Bab 9

188 25 0
                                    

Insya Allah cerita ini akan tamat di Karyakarsa. Buat kalian ayo mampir.

Link ada di bio.

Selamat Membaca

Tante Titi benar-benar mewujudkan semua yang diucapkannya, dari menemaniku pergi ke WO, visit MUA, hingga hal-hal yang terkecil termasuk mencetak undangan.

"Capek ya Tan." Tanyaku saat kami baru saja menyelesaikan pemesanan undangan. Rencananya undangan akan disebar sebanyak seratur lima puluh, itu sudah semuanya. Kepala wanita paruh baya itu mengangguk dengan raut wajah bahagia, "Nggak papa, ini bagian dari perjalanan hidup jadi harus dinikmati."

"Tapi terima kasih lo Tan, kalau nggak ada Tante aku harus kesana kemari sendiri."

"Iya, sama-sama. Sebenarnya Tante memang ingin menemanimu saat-saat seperti ini. Dan doa Tante terkabul." Meskipun aku tidak ditemani Ibu tetapi aku merasa sudah cukup dengan kehadiran Tante Titi.

"Tapi Dara jadi nggak enak sama Om Firman." Ucapku sambil menunduk, bagaimana tidak jika waktunya bersama sang istri aku gunakan untuk persiapan kegiatanku. Tangan Tante Titi mengusap tanganku yang berada di atas meja, sekarang kami tengah beristirahat di salah satu restoran. "Om kamu juga paham kok Dar, nggak usah sungkan. Bahkan anak Tante juga tahu." Ibuhnya untuk menghilangkan rasa tidak percaya diriku. Dibadingkan dengan Naura, anak Tante Titi jauh lebih dekat denganku.

"Tapi tetap nggak enak ah Tan."

"Jangan ngomong kaya gitu, ini Tante lakukan juga dengan izin mereka. Percaya sama Tante."

Mengambil napas panjang aku mengangguk. Hingga tak berselang lama pelayan datang dengan membawa beberapa makanan yang kami pesan.

Hari-hariku diisi dengan kegiatan baru, yaitu mengecek semua peritilan kecil mengenai pesta pernikahan.

"Lo kok nggak pernah pergi sama Wira akhir-akhir ini?" Tanya Kiki saat diriku tengah mengecek semua bahan yang tersisa di gudang. Tertinggal aku dan Kiki malam ini, aku menoleh dan menatap Kiki. "Katanya sibuk, banyak kasus. Terus akhir-akhir ini juga kan kita lembur terus jadi nggak ada waktu buat mampir ke apartemennya."

Kiki yang tengah menyesap mocacino mengangguk, "Tapi lo ngrasa aneh, nggak sih?"

"Aneh bagaimana?"

Wajah Kiki berubah, ada sorot mata yang memancarkan keraguan. "Tapi lo nggak boleh gegabah, ini cuma pendapat pribadi gue sih. Setelah kalian pergi ke WO gue nggak pernah lihat Wira kemari lagi. Bahkan saat akhir pekan yang biasanya Wira datang, ini enggak."

"Gue juga nggak tahu, Ki. Setelah itu memang komunikasi masih lancar tapi ya itu terkendala waktu." Menghela napas panjang aku mengungkapkan keresahan hatiku. Terkadang juga pikiran negatif itu datang menghantui, dan yang bisa aku lakukan hanya berdoa dan mencoba percaya dengan ucapan dan janji Wira. Jujur aku sudah paham luar dalamnya Wira.

"Kalau gue sih, ini saran aja ya. Ini masih ada waktu sekitar satu bulan, lo coba temui Wira cari tahu apa yang membuat dia berubah. Lo selidiki, kalau itu hal yang menurut lo nggak bisa lo tolerir ya lo cabut. Sebelum semuanya runyam."

"Kok kesannya negatif sih?"

"Gue kasih masukan itu buat jaga-jaga. Nikah itu nggak sesederhana yang lo kira, nikah itu berat. Jika lo tahu hal itu diawal kan lo bisa cari jalan keluar."

Dan lontaran kata dari Kiki membuatku berpikir ulang. Aku tidak tahu hal apa yang membuat Wira berubah tetapi aku akan mencaritahunya.

Mengarahkan mobil menuju apartemen Wira, aku melangkah menuju unitnya. Dalam setiap langkah itu aku berdoa semoga tidak terjadi apa-apa dan lebih tepatnya mengenyahkan pikiran negatif ini.

Menekan bel apartemen, aku menunggu dengan harap-harap cemas. Ini sudah pukul sembilan malam, dan otomatis Wira ada di tempat. Tetapi kenapa ini lama sekali membukanya.

Ceklek.

Bukan Wira yang membukanya, tetapi Ibu? Kenapa Ibu ada disini?

"Ibu?" Raut wajah Ibu gelagapan dan tersenyum kepadaku sebelum menjawab sapaanku. "Masuklah, Wira di dalam."

"Tapi kenapa Ibu ada disini?"

"Tidak papa, membahas persiapan pernikahan kalian, apalagi?" Aneh, karena sejak pembicaraan akan pernikahanku baik Ibu dan Bapak tidak pernah bertanya mengenai perkembangannya. Bahkan cenderung tidak peduli. Tapi sekarang Ibu ada di apartemen Wira.

"Masuklah, Wira di dalam." Ulang Ibu yang berjalan menuju lift yang akan mengantarkannya ke bawah.

Aku melangkah masuk dan mendapati tubuh Wira sedang terduduk di sofa ruang tamu dengan tangannya yang bertumpu di lutut. Aku mendekat dan menatap wajah kalutnya, "Ada apa?"

"Eh, Sayang kamu ada disini?" Jawabnya dengan raut wajah kaget, aku tersenyum dan mengangguk. "Aku kangen kamu, jadi aku kemari."

Tangan Wira menarik tubuhku, mendekapku begitu erat seakan ia takut jika aku akan pergi jauh. Kuusap punggungnya perlahan mencoba menenangkan kegundahan hatinya. Aku tidak tahu sikap Wira ini ada sangkutpautnya dengan kedatangan Ibu atau tidak.

Hingga aku merasakan rengkuhan itu mengendur, kutatap wajahnya. Wajah lelah yang menyiratkan tekanan, "Ada apa? Cerita sama aku."

"Enggak, cuma masalah pekerjaan."

"Kalau kamu tidak mau bicara sekarang, aku nggak papa, kok. Aku akan tunggu sampai kamu siap." Aku tidak mau menjadi orang yang menekannya demi sebuah penjelasan, meskipun ada rasa ingin tahu yang bercokol di dalam hatiku.

Tersenyum Wira mengangguk, "Kamu balik dari restoran?"

"Iya, aku merasa ada hal yang tidak beres sama kamu. Makanya aku ingin tahu kondisi kamu, jadinya aku kesini."

"Maaf, ya."

"Tapi alhamdulillah kamu tidak papa."

"Em, tadi Ibu kemari ngapain?" Ucapku setelah kami melalui waktu dengan keheningan. Posisi tubuhku sekarang sudah duduk berdampingan dengannya, dengan layar televisi yang menyala.

Kepala Wira menoleh, "Tanya persiapan pernikahan."

"Aneh."

"Kok aneh?"

"Kalau aku di rumah baik Bapak sama Ibu tidak pernah bertanya akan hal itu. Tapi mengapa sekarang Ibu datang kemari menanyakan hal itu." Ujarku dengan menyandarkan kepala di sandaran sofa. Lelah tubuhku setelah seharian berkutat di dapur, ditambah kehadiran Ibu di apartemen Wira menambah beban pikiranku.

"Kamu capek? Aku pijitin ya." Sebelum aku menjawab tangan Wira sudah mengangkat betisku hingga ada di pangkuannya. "Nggak usah dipikirin, sudah kamu fokus aja sama apa yang ada di depan kita." Lanjutnya dengan memijat betisku perlahan.

Mataku yang sudah lelah membuatku merasakan kenyamanan akan pijatan Wira. "Tapi aneh."

"Sudah nggak usah dipikirin. Kamu istirahat saja, nanti aku pindahin ke kamar satunya." Aku tidak menjawab semua lontaran kata Wira hanya anggukan kepala yang bisa aku lakukan, hingga akhirnya rasa kantuk itu menyerang dan membawaku ke alam mimpi.

Tbc

Luka itu Aku ✔ (Karyakarsa & KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang