Lima belas [Selesai]

17 3 3
                                    

Aku pergi untuk mandi, sat set sat set beres. Setelah keluar terlihat Mamah dan Caka sedang asik berbincang. Entahlah apa yang sedang mereka bicarakan.

"Ya sudah, kalo gitu. Pulangnya jangan malem banget. Ingat besok hari senin."

"Ini boleh nih, mah?" Tanyaku.

"Iya boleh."

Akhirnya kami pergi untuk jalan-jalan. Manusia ini, tidak banyak bicara, entah apa yang dipikirkannya, selalu membuatku penasaran saja. Dengan wajah yang masih terluka, dia membawaku, pergi jalan-jalan.

Saat itu, aku merasa senang. Karena sedang berada di dekatnya. Entah kenapa, akhir-akhir ini rasanya semakin nyaman dengan kedekatan kita. Meskipun aku tidak tahu, Caka merasa itu atau tidak.

Laju motor semakin kencang, menyusuri malam yang sedang gerimis. Tapi kami memutuskan untuk terus melanjutkan perjalanan kami, yang entah ke mana. Setelah 10 menit, aku rasa aku tahu jalan ini menuju puncak. Sejujurnya, aku sempat merasa senang sekali karena pikirku Caka akan membawaku ke puncak. Tapi setelah di pikir-pikir, mungkin saja, Caka hanya membawaku sampai tempat biasa. Tempat bakso tahu itu.

"Caka, kita mau beli Bakso Tahu lagi?" Ucapku.

"Kamu mau bakso tahu?"

"Hah?" Angin sepertinya terlalu kencang untuk mendengarkan Caka berbicara.

"Bakso tahu, kamu mau?"

"Apa? Gak kedengeran."

"Kamu mau?"

"Mau apa?" Teriakku.

"Jadi pacarku." Teriak Caka, tapi tetap tidak terdengar.

"Hah? Jamu?"

"Bunuh aku, bunuh!" Ucap Caka teriak sambil memukuli motornya.

Akupun tertawa, melihat kelakuannya. Tidak biasanya laki-laki ini bertingkah seperti ini. Seperti biasa, ada rambu-rambu petunjuk jalan di sini. Yang menunjukkan lurus adalah jalan menuju puncak.

Tapi, tempat yang ku kira, Caka lewati.

"Loh? Ko ga berhenti?" Ucapku

Caka langsung meminggirkan motornya, "Mau ke Puncak gak? Mumpung masih sore?"

Tak berpikir lama, aku mengiyakan ajak Caka.

"Iya, mau."

Kamipun segera menuju puncak. Suasana di atas sini, terpantau ramai tapi tidak terlalu. Pengunjung dan pedagang sepertinya nampak terlihat sedang menikmati malam ini.

"Mau bandrek?" Caka menawarkanku.

"Mau." Sebab aku samgat suka bandrek.

Kamipun menghampiri tukang bandrek dan duduk di tempat yang sudah disediakan.

"Duduk Nal."

Akupun duduk di samping Caka. Kemudian kami bercerita tentang apapun yang kami mau.

"Eh iya, tadi kenapa kamu berantem sama Ruri? Eh Yuda." Tanyaku

"Dia, sepertinya sangat mengenalmu ya?" Caka malah tanya balik soal Ruri atau mereka lebih mengenalnya Yuda.

"Hah? Nggak juga sih. Aku hanya mengenalnya seperti yang sudah aku ceritakan."

"Dia masih sakit hati kali ya?" Tanya Caka, malah aku yang diintrogasi.

"Mungkin. Tapi itu bukan masalah sih buat aku. Kalau saja, aku tahu yang waktu itu nyulik aku dan menamparku di mobil adalah dia, aku tidak akan cape-cape menangis."

"Kenapa?"

"Dia kan cuma laki-laki lemah yang bisanya menyerangku secara diam-diam. Sebab kalau ketahuan, dia sudah kuhabisi." Ucapku, karena memang Yuda seperti itu orangnya. Selalu berlindung di balik orang yang dia rasa kuat.

About Nala [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang