3. Perkara Hari Pertama

161 23 2
                                    


 

Suara isak tangis menghentikan kunyahan Nata. Sepotong kukis bertabur choco chip tergenggam dalam tangannya sementara dia mencari sumber suara tersebut. Kak Irin kah? Kak Runa? Nata baru berpisah dengan kedua kakaknya setengah jam lalu karena dia kelaparan saat sedang bermain Barbie dan rumah-rumahannya di lantai dua. Kalau tidak salah, di ruang makan ada toples-toples berisi kue di lemari…. Berbekal daya ingatnya, Nata menemukan sebuah toples berisi kukis cokelat dan berakhir menghabiskan tiga kukis sebelum mendengar isak tangis lirih.

Ih! Apaan, tuh!

Nata jadi ingat cerita seram yang diceritakan Kak Irin sepulang sekolah barusan. Katanya, di toilet belakang SD-nya ada hantu berambut panjang yang suka menangis malam-malam. Konon, hantu itu adalah anak kelas enam yang dikunci teman-temannya di toilet belakang sekolah. Setiap malam, hantu perempuan itu menangis minta tolong dikeluarkan dari toilet pada siapa pun yang kebetulan lewat.

Mungkin nggak, sih, di rumah juga ada hantunya?

Takut-takut, Nata beringsut mencari asal tangisan tersebut. Namun, suara tangis itu begitu lirih dan sesekali sekitarnya berubah senyap seolah-olah tidak ada yang menangis sama sekali. Apa Nata salah dengar? Apa sebaiknya Nata kembali ke atas dan minta ditemani Kak Irin? Atau … ke atas aja kali, ya? Kukisnya kan bisa dibawa walau kata Ibu nggak boleh makan di kamar….

Cepat-cepat Nata menghabiskan kukisnya. Dia pun berjalan untuk mengambil gelasnya dari meja, berniat mengisi gelas dengan air dari dispenser di perbatasan antara ruang makan dan dapur. Saat itulah, Nata menemukan sosok Ibu memunggunginya, duduk memeluk lutut di sudut dapur.

Wajah Nata berubah cerah. Ternyata Ibu di rumah! Berarti Nata nggak usah minta tolong Kak Irin menemani Nata mencari hantu. Ada Ibu. Nata bisa mengajak Ibu berburu hantu!

“Ib—”

Panggilan Nata berhenti ketika punggung Ibu berguncang sesekali. Kepala gadis kecil itu penuh tanda tanya. Tidak jadi melompat-lompat, Nata akhirnya mendekati Ibu dengan langkah-langkah yang lebih pelan dan kalem.

“Ibu…?” Nata menyentuh bahu Ibu, menemukan hidung Ibu memerah. “Ibu kenapa nangis? Ada yang sakit? Apanya yang sakit, Bu? Sakit banget ya, Bu?”

Saat itu, Ibu tidak menjawab apa-apa. Nata juga tidak tahu harus berbuat apa. Jadi, dia hanya ikut duduk di sebelah Ibu, lalu memeluk Ibu yang masih menangis. Persis seperti yang selalu Ibu lakukan saat Nata menangis karena bertengkar dengan Kak Irin atau Kak Runa.

—ooo LIFE ooo—


Pendamping mereka hari ini bernama Dokter Jordan. Tapi, katanya,

“Panggil Mas Jordan aja.”

Tuh. Gitu. Nata nyaris memutar bola matanya karena diminta memanggil Dokter Jordan dengan panggilan seakrab itu. Lagipula, nama Jordan itu dari mana? Jelas-jelas Nata lihat di nametag-nya nama dokter laki-laki bertubuh besar dan berperut buncit itu namanya Joni Ardan Sugih. Jordan itu nama kerennya, kali.

Di sebelahnya, Taka bertukar pandang sekilas dengannya. Nyaris menahan tawa. “Saya juga boleh panggil Mas Jordan?” tanya Taka tanpa malu-malu.

Wajah Dokter Jordan sedikit berubah mendengar pertanyaan Taka. “Panggil Kakak ajalah. Dokter juga nggak masalah.”

Tawa Nata nyaris meledak karena Dokter Jordan terlihat risih dipanggil ‘Mas Jordan’ oleh Taka. Salah sendiri. SKSD bener jadi orang. Begitu Dokter Jordan berbalik badan, Nata menyikut Taka dan berbisik, “Menggarami tuh.”

“Menggarami?”

“Salting. Lagian ngapain lo manggil Mas Jordan? Gue aja geli dengernya.” Nata tidak habis pikir kenapa Taka berbuat demikian.

LIFE (Living Is Full of Effort)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang