Bab 4

282 33 2
                                    


Beberapa Part akan di update lebih dulu di Karyakarsa. Silakan follow akunku.

Username: aniswiji

Bab 5 - 7 sudah update

https://karyakarsa.com/AnisWiji/luka-itu-aku-bab-5-10

Selamat Membaca

"Kata Bapak kamu mau mengenalkan calon kamu besok, Kak?" Tanya Ibu menatapku sekilas saat makan malam. Aku mengangguk mengiyakan ucapan Ibu.

"Kenapa nggak bilang jauh-jauh hari? Ibu sudah bilang, kan kalau Kakak boleh nikah setelah adik kamu menikah." Perkataan Ibu membuatku menghentikan pergerakan tangan dengan sendok. Kutatap Ibu dengan tatapan serius, sudah cukup aku mengalah selama ini.

"Apa Naura sudah punya calon? Ibu tidak tahu, kan? Lantas kenapa Dara harus mengalah? Apa pengorbanan Dara selama ini tidak cukup di mata Ibu?"

Ibu terdiam membisu seakan tidak tahu harus menjawab. "Karena bagi Ibu Naura yang harus bahagia. Tidak denganku." Aku berdiri dan melangkah masuk menuju kamar tidur mengabaikan suara Bapak dan Ibu yang berdebat.

"Dara juga anak kita, Bu. Hargai dia."

"Tapi Naura.... "

Entahlah, mereka seolah menganak emaskan Naura secara sadar tanpa rasa bersalah terhadapku.

Kukunci pintu dan merebahkan tubuh di atas ranjang, menatap langit-langit yang berhias bintang. "Rumah tetapi bukan rumah."

"Apa mereka harus melihat diriku pergi dari hidup mereka baru akan merasakan kehadiranku?"

"Hahaha, lo nggak seberharga itu Dar. Ingat hanya ada Naura di rumah ini." Tak terasa air mataku keluar tanpa bisa kuhindari. Rasa sesak di dalam dada yang sudah memuncak membuat sisi sentimentilku bangkit. Aku sudah lama tidak seperti ini.

Ada atau tidaknya diriku di rumah ini, kurasakan tidak begitu penting.

"Gue berharap lekas keluar dari rumah ini." Meratapi hidup nyatanya membuatku merasakan rasa lelah yang teramat dalam. Jika aku bisa memilih maka aku tidak akan berada disini. Dan aku akan mencari rumah yang sejati. Tekanku sebelum jatuh tak sadarkan diri menjemput mimpi.

Keesokan harinya aku putuskan berangkat ke restoran jauh lebih pagi dibandingkan biasanya, karena aku mencoba menghindari Ibu.

Sebenarnya sikap Ibu kepadaku bisa dibilang baik tapi juga tak baik. Sisi keibuannya yang cenderung ke diri Nauralah yang membuat seperti itu.

"Boleh keluar tapi asal Naura kamu ajak." Aku menatap wajah Ibu yang masih mengenakan baju kerjanya. Aku keluar juga dengan teman-temanku, kenapa harus mengajak Naura?

"Dara keluar juga dengan teman Dara, Bu. Kenapa Naura harus ikut?"

"Apa kamu tidak kasihan dengannya Kak, adik kamu tidak bisa keluar jika tidak ada yang mengawasi. Dan ini kamu keluar, maka ajaklah dia. Hitung-hitung refresing bersama."

Ingatan itu masih terngiang di kepalaku, bukannya saat itu aku tak mau. Tapi frekuensi pola pikir antara aku dengan Naura sangatlah berbeda. Dan itu membuat teman-temanku merasa canggung.

Membuka pintu restoran aku melangkah masuk ke ruanganku, merebahkan tubuh di sofa untuk menjernihkan pikiran. "Setidak berharganya diriku, hingga aku tidak boleh menikah sebelum Naura."

Miris memang.

Aku menatap sorot matahari yang menerobos masuk dari celah jendela.
"Lo berharga Dar, jangan hanya penolakan ini membuat lo hancur. Lo itu gadis kuat." Sisi malaikatku mencoba menguatkan hatiku yang rapuh.

"Nikah aja Dar, nggak usah dengerin omongan Ibu lo. Lo pantas bahagia."

Ya, aku tekankan disini bahwa aku pantas mendapatkan hal itu. Maka sekarang aku harus memperjuangkannya. Karena tidak ada kebahagiaan tanpa pengorbanan.

Bergegas aku bangkit dan berjalan menuju bilik ganti baju. Memulai pagi ini dengan hal yang jauh lebih produktif dan mengabaikan masalahku.

***

"Mama sama Papa sudah sampai?" Tanyaku dari balik sambungan video call yang menghubungkan diriku dengan Wira. Wajah Wira yang menghias layar ponselku mengangguk.

"Alhamdulillah sudah, sejak dhuhur tadi. Ini sedang istirahat. Kamu bagaimana?" Kusembunyikan kesedihanku dengan senyuman. Aku tidak mau menambah beban pikiran Wira.

"Alhamdulillah baik, ini di restoran juga ramai. Nanti aku bawakan masakanku untuk kamu makan di rumah. Sekalian agar Mama sama Papa tahu bahwa calon mantunya pintar masak."

"Syukur kalau kamu baik-baik saja. Itu ide bagus, jadi nggak sabar. Sebenarnya Mama sih yang nggak sabar." Wajah Wira tersenyum dan tangannya mengaruk bagian belakang kepalanya. Aku yang mendengar tekanan pada kata 'nggak sabar' jadi bertanya-tanya.

"Nggak sabar bagaimana?"

"Gendong cucu katanya."

"Oh kirain masakanku." Bibirku mengerucut seolah kecewa akan jawaban Wira. Wira yang paham hanya bisa tertawa ringan. "Itu juga, tapi Mama pesan spesial buat yang cucu."

"Ih, Mama mah, kaya gitu. Belum halal udah ditanyakan target."

"Hahaha, nggak papa. Kita jalani aja dulu, kalau dikasih ya syukur kalau belum usaha lagi. Kan enak usahanya." Mendengus sebal aku menatap Wira. Jika seperti ini saja ia akan gas pool tanpa bisa aku cegah. Apa seperti ini pikiran semua pria?

"Ih enak, kata siapa? Memang kamu sudah pernah?" Sontak Wira terbatuk-batuk akibat pertanyaanku ini. Karena ia sedang meminum air mineral.

Mengusap sisa air minumnya Wira baru menjawab, "Memang bilang enak harus pernah melakukan? Kan enggak, bisa jadi itu dari orang lain yang berbagi pengalaman. Apalagi temanku banyak yang sudah menikah, wajar pembicaraannya seperti itu."

Aku mengangguk paham, ya jika berteman dengan orang yang sudah menikah mah, curhatnya masalah urusan ranjang. "Iya juga sih, eh yasudah aku mau prepare buat masakan yang dibawa pulang. Takut nanti kelamaan dan terlambat pulang, nanti jadi malu sama kedua orangtua kamu."

"Iya yasudah sana. Kita bertemu nanti malam. Love you." Aku tersenyum dan mematikan sambungan telepon, bergegas aku melangkah menuju dapur untuk mempersiapkan makanan.

"Happy bener yang mau lamaran, ya." Goda para karyawanku saat tanganku sibuk mengiris sayuran. Tersipu malu aku hanya membalas dengan gurauan juga. "Syirik tanda tak mampu."

"Ye Bu Bos mah. Yakali kita syirik. Kita bersyukur akhirnya Bu Bos mau teken, moga aja berkah dunia akhirat."

"Aamiin."
Kuamini doa mereka, dan semoga hal ini terkabul.

Tbc

Luka itu Aku ✔ (Karyakarsa & KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang