7. Petaka

9 1 0
                                    

Bel pulang sekolah telah berbunyi dengan nyaring membuat seisi SMA Garuda bersemangat untuk membereskan peralatan sekolah mereka. Kali ini Thalassa sudah memasukkan alat tulisnya ke dalam tas dan bersiap pulang bersama Cindy dan Alana. Mereka berangkat bersama menggunakan mobil milik Cindy hari ini, dengan Alana yang menyetirnya.

"Tha, main ke rumah lo dong! Kita temenan udah setaun tapi nggak pernah main ke rumah lo," keluh Cindy yang penasaran dengan rumah Thalassa karena hanya dapat menatap rumah tersebut dari depan gerbang megahnya saja.

"Kapan-kapan deh, ya. Rumah gue masih belum menerima tamu," jawab Thalassa dengan enggan. Hal yang ia sembunyikan dari seluruh teman SMAnya termasuk dua sahabatnya itu adalah fakta bahwa ia memiliki berbagai medali dan piala karena memenangkan berbagai perlombaan bela diri semasa SMP, dan semasa SMA ia lebih fokus pada bidang akademik. Ia berjanji akan mengajak mereka pada waktu yang tepat, sekaligus membongkar kedoknya yang cukup jago bela diri.

Sejak kelas sepuluh hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang tahu bahwa ia mempelajari bela diri karena ia dikenal sebagai siswi yang rajin, pintar, dan tidak neko-neko. Ia cukup dikenal sebagai sosok yang jaga image meskipun tidak nerd. Kemampuannya untuk bersosialisasi juga sudah sangat meningkat hingga ia dikenal sebagai sosok "social butterfly" karena mudah bergaul dengan siapa saja. Meskipun faktanya, Thalassa susah menghafal nama maupun wajah seseorang.

Semua image-nya saat ini, berbanding terbalik dengan Thalassa de Aguirre semasa SMP. Ia menjalani masa-masa kecilnya di Bandung. Mendapat peringkat belasan di sekolahnya karena malas belajar tidak ia permasalahkan sama sekali, ia hanya mengandalkan kemampuan bela dirinya dan memiliki sifat pendiam, tidak suka untuk bersosialisasi. Sejak kecil ia hanya bersosialisasi dengan sepupunya yang mengalami autisme, Leo. Semenjak laki-laki itu bersekolah di Sekolah Luar Biasa, Thalassa menutup diri selama SMP hingga ia hanya dikenal sebagai "si jago bela diri".

Demi perawatan intensif Leo yang koma, ia dipindahkan oleh orang tuanya ke ibukota. Hal itu lah yang membuat Thalassa memohon kepada mamanya untuk ikut pindah ke Jakarta, apalagi ayahnya bekerja di perusahaan yang terletak di Jakarta juga sehingga dengan mudah kedua orang tua gadis itu menyetujuinya.

"Kita ke Cailano Cafe aja gimana? Instagramable, loh!" ujar Thalassa dengan semangat agar Cindy dan Alana tidak kecewa. Ia menunjukkan unggahan instagram akun kafe tersebut kepada CIndy yang sangat suka untuk berfoto dan meng-upload konten di media sosial.

"GAS!" jawab Cindy semangat. Ide Thalassa benar-benar manjur untuk gadis pecinta make up itu. Alana hanya pasrah karena ia tidak masalah di manapun mereka akan nongkrong, bahkan ketika harus di warkop sekalipun.

Thalassa duduk di kursi pengemudi dan segera memasang sabuk pengaman, diikuti oleh kedua temannya yang sudah ia sanggap sebagai saudara. Thalassa membulatkan mata melihat lampu indikator bensin mobil sahabatnya itu sudah menyala, menunjukkan mereka sedang berada dalam krisis.

"Kayanya kita lewat jalan pintas gang kemuning yang sepi itu aja deh, soalnya lewat jalan itu paling cepet sampai ke pom bensin," ujar Thalassa setelah menghela nafas.

"Oh iya! Gue lupa ngasih tau kalian tadi pagi kalau bensinnya mau habis," jawab Alana sambil menepuk keningnya sendiri.

"Emang iya bensin mobil gue hampir habis?" Cindy malah balik bertanya sambil cengengesan, membuat Thalassa dan Alana yang duduk di depan menatapnya malas.

"Serem woi tuh jalan. Kalau kita dibegal gimana?" tanya Thalassa serius karena pertama kali ia bertemu dengan Gavin, saat pria itu bertengkar dengan The Eagle, adalah di jalanan gang itu.

"Yaelah, ini kan masih sore Tha! Masih jam tiga lebih dikit," remeh Alana yang disetujui oleh Cindy. Thalassa memang tidak menceritakan kejadian hari itu pada dua sahabatnya itu, atau mungkin belum.

Bold and Italic Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang