11. Disadarkan oleh virus

8 0 0
                                    

Kami berjalan melewati Mahiji dengan mengendap-endap. Nampaknya para Mahiji sibuk mencari-cari penerangan sehingga mereka tak mengetahui bahwa mangsanya kini berjarak sangat dekat dengannya. Aku sudah berhasil melewati mereka, sangat lega.

Tapi sialnya Gradapati menginjak kaleng tanpa disengaja, membuat menarik perhatian para Mahiji. Tubuh kami semua kaku di tempat, sel darah kami mengalir deras. Jantung kami berdetak kencang.

"Lari!!!" Suara Bhadrika terdengar lantang, suaranya bergema di terowongan. Para Mahiji makin menggila. Sebab ia mencari-cari keberadaan kami di kegelapan.

Kami semua berlari, akibat bisingnya suara sepatu dari kami para Mahiji mengetahui dan mengejar kami. Aku berlari dengan Mila di gendonganku, bebanku semakin bertambah. Bhadrika berhenti, dia mengambil alih Mila sehingga membuat bebanku berkurang. Dia menyuruhku untuk berlari lebih dulu karena bebanku hanya di punggung, aku berlari dengan sangat cepat sampai pada akhirnya mereka tertinggal di belakang.

Aku menengok ke belakang Bhadrika mengkode untuk tidak berhenti, dengan pasrah aku mengikuti perintahnya.

Aku berhasil melihat cahaya di ujung walaupun sedikit sebab seperti ada sesuatu yang menghalangi. Sungguh aku tak kuat oleh bau di dalam terowongan, bau darah dan bau busuk memenuhi dinding terowongan membuatku sesak ingin sekali keluar dengan segera.

Sampai pada ujung terowongan dan benar saja ada sebuah mobil bus menghalangi jalan, bagaimana bisa bus ini sampai di terowongan kereta. Aku berhenti menunggu yang lain, aku melihat mereka berlari hembusan angin membuatku semakin merinding. Seperti penyambutan dari luar.

"Bagaimana ini! Kita tak bisa keluar ada bus menghalangi jalan!" Aku berteriak memberitahu pada mereka yang hampir sampai.

"Dobrak pintunya!" kata Bhadrika menyahut dari kegelapan.

"Pintu di sebelah kanan sedangkan posisi kita di sebelah kiri!"

"Pecahkan kacanya! Kita keluar melalui akses kaca!" Suara Bhadrika terdengar berat.

Aku melihat kaca, mengambil senjataku lalu ku benturkan pada kaca bus itu. Dengan sekuat tenaga mencoba beberapa kali dan akhirnya kaca itu pecah, memanjat lalu masuk ke dalam bus itu untuk membuka pintu namun sialnya pintu itu terkunci. Dengan gelisah aku mencari-cari kunci dan akhirnya ketemu. kedua tanganku gemetaran mulai memasukan kunci ke dalam lubang engsel pintu. Mereka sudah masuk ke dalam mobil para Mahiji berteriak, mencakar-cakar mobil dengan kerasukkan. Terperangkap di kandang.

Aku kesusahan sebab kunci itu terus salah, mencobanya lagi dengan mengganti beberapa kunci lainnya. Gradapati dan Pramana mencegah Mahiji yang ingin masuk sedangkan Bhadrika dan Miko melindungi anak-anak.

Aku mencoba kunci terakhir dan akhirnya bisa pintu terbuka lalu menyuruh mereka untuk keluar sebelum para Mahiji memecahkan lebih banyak kaca mobil. Dengan susah payah kami akhirnya keluar, tak lupa mengunci kembali pintu itu kembali alih-alih agar Mahiji tak keluar.

Kami berhasil keluar di luar sana tampak sepi, menjauhi terowongan mencari tempat istirahat. Berteduh di samping bangunan, duduk bersandar menumpahkan rasa lelah dan menghirup udara bebas.

"Apakah Bataylon jauh?" tanyaku memecahkan suara keheningan. Melirik ke arah sang pemimpin menunggunya untuk menjawab.
 
Bhadrika menatap arlojinya. "Butuh waktu 2jam untuk ke sana," katanya.

Aku hanya mengangguk. Melihat kedua anak yang sedang termenung. Aku bergeser, mempersempit jarakku pada Jason dan Nathan. Kedua kakak beradik itu menahan tangis. Sedangkan Mila berada di dekapan Bhadrika tertidur. "Kalian lapar?" tanyaku.

Mereka benar-benar rapuh, keadaan seperti ini mengingatkanku pada anak-anak pinggir jalan yang diperbudak oleh keadaan. Tak berdaya dan pasrah.

Tapi jika dipikir apakah setelah bencana ini terjadi, mereka yang tua dan yang muda yang berhasil lolos dari virus ini dan mereka semua akan kehilangan segalanya. Ternyata virus ini yang menyadarkan dan membuat semuanya menjadi setara tanpa adanya perbedaan.

Mereka menggeleng, lalu dengan cepat aku mengambil sisa roti kemarin. Tersisa dua bjij cukup untuk mereka berdua. Jason dan Nathan memakan roti itu dengan lahap, aku tersenyum getir melihatnya.

"Bagaimana, kenyang?"

Mereka diam lalu mengangguk dengan tersenyum pasrah.

"Setelah kalian sampai di sana, kalian akan makan sampai kenyang. Jadi, ini hanya pengganjal agar kalian tak sakit perut." Aku memastikan mereka.

Mereka mengangguk kali ini tersenyum kejujuran. Tak seperti tadi yang hanya berpura-pura.

"Kamu tak lapar Dhes?" tanya Miko padaku. Dia mungkin tak tahu bahwa rotiku sudah habis dan stok terakhir untuk mereka.

Aku diberi roti lebih banyak dari Pakde Wojo, tapi justru aku membagikannya pada yang lebih membutuhkan. Anak-anak yang kelaparan.

"Aku masih kenyang kalian makanlah milik kalian," jawabku dengan memalingkan wajah. Tentu saja aku lapar, sangat lapar. Rotiku habis semua dan aku tak mungkin meminta pada mereka.

Tas yang penuh dengan bekal kami tertinggal sewaktu aku diserang para Mahiji.

Namu, teman-temanku justru memberiku masing-masing satu roti. Aku terdiam menatap mereka yang menyuruhku untuk segera makan.

"Makanlah... Kita tahu rotimu habis." Bhadrika berkata dengan memberiku roti yang sudah dibuka bungkusnya.

Aku terharu pada mereka yang memahami bahwa aku juga lapar dan membagi roti padaku. "Terima kasih," lirihku.

Aku tersadar bahwa tim sebenarnya adalah seperti ini saling berbagi tak memandang mereka dari divisi mana dan dekat atau tidaknya. Sebagai seorang manusia, hak asasi manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

"Apakah kita lanjutkan perjalanan?" Suara Pramana membuat kami semua menoleh.

Aku menatap langit yang sudah hampir gelap, tak mungkin bila melanjutkan perjalanan dengan kondisi tubuh yang letih seperti ini.

"Bagaimana besok pagi saja, kita istirahat dulu. Anak-anak ini juga pasti sangat lelah." Aku memeluk Jason dan Nathan, mereka tertidur di dalam dekapanku.

"Kita lanjutkan besok saja, kita cari tempat untuk istirahat. Kita tak mungkin istirahat di lorong seperti ini," kata Bhadrika.

Miko dan Gradapati mencari tempat. Mereka menemukannya. Di gedung bangunan kosong yang terbengkalai. Mereka berdua mengintai memastikan bahwa di sana aman, setelah itu menyuruh kami untuk memasuki gedung itu.

Membangunkan Jason dan Nathan untuk segera pindah sesampainya  di dalam mereka tertidur dengan alas kardus yang ditemukan di dalam bangunan tua itu.

Aku meluruskan kakiku, bersandar di tembok dengan memejamkan mata.

"Jangan tidur seperti itu, punggungmu pasti sakit." Suara Bhadrika terdengar di telingaku, pelan dan lelah.

"Aku lebih nyaman seperti ini," kataku. Lalu tak ada sahutan.

Semuanya sudah menemui mimpi masing-masing. Malam ini semoga menjadi malam yang tenang, tak ada yang mengganggu kami yang sedang kelelahan.

Bayangan Mahiji yang menyerang kami yang sedang tertidur menggangguku. Aku terbangun dengan sekali hentakkan, melihat sekitar yang gelap dengan waspada.

"Kenapa?" Suara berat itu membuatku terkejut lagi.

Bhadrika mentapku dari ujung sana, dia tak tidur menjaga kami supaya aman. "Kau tak tidur?" tanyaku padanya dengan suara pelan takut yang lainnya terganggu.

Dia menggeleng. "Aku tak mengantuk," balasnya.

Kebohongan terlihat jelas pada tatapannya, dia tak mau mengakui bahwa dia menjaga kami agar aman.

Aku menghampirinya duduk tepat di sebelahnya, dia hanya melirik lalu kembali mentap ponsel miliknya.

"Apa ada informasi dari kantor?" tanyaku.

Ponselku mati kehabisan baterai. Membuatku tak tahu ada informasi apa dari atasan.

Dia menggeleng. "Tak ada sinyal."

Aku menghela nafas, menekuk lutut menyembunyikan wajahku. Suara musik lagu terdengar dari ponsel Bhadrika, setidaknya membuatku sedikit tenang.

Alunannya terdengar damai. kecemasan, ketakutan itu mendadak hilang dari pikiranku. Menikmati lagu dengan memejamkan mata. Membawanya ke dalam mimpiku yang mengerikan.

Underground Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang