12. Batalyon

17 1 0
                                    

Hari ini tepatnya pagi-pagi buta sekali kita semua bergegas untuk melanjutkan perjalanan.

Tak ingin berlama-lama sebab kami merasa kasihan melihat anak-anak yang tidur hanya beralas kardus, ditambah dinginnya bangunan kosong itu membuat tubuh mungil itu menggigil.

Kami berjalan dengan beruntun, melewati lorong gang yang sempit itu dengan mengendap-endap.

Tak ingin membangunkan para monster yang mendengar pergerakan kami.

Aku berjalan diposisi ketiga, posisi kedua Miko, sedangkan posisi pertama ialah sang pemimpin Bhadrika yang siap menerima serangan dari depan untuk melindungi kami semua.

Dan posisi keempat Pramana membantu Gradapati yang berada di posisi terakhir untuk membeking para Mahiji yang menyerang dari belakang.

Anak-anak ada bersama di sisi kananku dan Miko, tubuhnya yang kecil dan kurus membuat mereka tak kesusahan berdesakan.

Ujung lorong sudah terlihat kami dengan cepat berjalan menghampirinya.

Tapi tiba-tiba kita dikejutkan dengan suara raungan kecil di luar lorong.

Bhadrika menyuruh kami untuk berjongkok. Sampai pada akhirnya kami menempel pada tembok bangunan lorong yang gelap, layaknya sekomplot cicak.

Mahiji berjalan langkahnya tertatih melintasi lorong tapi sialnya dia malah berhenti membalikkan tubuhnya menghadap lorong, kepalanya bergerak-gerak mencari keberadaan manusia digelapnya lorong.

Deru nafas kami terpompa, membuat menarik perhatian Mahiji itu. Namun ketika ia ingin mendekat suara bising dari luar lorong terdengar, Mahiji itu sontak mengikuti suara dengan berlari kesetanan.

Kami semua menghela nafas lega, Bhadrika melihat situasi di luar lorong. Dirasa aman dia menyuruh kami untuk segera keluar.

Suasana di luar lorong terlihat sepi, hanya ada benda-benda rongsok yang tergeletak.

Bangunan-bangunan pencakar langit terlihat sangat suram, layaknya kembali pada masa peradaban.

Melihatnya saja membuatku terpikirkan betapa ruginya pendiri bangunan-bangunan tersebut.

Apalagi jika kondisi normal kembali, mungkin para pembisnis akan memulainya lagi dari nol.

Kami berhasil keluar dari sesaknya kota, berjalan dengan sangat leluasa.

Memasuki wilayah bataylon yang sudah dipastikan aman dari serangan para Mahiji.

Menyingkirkan pembatas yang menutupi jalanan, Bhadrika melambaikan tangan ketika ia melihat di depan sana para militer sedang berdiri mengawasi jalan.

Kebahagiaan sudah terpancar dari wajah anak-anak. Mereka tahu bahwa sebentar lagi mereka akan hidup dengan perlindungan serta sandang pangan.

Aku menyunggingkan senyuman, melihat mereka berlari menyambut para militer.

Namun, senyumanku seketika luntur ketika melihat di sana para militer mengangkat senjatanya pada anak-anak.

Hatiku mencelos, berlari untuk segera melindungi anak-anak dari kesalah pahaman ini.

"Apa yang kalian lakukan!" seruku. Menatap nyalang mereka satu persatu.

"Kami hanya mengikuti sesuai perintah, bahwa tak menerima orang-orang yang sudah lama berada di luar." Salah satu dari mereka berkata dengan menatap lurus penuh ketegasan.

"Kami tak terinfeksi, jadi biarkan kami masuk!" ucap Gradapati. Berdiri di sampingku.

Tak ada sahutan dari mereka, membuatku sangat muak.

Aku mencengkeram kerah baju salah prajurit yang menghalangi. Semua prajut lain yang melihat itu terkejut lalu mengangkat senjata padaku.

"Setidaknya biarkan mereka hidup dalam perlindungan, sialan!"

Para prajurit angkatan darat ARM-artileri medan- yang mempunyai tugas untuk kesatuan senjata berat itu mengalihkan pandangannya dariku ke anak-anak.

Menurunkan senjata setelah aku berteriak untuk menyadarkan hati mereka sebagai sesama manusia.

Aku memberi tatapan menusuk pada prajurit yang bernama Setya itu. Dia masih menatapku datar, ancamanku seolah tak menakutinya.

"Biarkan mereka masuk!" ujar seseorang.

Langkahnya tegas khas seorang pemimpin. Semua prajurit menunduk ketika komandan kecadangan ARM tersenyum menyambut kami.

Aku melepaskan diri dari Setya, menatap sang Komandan.

"Saya mendapatkan kabar dari Jonas bahwa ada anak-anak yang masih hidup dan butuh pertolongan."

Aku menoleh pada Bhadrika, Jonas mungkin adalah temannya. Dan dia sudah memberitahunya pada komandan ARM.

"Apakah mereka?" katanya dengan tersenyum menyapa.

Aku melangkah lebih dekat, "Tolong jaga mereka. Kami mempercayai Anda daripada yang lainnya."

Setidaknya itulah yang aku bisa katakan pada sang komandan kemiliteran.

Dia melihatku memperhatikanku sebentar, lalu mengangguk. "Terima kasih sudah menyelamatkan mereka, kami akan menjaga mereka."

Aku bernafas lega, melirik anak-anak yang sudah berdiri di samping komandan bernama Imanuel itu.

Aku berjongkok mensejajarkan wajahku dengan wajah si mungil Mila.

"Kamu sudah aman."

Mila mengangguk lalu menerjangku dengan pelukan erat, tangan kecilnya melingkari leherku.

"Terima kasih Kakak cantik."

Mendadak pipiku merona, sangat malu untuk mengakui bahwa aku telah mendapatkan pujian dari seorang gadis kecil.

"Sama-sama sayang," balasku menormalkan kembali detak jantung yang terpompa.

Pandanganku beralih pada Nathan dan Jason. Memberinya senyuman untuk ke terakhir kali. Aku sangat bangga pada kedua orang tua mereka yang sudah merawat 3 orang anak dengan sangat baik.

Melihat mereka saling mengasihi, dan saling menjaga membuatku semakin terharu. Bahwasanya anak akan menerapkan apa yang orang tua mereka ajari.

"Jason, Nathan kalian jaga adik kalian yah. Kalian harus tetap bersama dan ikuti aturan di sini."

Mereka berdua tak mau kalah, menerjangku dengan pelukan. Kedua kakak lelaki yang sudah menjaga adik perempuannya sebagai peganti orang tua untuk gadis kecil itu.

"Kakak hati-hati, jangan sampai monster itu memakan kakak seperti ibu dan ayah." Nathan berkata dengan tatapan mengingatkan.

Aku terenyuh, mereka masih terlalu dini untuk mengetahui kebenaran tentang sebuah virus ganas yang menyerang semua dunia termasuk kedua orangtuanya.

Membalas dengan mengangguk dan memberi senyuman simpul itu yang bisa aku lakukan, melepaskan mereka untuk diserahkan para prajurit angkatan darat.

Mereka melambaikan tangan pada kami. Wajah-wajah itu membuatku kembali semangat untuk mencari keberadaan serum.

"Apa kalian tak istirahat dulu?" tanya sang komandan.

Aku menggeleng, "Tidak kami harus melanjutkan perjalanan."

"Baiklah."

Kami bergegas pergi setelah mengucapkan salam perpisahan pada anggota militer angkatan darat kecadangan ARM itu.

Untuk kembali melanjutkan perjalanan yang sangat panjang. Kami semua siap untuk menghadapinya, bahkan mungkin sesuatu yang sangat berbahaya menunggu di suatu tempat yang akan kami kunjungi.

Tidak mau menyerah sebab kekuatan untuk menemukan serum itu semakin bertambah. Tujuan untuk menyelamatkan dunia yang sudah hancur untuk mengembalikan seperti semula semakin membara.

"Virus semakin bertebaran menyerang sebuah kewarasan dan kami sebagai manusia yang waras harus mengalahkan dan mengembalikan semuanyaa seperti semula. Kami dari tim Intelejen sebuah kerahasiaan data dan informasi sangat bersemangat untuk mencari serum yang sembunyikan para peneliti yang gila akal dan tak bertanggungjawab itu."




Underground Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang