Pagi-pagi aku sudah berdandan untuk bertemu dengan Mamanya Wira. Dari habis subuh aku sudah sibuk mempersiapkan diri dari baju, oleh-oleh yang akan aku bawa, hingga make up yang harus aku poles. Semua harus sempurna, itu yang aku tanamkan.
"Sempurna," batinku melihat pantulan diriku sendiri dari balik cermin. Warna yang begitu natural nampak pas dengan baju yang kukenakan. Tidak mencolok.
Bergegas mengambil tas aku berjalan keluar dari rumah.
"Mau kemana?" Tanya Bapak saat aku sampai di pelataran rumah hendak masuk ke dalam mobil. Aku menoleh dan menjawab. "Keluar."
"Kenapa nggak sarapan dulu?"
"Tidak, mau sarapan di luar." Bergegas aku masuk tanpa mengindahkan Bapak kembali, mengarahkan mobil menuju pusat oleh-oleh aku membeli beberapa makanan yang disukai Mamanya Wira. Tadi malam memang aku sempat bertanya akan kesukaan beliau jadi aku paham sedikit-sedikit.
"Kak beli brownis panggang rasa cokelat tiga, sama yang rasa vanila dua." Ucapku ke pelayan toko kue yang kudatangi pagi ini. Wanita itu mengangguk dan mempersiapkan pesananku.
"Ini Kak, semuanya dua ratus ribu." Menyodorkan lembaran merah dua lembar aku melangkah keluar. Tidak sabar untuk sampai di apartemen Wira.
"Loh tumben dah sampai?" Ucapnya saat aku sibuk dengan perkakas piring. Tadi saat menuju apartemen Wira aku memang memilih untuk membeli menu sarapan, sebelum memulai perjalanan. "Pingin aja, kan sekalian kita sarapan."
Kepala Wira mengangguk, dia berjalan mendekat dengan pakaian khas bangun tidur. "Mandi aja gih, biar aku siapkan ini semua."
"Kenapa?"
"Bau," ujarku dengan mengibaskan tangan di depan wajah seolah tubuh Wira mengeluarkan gas yang mencemari udara. "Apa?" Tanpa babibu Wira memelukku dan mendaratkan ciuman di seluruh wajah. Alhasil make up ku rusak.
"Sudah ah, rusak ini riasanku." Tanpa rasa bersalah Wira melangkah pergi dengan senyuman khasnya. "Salah siapa menggoda singa di pagi hari." Ucapnya dengan menutup pintu kamarnya.
Mendengus kesal, aku mencoba menata ulang riasanku. Hingga tak berselang lama Wira keluar dengan tampilan yang jauh lebih baik dari tadi. "Nggak usah lihat-lihat, iya aku ganteng."
Kenapa Bapak jaksa ini terlalu percaya diri banget?
Ingin aku pukul keningnya yang sedikit lebar itu.
"Sudah ah, kita sarapan. Nanti kita telat sampai ke rumah kamu." Wira mengangguk dan kami menikmati sarapan pagi ini. Jika saja aku bisa menikmati sarapan seperti ini setiap hari, mungkin aku akan jauh lebih bahagia.
"Restoran ramai, kan?" Aku menatap wajahnya dan mengangguk. Bibir Wira masih sibuk dengan kunyahannya. "Ramai, apalagi kemarin kamu bantu promosi di instagram jadi tambah ramai. Apalagi pengikutmu yang begitu fanatik."
Wira nampak tersenyum bangga, dengan jabatan sebagai jaksa muda dan wajah yang rupawan membuatnya digandrungi banyak kaum hawa. Apalagi banyak diantara mereka yang menginginkan Wira jadi pasangannya. Aku tidak menutup mata akan semua yang melekat di diri Wira, meskipun terkadang aku mensyukurinya.
"Mereka yang fanatik, aku mah tidak."
"Percaya deh sama Bapak satu ini." Lanjutku dengan mengacungkan jempol.
Wira bukan hanya sebagai pasangan buatku tetapi ia bisa menjadi teman, sahabat yang bisa menghiburku dikala duka itu datang. Dia bukan pria yang egois yang mementingkan dirinya sendiri.
Perjalanan kami lalui dengan tawa yang menggema di dalam mobil. Bahkan aku merasa sampai perutku merasa sakit. "Sudah ah, perutku sakit."
"Salah siapa tertawa terus." Jawabnya tampa bersalah, dia yang cerita aku yang tertawa dan dia tidak sadar akan tingkahnya? Sungguh keterlaluan.
Mobil yang kami tumpangi sampai di sebuah pelataran rumah yang cukup luas. Rumah yang begitu berbeda dengan yang lainnya, "Rumah kamu unik." Pujiku sekilas saat melihatnya. Bukan rumah dua lantai atau bak istana tapi rumah dengan desain zaman dahulu.
"Mama Papa orang Jawa, ya maklumlah." Aku mengangguk samar dengan tangan yang melepas seatbelt. Tak lupa sebelum turun aku melihat tampilan di wajahku, sempurna. Keluar, aku merapikan baju yang kukenakan agar terlihat sopan tak lupa oleh-oleh yang sudah kupersiapkan.
"Nggak usah grogi, Mama Papa orang baik." Aku tersenyum canggung sebelum mengikuti langkah lebar Wira.
Ketukan dan salam Wira lakukan, hingga tak berselang lama seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu dengan senyuman. "Wira." Ucapnya dengan memeluk tubuh tegap Wira. Aku yang melihatnya merasakan rasa iri, kehangatan sosok Ibu Wira dapatkan, tapi aku? Hanya menjadi bayangan atau pesuruh untuk adikku. Tidak lebih.
"Eh, ini calon mantu." Ujarnya semringah dengan mendekat ke arahku. Aku tersenyum dan mengangguk, menyerahkan bingkisan. "Ini ada bingkisan Ma, saya Andara, pangil saja Dara."
Tangan renta itu menerima bingkisanku dan diberikan ke Wira, menyambut uluran tanganku dan memeluk tubuhku begitu erat. "Gadis cantik, Wira beruntung mendapatkanmu." Bukan Wira Ma, tapi aku.
Aku terdiam tanpa mampu menjawab, perilaku Mama membuatku merasakan rasa nyaman. "Eh, maaf Mama lama peluk kamu. Ayo masuk."
Kami berjalan masuk dan hal pertama yang dapat kulihat adalah potret keluarga yang utuh di ruang tamu keluarga Wira. Disana berjejer Wira, dengan kedua orangtuanya ditambah gadis kecil. "Kaget, ya?" Tuturnya saat aku menatap lama foto itu. Yang, aku tahu Wira anak tunggal.
"Dia anak Mama yang kedua, tapi sudah meninggal. Dan saat Wira wisuda Mama yang minta Wira buat diedit agar adiknya ada disana." Aku baru tahu.
"Sekarang duduk dulu, Mama panggilkan Papa." Aku tersenyum dan mengangguk mendaratkan tubuh di sofa. "Baikkan Mama aku, jadi jangan tegang. Kaya mau ujian skripsi aja." Goda Wira sesaat sebelum memilih untuk masuk ke dalam meninggalkan diriku sendiri.
Aku akui bahwa keluarga Wira sangat hangat bukan seperti keluargaku. Potret keluarga yang sudah lama kurindukan.
"Ini calonnya Wira?" Suara pria paruh baya menyapu indera pendengaranku. Aku tersenyum dan mengangguk, mengambil tangannya untuk aku salami.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka itu Aku ✔ (Karyakarsa & KBM)
Roman d'amourSemuanya kuberikan, tapi jangan cinta. Karena cintaku sudah lama mati. Andara Winasti