyak pestaku dengan Hanum. Kalau kuingat, pesta pertamaku adalah kelas 6. Ketika kami sama-sama di penginapan dalam rangka karyawisata.

Kami saat itu tak menyangka memiliki kesan yang sama dengan seragam olahraga. Saat teman lain terlelap, kami sempatkan diri berkostum seragam. Dengan baju olahraga edisi baru ada di luar, dan yang lawas ada di dalam.

Walau berbeda sekolah setelahnya, kami tetap setia menyisih waktu untuk relaksasi bersama. Kadang di rumahku, kadang di rumahnya.

Baik aku maupun Hanum, saling bertukar informasi tentang aktivitas remaja, salah satunya ekskul. Sesuai ekspektasiku, gadis itu meraup ekskul-ekskul beken di SMP dan SMA. Hitung saja mulai OSIS, Pramuka, PMR, hingga Adiwiyata. Sedang aku hanya betah di PMR, meski sudah sempat diklat Seni Tari. 

Tanpa diduga, momen itulah yang merangsang kedewasaanku. Makin sering kami berpesta. Makin banyak koleksi yang dipunya.

Sejak saat itu kita pun tak pernah sungkan untuk bertukar seragam selepas jam sekolah. Bahkan ketika ortu kami memergoki, dengan ringan kami jawab: "Habis olahraga bareng."

Perlahan tapi pasti, pinggangku kian menyatu dengan tali. Lapisan kantung tidur terus menggerus ruang gerakku.

Ketika adrenalinku membuncah, di sanalah titik lemahku mencuat. Rasa sembelit datang menyergap.

Seketika itu pula aku memanggil Hanum. Namun tiada balas. Kupanggil namanya sekali lagi. Tetap saja hening dari luar.

Aduh, malapetaka ini! Hanum masih terlelap! Padahal perutku terus merongrong dibawa ke kamar kecil.

Alhasil, kucoba melepas tali ikatan secara mandiri. Kugoyangkan tubuh ibarat sate yang dibakar, berharap satu tangan bisa merdeka.

Kiri, kanan, kiri, kanan.
Namun tiada nian terbuka.

Hingga di saat tangan kiriku hampir terlepas, tubuhku ditarik hebat oleh inti bumi. Dan barulah kutahu, aku tersungkur dalam lilitan.

DUHANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang