Menikah?
Sesuatu hal yang kuinginkan, tetapi sulit untuk kulakukan. Bukan karena tidak memiliki tambatan hati, tapi lebih ke arah kemanusiaan. Ya, aku sebut saja seperti itu.
"Kamu tidak boleh menikah, sebelum adik kamu menikah, Kak." Aku menatap wajah pria paruh baya itu dengan sorot mata yang menuntut. Kenapa tidak boleh? Disaat wanita seusiaku sudah banyak yang hamil dan memiliki anak.
"Kenapa? Bukankah itu ibadah?"
"Ya itu ibadah. Tapi Bapak belum bisa izinkan kamu. Karena adik kamu belum ada yang mau menikahinya. Kondisi adik kamu jauh lebih utama dibandingkan kamu, Kak."
Menghela napas panjang, aku mencoba mengatur kesabaranku. Kenapa harus begini? Disaat aku ingin sesuatu pasti ini jawabannya.
"Kalau Dara menikah, otomatis Bapak sama Ibu bisa fokus ke Naura, kan?"
"Itu beda, Naura lebih membutuhkan pasangan dibandingkan kamu. Naura sakit-sakitan, dan kamu baik-baik saja Kak. Mengertilah."
Aku mengangguk dan melangkah pergi dari meja ruang makan. Pasti seperti ini. Dan sialnya aku terjebak di keluarga ini.
"Kenapa muka kamu tidak enak?" Tanya Ibu saat aku akan melangkah pergi menuju tempat tidurku. "Nggak enak badan, Bu." Jawabku tanpa menoleh kepadanya.
Sesampainya di ranjang, aku menatap langit tempat tidur dengan bayangan pernikahan yang indah. Pernikahan yang membuatku merasakan kebahagiaan sebagai seorang perempuan. Sepertinya pernikahan itu harus pupus. Tersenyum masam, aku mengusap sudut mata yang sudah mengeluarkan air mata.
"Dulu hidupku seperti apa, sih? Kenapa aku harus punya keluarga seperti ini?"
Yang aku tahu keluarga itu saling mendukung, bukan seperti ini.
"Kenapa muka lo sembab sih, Dar?" Tanya Kiki, saat aku baru saja masuk ke area dapur. Kiki, asisten yang merangkap sebagai sahabat. Kami mendirikan restoran setelah lulus dari sekolah kuliner, berawal dari bangunan kecil yang kami sewa dan sekarang bisa menyewa tempat yang berada di pusat perkantoran.
"Biasa, alasan klise. Gue yang mau kawin kenapa mereka tidak mengizinkan." Ucapku dengan mencuci tangan dan mengenakan baju kebesaran seorang juru masak.
"Aneh keluarga lo, apa-apa Naura. Lah lo emang bukan anaknya." Sungut Kiki dengan tangan yang masih mengecek semua persediaan bahan makanan. Mengedikkan bahu, aku berjalan menuju rak penyimpanan pan. "Mungkin gue anak pungut kali ya."
Suara tawa Kiki menggema di dapur, "Aneh lo, muka lo aja sama kaya Bapak lo."
"Ya bisa saja, kan Tuhan maha adil. Kalau gue anaknya coba lo ingat dari kecil gue harus terima semua hal jika itu bersangkutan dengan Naura. Dan sampai gue mau kepala tiga gue harus tetap mengalah. Gila nggak sih?"
Kepala Kiki mengangguk, "Gila sih, keluarga gue aja kalau tahu gue mau nikah pasti seneng. Lah keluarga lo, alasan inilah itulah, intinya ke Naura."
"Bener. Dan gue harus nurut. Apa gue nikah lari aja ya?" Menggoyangkan pan, aku mengucapkan ide gila itu. "Lo butuh wali, kalau lo laki baru lo bebas."
"Bisa, gue minta sama om gue beres."
"Terserah lo deh." Kami memutuskan pembicaraan dan fokus membuat bumbu masakan untuk hari ini. Memulai bekerja dan berusaha melupakan masalah itu. Meskipun aku tetap profesional tapi ada rasa saja yang membuatku merasa kecewa dengan tingkah keluargaku.
Menyedihkan.
***
"Jam berapa pulang?" Tanya Wira dari sambungan telepon malam ini. Restoran memang sudah sepi dari sejam yang lalu, "Sebentar lagi, ini baru mau beres-beres."
"Aku jemput. Sekalian kita hang out."
"Mau kemana?"
"Keliling Semarang gimana?" Tawarnya, berpikir sebentar aku mengangguk. "Oke, aku tunggu."
"Oke. Bye." Menutup telepon aku bergegas mandi dan mempercantik diri mengingat ini pertemuaku dengan Wira selama satu minggu ini. Wira, pria yang baik dengan sikap yang begitu dewasa. Jarang menuntut dengan kesibukan yang ada. Dia seorang Jaksa di kotaku, pertemuan kami juga diawali di restoran ini.
Mengingat masa itu aku merasa menjadi remaja labi, dimana aku terpesona dengannya pada pandangan pertama. Karisma yang ia miliki membuatku langsung bertekuk lutut.
Mengunci pintu, aku berjalan ke depan menunggu Wira datang. Dengan motornya Wira mengajak diriku berjalan-jalan mengelilingi kota. Sampai kami di tempat yang begitu indah, tempat yang menyuguhkan pemandangan yang luar biasa.
"Cantik banget. Kita bisa lihat apapun dari sini." Ucapku saat mengagumi pemandangan yang terlihat dari atas, hamparan kelap kelip lampu.
"Secantik kamu." Aku menoleh mendapati tubuh tegap Wira terseyum kepadaku. "Gombal Pak Jaksa."
Tangan kokoh Wira merengkuh tubuhku kedalam dekapannya dan mendaratkan ciuman di kening. "Aku sayang kamu, Andara Winasti. Sekarang, besok, dan selamanya." Lanjutnya dengan menatap dalam wajahku. Aku tersenyum dan mengangguk, "Wiranaga, aku juga menyayangimu dan semoga kita bisa bersatu di dalam pernikahan. Dan hanya maut yang bisa memisahkan."
Kepala Wira mengangguk.
"Besok kita ke rumahku. Aku akan kenalkan kamu ke Mama." Mataku sontak membola, "Serius?"
"Ya, Mama sudah tidak sabar untuk bertemu denganmu." Hatiku bahagia, akhirnya hubungan kami sampai di titik ini. Dan semoga lagi bisa lebih.
"Oh iya Mama atau kamu?" Godaku.
"Keduanya, Mama ingin seorang menantu dan aku ingin seorang istri. Jadi saat aku pulang, ada yang menyambut diriku dengan senyuman bahkan gaun sexy?" Kupukul dadanya keras, "Nyebelin."
"Ya benar, kan. Kamu istri aku, pantas pakai kaya gitu." Lanjutnya dengan mencium pipiku seakan pipiku itu kue moci, dan sialnya aku menyukai tingkah Wira.
Wira adalah secerca kebahagiaan yang ada disaat hidupku penuh kegelapan.
I love you Wira.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka itu Aku ✔ (Karyakarsa & KBM)
RomanceSemuanya kuberikan, tapi jangan cinta. Karena cintaku sudah lama mati. Andara Winasti