3. Kehancuran kota

16 2 0
                                    

Aku sudah terduduk di kursi samping kemudi, seperti biasa kita akan mengendarai mobil tapi kali ini mobil Jeep milik Bhadrika yang dikendarai langsung oleh pemiliknya.

Semuanya pun sudah terduduk di masing-masing tempatnya. Entahlah butuh waktu berapa lama bisa menemukan tempat itu, kita hanya dibekali satu buku peninggalan Herman, senjata masing-masing dan tentunya makanan untuk bertahan hidup.

Aku menatap ke luar jendela setelah mobil melaju, keluar dari zona teraman yang akan kita semua tinggali. Setelah keluar dari lingkungan kantor menuju jalanan aku semakin heran melihat jalanan sepi. Biasanya di jam-jam sore jalanan ramai, bahkan macet. Tapi tidak dengan sore ini, hampir tidak ada yang lewat hanya ada satu mobil yaitu mobil yang ditumpangiku bersama keempat rekan timku.

“Kalian aneh ngga sih?” Aku bertanya memecahkan keheningan yang membuatku sulit bernafas.

“Aku sepemikiran,” jawab Pramana yang mengerti apa yang aku ucapkan.

“Bhad kita harus hati-hati,” kataku mengingatkan.

Bhadrika hanya mengangguk sebagai respon. Aku khawatir sekarang, bukan karena takut. Hanya saja aku belum sepenuhnya siap. Demi menghilangkan rasa itu, lebih baik aku menghubungi Listyana menanyakan apakah gadis itu baik-baik saja atau tidak. Tapi sialnya ketika aku mengambil ponsel dari ransel, ponsel itu malah merosot jatuh ke bawah kakiku hingga membuat diriku harus menundukkan kepala untuk mengambilnya.

Aku mencari ponselku yang jatuh di bawah, masih dengan posisiku yang menundukkan kepala. Tanganku mulai meraba-raba, entah kemana jatunya ponselku itu.

“Awas kepalamu,” kata Bhadrika mengingatkan dengan melihat ke arahku.

“Bhad awas!!!!” teriak semua temanku bersamaan.

Otomatis Bhadrika terkejut mengerem mendadak, aku pun kembali ke posisi awal dengan cepat, melihat apa penyebab semuanya berteriak bersama.

Seseorang gadis menghampiri kami, tapi aku sangat curiga ketika melihat gadis itu berlumuran darah. Bhadrika akan ke luar mobil tapi aku lebih dulu mencegahnya ketika melihat ada sesuatu yang aneh pada gadis itu.

“Ada apa? Dia membutuhkan pertolongan, kenapa kau mencegahku?”

Bhadrika tak suka atas apa yang aku lakukan. Tapi aku tak marah justru ingin memperlihatkan dia, bahwa di hadapan mobilnya ini bukan seorang manusia melainkan jiwa yang hilang.

“Tunggu dulu jangan buru-buru, lihat dia akan berubah atau tidak.”

Semuanya pun diam terutama Bhadrika. Gadis itu meminta tolong berulang kali dengan memegangi lehernya, pandanganku tertuju pada lehernya yang sudah dipastikan itu bekas gigitan. Gelagat dari gadis itu pun semakin aneh ketika dengan tiba-tiba dia menjadi diam menundukkan kepalanya.

Kami semua di dalam mobil pun bingung melihatnya. Lagi-lagi Bhadrika ingin keluar untuk menolongnya, aku dengan kasar mencegahnya dengan menarik paksa tangannya yang hampir membuka gagang pintu mobil.

“Jangan bodoh! Lihat itu,” kataku kasar.

Bersamaan ketika aku mencegah gagang pintu mobil yang akan di dorong Bhadrika gadis itu menyerang ke arah kami, dia menempelkan wajahnya matanya berubah menjadi putih hampir tak ada lensanya, tak hanya itu dia mencakar-cakar kaca jendela memperingatkan bahwa betapa bahayanya dia. Aku terkejut langsung menekan tombol kunci pintu itu. Bhadrika yang melihatnya pun sama terkejutnya, hampir saja dia terkena serangan kalo aku tidak mencegahnya.

“Oh tidak! Kita terjebak!” ujar Miko dari belakang.

Di depan sana gerombolan manusia hilang jiwa pun berlarian ke arah mobil kami. Dengan cepat aku menyuruh Bhadrika untuk segera menancapkan pedal gasnya untuk segera pergi dari sini.

Manusia hilang jiwa banyak sekali di depan sana, Bhadrika menerobosnya dengan cepat, menabraknya tanpa berperesaan. Mungkin dia sadar bahwa yang di hadapinya saat ini bukan seorang manusia yang keras kepala. Tapi, manusia yang hilang jiwa.

Kenapa semuanya terjadi dengan cepat, padahal baru saja tadi pagi aku bersenang-senang meminum kopi di pinggir kafe bersama kedua temanku. Tapi sekarang, dalam hitungan jam semuanya hancur.

Populasi manusia setengahnya berubah menjadi manusia hilang jiwa dengan jiwa yang terkunci, terperangkap dalam ganasnya virus yang ingin menguasai akal, hati dan pikiran.

Aku melihat sekeliling dengan seksama mobil dan motor berserakan tanpa si pengendara. Bahkan hampir menutupi jalan. Ini gila. Aku hampir gila melihat kekacauan yang menimpa negeriku. Apa yang terjadi pada negeriku, dosa apa yang telah dibuat sehingga mendapatkan kutukan seperti ini.

“Aku tak yakin kita bisa ke sana dengan jalur ini.” Gardapati pun menyuarakan setelah tadi hanya diam.

Lelaki dengan kulit sawo matang berdarah Jawa itu menyerahkan ponselnya memperlihatkan berita seorang wartawan yang sedang meliput, memberikan informasi bahwa keadaan di luar tak bisa dikendalikan. Wartawan itu sempat meliput orang yang terkena virus dengan diam-diam, ada yang mencakari tembok, membenturkan kepalanya dan ada juga yang menyakiti dirinya sendiri. Ini benar-benar gila. Wabah ini sudah benar-benar menyebar dengan hitungan jam kotaku hancur.

“Benar, dan mungkin saja di sana banyak sekali Mahiji yang memblock jalanan.” Pramana pun sepemikiran dengan Gradapati.

"Apa itu Mahiji?" tanya Miko bingung.

Pramana tertawa singkat. "Manusia hilang jiwa," katanya.

Benar juga, mungkin di depan sana lebih banyak lagi. Karena aku pun tak tahu apa populasi penduduk kota Jakarta sepenuhnya sudah terkena virus wabah manusia hilang jiwa. Entahlah setidaknya yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa menemukan serum penawar itu. Untuk mengembalikan negeriku yang hancur.

“Kita ubah jalur,” kataku mantap. Sebenarnya aku tak yakin jika ke sana dengan jalur yang berbeda, aku tak tahu apakah nanti akan menemukan yang lebih berbahaya atau tidak.

“Jalur mana?” tanya Bhadrika.

Aku menatap satu persatu rekanku, dengan perasaan kalut dan khawatir. “Hutan,” ucapku dengan penuh keyakinan.

Underground Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang