Pada akhirnya, seberusaha apa pun Dikta meminta maaf bahkan menenangkannya, tetap saja kejadian beberapa hari lalu membuat Gio terus kepikiran. Rasa janggal nenyelimutinya. Seperti takut mempercayai kembali.
Padahal cukup kepada seseorang, tidak perlu lagi Dikta yang berada di daftar orang yang membuatnya kecewa.
"Sekian perkuliahan hari ini. Saya ucapkan terima kasih."
Tanpa semangat, Gio mengumpulkan alat tulisnya dalam satu genggaman ke dalam pouch hitam lalu merobek kertas binder yang selama jam perkuliahan ia coret dengan asal.
Coret-coretan? Berusaha menghibur diri, Gio bangkit, tersenyum sinis. Coretan seperti ini bukankah termasuk dalam lukisan abstrak? Jika dijual lumayan, kan?
"Cie! Lemparannya kagak masuk."
Gio yang tadi meremas kertas itu menjadi bulatan kecil hanya bisa mendengkus, menyambar bulatan sampah itu dengan cepat, lalu setengah membantingnya agar masuk ke tong sampah.
Nesya, gadis dengan kemeja kotak yang menyelimuti kaus hitam itu bangkit dari bangku koridor, mengekori Gio yang terus berjalan. "Yo! Mau ke mana lo, woi!"
Gio menghentikan langkah, agar gadis itu dapat berjalan sejajar dengannya. "Pulang."
"Hemat banget," gumam Nesya tanpa sadar, menepuk pundak Gio, sembari membenarkan sandangan tas cowok itu yang terlipat. "Habis berantem sama Bang Rean?"
Gio mengerling, memperhatikan Nesya sejenak, lalu memgalihkan pandangan. "Nggak."
"Bocah!" kutuk Nesya, menjulurkan kaki tiba-tiba.Gio yang berjalan sembari tenggelam dengan pikiran, tentu saja dapat dikerjai dengan mudah. Cowok itu tersandung, nyaris mencium lantai jika kedua tangan itu tidak sigap menyeimbangkan tubuh.
Romantis sekali, desis Gio dalam hati.
"Nes!" keluh Gio, menatap tidak terima.
"Nggak usah sok dingin lo di depan gue." Langsung saja Nesya menyambar tas Gio, setengah menyeretnya untuk menuju kantin. "Lo kalau ada masalah ya cerita, jangan kayak gini. Kalau lo gila, entar guenya nggak ada teman. Buruan mau pesan apa?"
"Gue lagi nggak mau ma--"
"Oke, gue pesanin." Seperti biasa, Nesya yang selalu seenaknya langsung membalikkan badan. Seakan tidak mempedulikan jawaban dari Gio, ia memesan dua porsi makanan begitu juga minuman dari salah satu etalase kantin.
"Nih, minum. Lo biasa kalau lagi stress suka yang manis, kan?" tanya Nesya basa-basi, menyodorkan teh hangat ke hadapan Gio. "Sengaja gue pesan hangat, biar lo agak rileks."
"Memangnya gue lagi kayak mana, dah. Sampai lo-nya ikut kebingungan gini?" tanya Gio tertawa pelan, kedua sudut bibir itu terangkat samar. Tiga hingga lima putaran ia mengaduk gula yang mengendap pada minunan, lalu menyesapnya.
"Nggak semangat hidup." Nesya menjentikkan jari tepat di hafapan Gio berulangkali. "Lo beberapa hari ini juga sering melamun, lihat? Bisa-bisanya mata lo nggak ngerjap padahal gue jentikkan jari sedekat ini. Lagian biasanya juga lo yang lebih berisik di depan gue, ini malah sebaliknya."
"Maaf, ya," gumam Gio, menyesap minuman sekali lagi. Pesanan datang, benar saja Nesya memang memesan makanan manis untuknya. Gado-gado dengan kuah kacang yang menggiurkan.
Jujur saja, perut Gio benar-benar lapar sekarang, tetaoi entah bagaimana bisa ia yang biasanya selalu menyomot bahkan mengganggu acara makan Nesya dengan seenaknya kini kehilangan selera.
Ia hanya ingin pulang sekarang.
"Dimakan, Gio," bujuk Nesya, meraih sendok dan garpu yang tertera di piring itu lalu menyelipkannya di kedua tangan Gio. "Makan dulu, biar semangat sedikit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Fiksi RemajaDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...