Semakin cepat dan jauh aku berlari, semakin tak kutemukan jua garis finish nya. Kusibak semua yang menghalangi pandangan, tetap tak kutemui, tak ada petunjuk apapun.
Mungkin aku salah mengambil jalur. Gumamku.
Saat kakiku mulai kebas, alas kakiku pun mulai robek di sisi-sisinya, nafasku mulai tersengal-sengal dan sungguh, aku kebingungan.
Aku berhenti sejenak, di bawah pohon, entahlah ini pohon apa namanya. Daunnya rimbun, tapi jika angin bertiup, puluhan daun akan luruh. Deciduous, pohon yang meluruhkan daunnya. Pikiranku tentang garis finish yang tak kunjung aku temui sedikit teralihkan saat memandangi daun-daun luruh itu. Bagaimana tidak, daun-daun yang hijau kecoklatan menari-nari, bergerombol atau sendiri-sendiri merayakan kebebasan dan perpisahan. Perpisahan pada pohon, matahari, hujan, ulat dan burung yang menyapanya dengan kicauan setiap pagi dan petang. Sungguh tarian yang indah.
Tapi yaaa, perjalanan ini harus tetap berlanjut bukan? Entah seberapa pun aku tersihir oleh daun-daun itu, aku harus melanjutkan perjalanan ini dan menemukan garis finish. Aku harus tetap fokus.
Aku menarik nafas dalam-dalam, mecoba berdiri lagi. Otot-otot kakiku mulai protes, seperti ada pasukan bersenjata yang menguliti kakiku sebagai tuntutan untuk tetap beristirahat. Tapi aku tidak bisa berlama-lama.
Sejujurnya, sejak di garis start, aku merasa ada yang membuntutiku atau sesekali seperti mengejarku dan jika aku menemukan persimpangan jalan, mereka membisikan kemana aku harus memilih. Anehnya, aku selalu menurutinya begitu saja, walaupun kadang hatiku menolaknya. Mereka. Ya, mereka, suaranya riuh-ramai. Kadang membuat semangatku menggebu atau justru rasa takutlah yang tumbuh subur. Jika takut ini diibaratkan pohon, maka ia adalah pohon raksasa yang menyerap semua nutrisi dalam tanah, menghisap semua cahaya matahari yang datang, memenjarakan angin sehingga tak bisa hilir mudik. Juga akarnya merangsek kemana-kemana, membuat tak ada satu tumbuhan pun yang bisa hidup disekitarnya.
Aku berlari lagi, lebih cepat pun terkadang berjalan sambil menarik nafas dalam, mengumpulkan energi.
Tak lama, sepatuku hancur. Yaaa, entah sudah berapa ribu kilometer jarak yang aku tempuh. jalanan aspal panas, tanah berbatu, semuanya dijejaki sepatu ini. Kini ia nyaris tak berbentuk lagi. Ia seperti kerupuk yang tak sengaja terinjak. Aku menunduk menatap lama-lamat sepatuku, juga mentap jauh ke sekitarku.
Dimana garis finish itu?
Aku terduduk dijalanan aspal yang basah, mungkin di tempat ini baru saja hujan, sama seperti mendung di mataku yang akan segera berganti hujan. Deras. Di iringi kilatan dan petir.
Aku putus asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG
Short StoryPerahuku kan berlayar menuju arah pulang Namun, ada yang harus aku ikhlaskan Ada yang harus aku tanggalkan Agar perahu ini tak kelebihan muatan Baiklah, Aku menanggalkan semua rasa benci Mengikhlaskan perasaan cinta Melepaskan apa-apa yang selama i...