Bab 5

241 32 0
                                    

Selamat Membaca

"Kenapa Bapak izinkan keluarga Wira datang?" Aku bertanya kepada pria paruh baya yang tengah menyesap teh itu. Karena menurutku keputusannya sangatlah janggal meskipun itu membuatku bahagia.

Sejak dulu saat aku sering bergonta ganti cowok Bapak paling getol mengingatkanku bahwa ia tidak akan mengizinkan diriku menikah kecuali setelah Naura. Bahkan beberapa minggu yang lalu Bapak masih tetap mempertahankan anggapan itu.

Sekarang kami tengah berada di ruang meja makan, "Mungkin ini yang terbaik Kak."

Aku mengangguk. "Padahal dulu Bapak menentang jika aku ingin menikah." Lirih aku mengatakan hal itu, saat aku bersama Wira, Wira sendiri memang sering melontarkan pertanyaan tentang pernikahan. Tapi aku sendiri yang menolak dengan alasan yang tak masuk akal, hingga Wira yang capek dan membiarkan hubungan kami. Waktu berganti pola pikirku berubah, aku memang menyayangi Naura tapi aku juga butuh sandaran, dan itu ada di sosok Wira.

Menghela napas panjang Bapak menatapku, "Bapak memikirkan adik kamu. Tapi Bapak sadar bahwa itu melukai kamu. Padahal kamu sendiri sudah banyak berkorban untuk adik kamu."

"Syukurlah kalau Bapak sadar. Jika tidak aku tidak akan tahu kedepannya ... Mengenai Ibu Dara berharap Ibu bersikap baik kepada keluarga Wira."

"Bapak sudah bicara akan hal itu. Meskipun Ibu belum bisa menerima keputusan ini."

"Itu tidak masalah."

Aku berdiri dan berjalan menjauhi meja makan untuk membersihkan tubuh dan bersiap menyambut keluarga Wira. Terserah Ibu tidak mengizinkanku menikah, yang terpenting aku sudah meminta izin kepadanya.

"Ya Tuhan kenapa tangan Naura berdarah?!" Teriak Ibu saat mendapati wajah pucat Naura yang merintih kesakitan akibat Naura jatuh dari sepeda. Saat itu aku dan Naura bermain sepeda bersama, tetapi Naura yang memiliki fisik lemah terjatuh. Sontak aku berlari mendekatinya dan mengajaknya pulang.

"Jatuh Bu, dari sepeda."

"Kakak! Kenapa kamu ajak adik kamu naik sepeda sih. Bahaya tahu." Gegas Ibu berjalan mengambil kotak pertolongan pertama dan membantu Naura. Aku yang berada tidak jauh dari posisi Naura hanya diam membisu, takut akan amarah dari Ibu.

"Lain kali nggak usah ajak Naura. Kan kamu sendiri tahu Kak kalau Naura itu nggak sesehat kamu."

"Iya Bu." Diriku yang kecil sangat takut jika dimarahi Ibu, dan itu membuat kedekatan kami berkurang. Sebisa mungkin aku akan menghindarinya dengan menjauhi Naura jika bermain dengan teman masa kecilku.

"Astaga kenapa gue ingat itu sih." Menggelengkan kepala aku mencoba kembali mengingat fokusku malam ini. Dimana malam ini akan menjadi pertemuan yang penting untuk kisah kami kedepannya dan membuatku tersenyum sejak tadi. Aku tidak tahu apa semua orang akan seperti ini? Rasa deg-degan yang begitu ketara membuat tanganku terasa dingin. "Nikah, gue nikah." Tersipu malu aku menatap pantulan di depan cermin yang tengah kusapukan beberapa make up yang akan membingkai wajahku.

"Syukur-syukur kalau gue bisa langsung nikah. Setidaknya nikah siri deh, biar gue bisa pergi dari rumah." Terkikik geli akan rencana jahatku. Ya tak mengapa, yang penting halal untuk hubungan kami.

"Sempurna." Menatap pantulan cermin aku melihat wajah yang begitu bahagia seperti menunggu sang pangeran datang. Pangeran yang akan membebaskanku dari jeruji kehidupan ini.

Hingga ketukan pintu aku dengar, suara Naura yang disana.

"Kak, ayo keluar. Keluarga Kak Wira sudah datang." Bergegas aku berdiri dan membuka pintu menatap adik perempuanku yang tengah berdiri dengan baju dan riasan yang pas. Wajah Naura memang tak kalah dari wajahku, tapi satu kekurangannya yaitu sakit-sakitan.

"Ayo Dik, temani Kakak." Aku berjalan bersama Naura menuju ruang tamu. Nampak dari jauh Bapak begitu ramah menerima keluarga Wira berbeda dengan Ibu. Ibu hanya diam mendengarkan perbincangan Bapak.

"Ini yang kita tunggu, duduk disini nak." Pekikan suara Mama membuatku tersipu malu. Mama berdiri dan mengajakku untuk duduk disampingnya. Sedangkan Naura memilih untuk duduk di samping Ibu.

"Calon mantu Mama cantik." Pujinya saat menuntun diriku. Aku hanya merespon dengan anggukan, karena semua mata tertuju kepada diriku.

"Kan sekarang Dara sudah ada disini, nak Wira juga. Sekarang kita bahas mengenai mekanisme pernikahan yang akan digelar. Jujur Bapak ngikut saja."

Wajah Wira menatapku sekilas sebelum menjawab. "Saya dengan Dara sebenarnya berkeinginan untuk sederhana saja seperti pesta kebun. Hanya orang yang dekat dengan kami yang datang, masalah adat kami tidak terlalu memperhitungkan."

Bapak mengangguk dan mengusap dagunya seolah berpikir dengan pandangan tertuju ke Ibu. Aku sendiri hanya bisa menunduk menunggu jawaban Bapak.

"Baiklah Bapak setuju. Bagaimana dengan Ibu?"

Memasang wajah sungkan Ibu mengangguk, tetapi tak jauh berbeda dengan wajah Naura. Ada raut wajah sedih dan tak terima. Entahlah aku juga tidak tahu.

"Baiklah, setuju ya. Mengenai tanggal saya usul tanggal empat dua bulan lagi. Itu bertepatan dengan ulang tahun pernikahan saya dengan istri." Ucap Papa ramah dengan memandang penuh puja kepada Mama. Pasangan yang tak muda lagi itu seperti memberikan contoh kepadaku untuk saling menebar perhatian kepada pasangan meskipun tidak muda lagi.

"Wira setuju Pa." Alhamdulillah.

"Konsep dan WO tolong kalian hubungi. Papa ngikut kalian aja."

"Baik Pa. Bapak tidak ada tambahan?" Bapak menatap Wira dan menggeleng. "Bapak berharap semoga kalian bahagia. Dan semoga Adik Dara lekas menyusul."

Dalam hati aku mengamini doa Bapak, meskipun aku tidak begitu dekat dengan Naura tetapi kasih sayangku sangat tulus kepadanya.

Tbc

Luka itu Aku ✔ (Karyakarsa & KBM) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang