8. Manusia jalanan

9 0 0
                                    

Setelah keluar dari desa Kawuri kami melihat jalanan raya. pemandangan jalanan membuatku terbungkam sebab semuanya terlihat sangat hancur.

Kendaran seperti mobil, motor dan satu buah becak tergeletak tanpa tau arah. Gerobak-gerobak para pedagang kaki lima semuanya dibuat tak berbentuk. Asap polusi saling bersahutan dengan asap terbakarnya beberapa rumah di pinggir jalan. Aku berjalan sambil melihat-lihat dengan  waspada takut jika para Mahiji ada di sekitar kami.

"Ya Tuhan, aku tak menyangka semua ini akan terjadi." Pramana terlihat frustrasi melihat kekacauan di depannya.

Bangkai-bangkai manusia berserakan dengan luka yang sadis. Beberapa orang tubuhnya terkoyak dibagian perut, leher dan kaki. Ada juga wajahnya yang hancur sampai tak bisa melihat wajah aslinya.

"Apakah mereka benar-benar mati?" tanya Miko dengan memandang penuh kengerian di depannya.

Dengan cepat aku langsung mengeceknya menendang tubuh bangkai-bangkai itu satu persatu. "Sepertinya mati."

"Hei kalian!!!"

Segerombolan manusia jalanan menghampiri kami. Aku bernafas lega setidaknya mereka manusia utuh bukan Mahiji.

"Siapa kalian?" Lelaki dengan rambut gimbal menatap kami dengan tajam.

Semua orang menyebutnya adalah penguasa jalanan, karena hidup mereka dihabiskan di jalanan.

"Kita hanya lewat," kata Bhadrika memabalasnya. Tatapannya datar terlihat bahwa dia malah meladeni manusia jalanan.

"Apa tujuan kalian ke sini?" Pemimpin jalanan itu kembali bertanya, mengintrogasi.

"Hanya mencari keamaan."

Semua manusia jalanan tertawa, mungkin mereka pikir kami takut. Tentu saja tidak sama sekali.

"Kalian pikir kami bodoh?" Pemimpin manusia jalanan itu mendekat lebih dekat. Bau dari tubuh dan mulutnya tercium membuat diriku ingin mengeluarkan semua isi perutku detik itu juga.

"Kalian pemburu, kan?" Menatap Bhadrika dengan menantang.

"Bukan," kataku dengan dingin.

Pemimpin manusia jalanan itu menoleh ke samping, bola matanya melebar lalu tersenyum menghampiriku. "Kau cantik sekali, Nona."

Aku membuang muka ke samping sebentar menahan bau yang terus mengganggu hidungku kemudian kembali menatapnya. "Kalian jangan main-main jika jantung kalian tak ingin tertembak."

"Wowww... Tak percaya bahwa kata-kata kasar akan keluar dari mulut wanita cantik." Senyuman gila dia tampilkan. "Menarik. Aku suka wanita sepertimu," lanjutnya.

"Berhenti bermain-main," kataku datar. Bahwa ocehannya tak membuatku tertawa sama sekali. Melainkan membuat diriku sangat mual.

Wajahnya berubah menjadi datar. "Suasana sedang kacau aku tak butuh banyak waktu berdebat sehingga memancing mereka keluar dari tempat persembunyian, begini saja." Dia berdehem menjeda kalimatnya, "Beri kami uang lalu kami melepaskan kalian."

Sial, mereka para manusia jalanan memalak kami. Pergerakan Bhadrika mengambil pistol membuatku tersenyum. Sudah jelas bahwa Bhadrika tidak butuh waktu lama untuk bermain-main dengan orang-orang seperti mereka, tapi sebelum dia melakukannya aku lebih dulu mencegah. Aku menaruh jari telunjuk ke mulut lalu menunjuk ke arah pojok.

Semua pandangan mengikuti arah tunjukku, di sana beberapa Mahiji keluar mencari-cari suara. Mungkin sebentar lagi mereka melihat ke arah segerombolan makanannya yaitu kami semua di sini.

"Cepat! Beri kami uang!" kata pemimpin manusia jalanan dengan panik. Para temannya ada yang sudah berlari meninggalkannya.

"Tolong!"

Suara dari salah satu manusia jalanan terdengar nyaring sehingga para Mahiji berlarian mencari sumber suara.

"Sial! Semuanya lari!!!" perintahku.

Aku berlari diikuti teman-temanku dan para manusia jalanan. Semakin kita mengeluarkan suara dari langkah kaki semakin banyak pula Mahiji yang keluar dari tempat persembunyiaan ikut mengejar kami.

"Semuanya jangan berpencar, monster itu semakin banyak." Bhadrika berteriak lantang.

Semuanya berlari dengan kesetanan, aku menggenggam kuat senjataku jangan sampai terlepas.

"Awww!!! Tolong aku!"

"Tetap lanjutkan!"

Suara dari salah satu manusia yang tertinggal nyaring di telinga, aku menghela napas tak tega. Bhadrika dengan tegas menyuruh kami untuk tetap melanjutkan, sialnya justru aku berbalik arah menghampiri manusia jalanan itu yang tersandung batang kayu.

Namun dia dengan gesit mengambil batang kayu itu untuk dimasukan ke mulut Mahiji yang menyerangnya, sementara aku mulai menendang beberapa Mahiji yang ingin mengerumuni kami dan tanpa rasa takut aku menebas mereka satu persatu dengan pedangku.

Manusia jalanan yang masih di bawah umur itu terkejut akan kedatangannku. Mata kecilku itu menatapku meminta pertolongan. Aku mendekatinya mengulurkan tangan kecilnya ia pun bangkit dengan menyanggah keseimbangan karena kakinya terluka.

"Berdiri di belakangku," kataku menyuruhnya untuk berlindung.

Dia menurut, aku menggenggam pedangku dengan erat. Para Mahiji semakin banyak menyerang kami. Aku dengan sigap melawannya, mengganti pedangku dengan pistol lalu menembaki satu persatu.

"Kau masih bisa lari, kan?" Aku berteriak masih dengan menembaki para Mahiji.

"Bi-bisa."

"Berlari ke arah rombongan sekarang!"

"Bagaimana denganmu," katanya dengan suara gemetar.

"Aku bisa atasi ini, pergi cepat!!!" Aku mendorongnya untuk segera pergi, menatapnya dengan mengangguk. Dia memangis dengan berlari.

Aku kembali bertarung untuk membunuh para Mahiji yang semakin banyak. Sialnya justru aku terperangkap di jalanan yang penuh monster dengan sendiri.

Aku hampir kehabisan peluru berganti dengan pedangku terus menebas Mahiji yang tak juga mati. Namun seketika teringat salah satu kalimat yang ditulis pada buku itu bahwa jika ingin benar-benar membuat mosnter itu mati. Tusuklah dibagian jantungnya.

Aku melakukannya, menghunuskan pedangku pada jantung monster itu. Darahnya muncrat mengenai bajuku, berteriak kesakitan sebelum benar-benar tumbang detik selanjutnya. Aku kehilangan tenaga sebab para Mahiji semakin banyak, aku mencoba menghirup nafas tapi sialnya kakiku sangat lemas.

Beberapa Mahiji dari sampingku ingin menyerangku, tatapan kosong gigi busuk itu akan benar-benar merobek setiap bagian kulitku.

Aku menutup mata, tetapi suara tembakan terdengar nyaring di telingaku. Mencoba membuka mata penasaran, lalu menghela nafas. Para temanku kembali mereka berdiri dari kejauhan bahwa mereka datang untuk menolong temannya yang terjebak oleh puluhan monster.

"Datang di waktu yang tepat, bukan?" Gradapati tersenyum padaku.

Mereka mengampiriku Miko membantu untuk berdiri, dia menjitak kepalaku penuh dendam. "Kau gadis ceroboh, jika saja kami tak menyadari bahwa kamu tak ada di rombongan mungkin saja kau sudah menjadi bagian dari mereka."

Aku tahu setelah Bhadrika memberi perintah untuk tetap lanjut aku justru memperlambat lajuku agar mereka tak tahu bahwa aku pergi dari rombongan untuk menyelamatkan salah satu dari manusia jalanan.

"Dan anak itu juga memberitahu kami bahwa kau menyelamatkan nyawanya," lanjutnya dengan suara rendah.

"Bagaimana anak itu," kataku dengan khawatir. Aku hanya memastikan bahwa anak itu kembali pada rombongan.

"Dia baik-baik saja ada bersama teman-temannya."

Aku bernafas lega sekali.

"Hei kalian berdua ngobrolnya nanti saja, bantu kami!" Pramana berteriak.

Aku menoleh ke sekitar, kami di kelilingi puluhan Mahiji yang masih segar. Kami mendekatkan diri punggung kami saling terbentur, dengan senjata masing-masing kami siap melawan musuh terbesar saat ini adalah bukan seorang manusia utuh melaikan manusia hilang jiwa. Monster yang ganas.

"Kalian siap?!" Bhadrika berteriak tegas.

"SIAP!!!"

Underground Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang