Cerita ini sudah TAMAT di Karyakarsa. Ayo baca keseruannya disana.
Link ada di bio.
Username: aniswiji
Selamat Membaca
Hari-hari kulalui dengan agenda tambahan yaitu ke rumah sakit. Mengenai kondisi Naura, semakin hari semakin membaik. Dokter mengatakan untuk menjaga pola pikirnya agar tidak tertekan. Jujur, Naura bukan pribadi yang mudah membicarakan masalah pribadinya kepada banyak orang, termasuk diriku.
"Lo ke rumah sakit lagi?" Aku mengangguk, saat ini aku menyiapkan makanan untuk Bapak dan Ibu yang berjaga disana. "Terus pernikahan lo gimana?"
"Gue sudah bicara sama Wira mengenai hal itu. Katanya besok baru urus ke WO. Sejauh ini nggak ada masalah kok."
"Syukur kalau nggak ada. Gue berdoa semoga kalian lancar sampai hari H." Aku tersenyum dan membayangkan peristiwa itu. Mungkin untuk pertama kalinya aku akan bahagia seutuhnya saat itu. Berdampingan dengan orang yang kita cintai melangkah untuk membina rumah tangga.
"Aamiin."
Selesai urusan di restoran aku bergegas menuju rumah sakit. Untuk memberikan makan malam, "Ini Dara bawakan makanan Pak, Bu."
"Terima kasih, Kak." Aku mengangguk dan menatap Bapak Ibu yang melahap makanan yang kubawa. Tidak jauh dari hadapan kami, tubuh Naura terbaring disana.
"Kata dokter ada yang mengganggu pikiran Adik kamu, makanya dia sampai drop." Ucap Bapak setelah ia menyelesaikan sesi makannya. Aku menoleh menatap wajah pria yang berbagi darah denganku. "Memangnya apa?"
Mengambil napas panjang, Bapak menatap ke arah tempat tidur Naura. "Bapak mencoba bicara sama Naura, dan ia masih bungkam. Entah apa yang dipikirkannya."
Terdiam, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Tapi kamu nggak usah khawatir Kak, fokus sama persiapan pernikahanmu saja. Biar Naura Bapak sama Ibu yang urus."
***
Menatap awan siang hari ini aku merasa gundah, rasanya ada hal yang mungkin saja akan terjadi dan itu adalah hal buruk. Mengenyahkan pikiran itu, aku mendengar suara Wira.
"Sayang, maaf ya lama. Tadi ada sidang yang agak molor." Aku menoleh dan mendapati tubuh Wira tengah berdiri. Tubuh dengan balutan seragam khas instansinya. "Nggak papa, aku tahu kok."
"Mau minum apa?" Lanjutku dengan menyerahkan buku menu. "Capucino aja."
"Nggak mau makan?" Kepalanya menatapku, "Nggak kelamaan?"
Mengedikkan bahu aku menjawab lontaran itu. Tidak masalah bagiku jika harus menunggu Wira mengisi perutnya yang kosong. "Oke aku makan dulu ya."
Sebenarnya aku sangat menikmati suasana berdua dengan Wira, entah mengapa jika berdekatan dengannya aku merasa tenang. Ada sisi di diri Wira yang menbuatku merasa dilindungi.
"Kita ke WO ini dulu ya, katanya bagus." Aku mengangguk, mobil yang dikendari Wira mengarah ke kantor salah satu WO ternama di kota ini. "Mau pakai baju adat atau nasional aja?" Tanyanya disela perjalanan.
"Mau kamu apa?"
"Bebas sih, tapi yang penting nyaman." Tekannya dengan tangan yang masih fokus di kemudi.
Aku menoleh menatapnya, "Iya Nasional gimana? Kalau adat kita pakai buat prewed aja."
"Ide bagus."
Hal yang paling aku syukuri adalah Wira sosok pria yang nggak ribet. Dibandingkan dengan semua pria yang pernah aku temui, dia adalah pria yang menjunjung nilai kenyamanan.
Hingga akhirnya kami sampai.
"Bagus dilihat dari beberapa foto." Bisikku saat kami memasuki kantor yang bernuasan pastel itu. Disana terpampang beberapa foto yang menampilkan pesta pernikahan yang dilakukan oleh WO ini dengan beberapa pelanggan. Kepala Wira mengangguk menyetujui penilaianku. "Nggak salah kalau teman aku banyak yang pakai jasa ini."
"Heem. Bagus." Kami duduk di sofa saat salah satu karyawan memanggilkan kenalan Wira. Entah dari mana Wira mengenalnya.
"Bapak Wira. Senang berjumpa dengan anda." Salam perempuan muda yang keluar dengan membawa tumpukan buku katalog. Perempuan itu bergantian berjabat tangan dengan kami.
"Iya, salam kenal. Saya Wira ini calon istri saya, Andara."
"Bu Dara, saya Monik."
"Salam kenal Bu Monik." Kami duduk di lobi kantor dan membahas beberapa hal yang akan kami usung dalam perta ini.
"Kalau dari segi waktu masih cukup Pak, Bu. Kami akan meninjau beberapa perlengkapan terlebih dahulu sebelum kita melakukan visit."
"Baik, kalau bisa secepatnya karena saya terkadang tidak punya waktu." Jelas Wira dengan sorot mata serius. Perempuan tadi mengangguk dan mencatat sebuah tanggal untuk meninjau beberapa vendor yang akan kami gunakan. "Baik, tanggal lima belas bulan depan kita bertemu kembali. Saya akan mengajak Bapak dan Ibu melihat semua vendor yang akan digunakan."
"Baik, terima kasih sebelumnya."
Kami berjabat tangan dan izin undur diri.
"Pilihan kamu bagus banget, nggak tahu aku harus mengatakan apa." Pujiku saat memasuki mobil dan mobil mengarah ke apartemen Wira. Wira menoleh sebentar ke arahku dengan menyunggingkan senyuman yang tak kalah tampan.
"Bagiku menikah itu sekali dan menyiapkan perihal itu juga sekali, maka aku akan memilih hal yang terbaik buat kita."
"Terima kasih."
Hingga tak kusadari mobil sudah sampai di baseman apartemen. Kami melangkah bersama keluar menuju unit Wira.
"Rasanya seperti mimpi ya, kita sudah akan mempersiapkan pernikahan. Padahal baru kemarin kamu menolakku dengan alasan yang tak masuk akal." Ucap jujur Wira saat kami berdua di bilik lift. Pandangan Wira masih tertuju ke depan dengan kedua tangannya dimasukkan kedalam saku. Aku mendekati tubuhnya dan mengalungkan tanganku ke tangannya. "Maaf ya."
Wajahnya menoleh dan tersenyum.
"Semuanya sudah menjadi masa lalu, dan mungkin ini waktunya kita."
"Aamiin ... Aku juga merasa ini seperti keajaiban. Jujur aku tidak tahu kalau pikiran Bapak akan berubah. Padahal aku ingat betul jika Bapak sangat melarang diriku menikah sampai beberapa minggu kemarin." Aku tidak selamanya berbohong karena ini nyatanya.
"Tetapi sekarang Bapak merestui kita, jadi aku sangat bersyukur akan hal itu." Aku mengangguk, dan bunyi pintu terbuka membuat kami melangkah ke luar. Bagiku hari ini adalah hari terbaik dalam hidupku, menyiapkan pesta dengan orang terkasih. Orang yang akan menjadi teman hidupku kelak, dan semoga jalan menuju ke arah sana dilancarkan. Aamiin.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka itu Aku ✔ (Karyakarsa & KBM)
RomanceSemuanya kuberikan, tapi jangan cinta. Karena cintaku sudah lama mati. Andara Winasti