Ruangan itu di dominasi coklat, emas, dan hitam. Kesannya klasik dari abad pertengahan. Setidaknya, Felix—pemuda pirang dengan mata coklat cerah—ingin menunjukkan beginilah cara memperlakukan seorang tamu. Dia masih tak terima ditawan di dalam gudang berdebu setelah diculik dari depan hotel tempatnya menginap.
Dia membeli sebuah bangunan, berdiri kokoh diperempatan distrik delapan. Bangunan itu terlihat mewah dengan halaman luas hampir berhektar. Menginap di hotel mungkin membuatnya di pandang remeh. Felix jadi ingin menghamburkan uang, hanya karena dendam atas perlakuan diterima beberapa hari lalu.
"Jadi kelompok kecil kemarin itu bawahanmu?" Ada Changbin di sana, merasa berdosa karena luka dipergelangan tangan Felix. Pemuda cantik itu selalu dijaga pimpinan mereka. Bisa dibilang dia titik awal kesuksesan organisasi. Changbin berjongkok, tangannya menjambak rambut gondrong pemuda kaukasian berkumis tipis dengan proporsi tubuh yang bagus. Dia lumayan suka dengan tattoo di leher pemuda tiga puluhan itu, nanti dia akan buat satu kalau sempat.
"Dia hanya kutugaskan membeli narkoba." Benar, Felix tahu poin ini. Oleh karenanya, dia beruntung pemuda pirang bermata sipit mirip rubah itu menyelamatkannya.
Cobra—pemuda dengan tattoo di leher—menelan ludahnya, aroma uang jelas tercium dari tubuh pria cantik yang duduk malas di kursi di pusat ruangan. Sementara dia sedikit meremang saat menemukan wajah Changbin di hadapannya. Memutus kontak matanya dengan Felix. Dia tak menyangka akan bertemu dengan Changbin, pemasok senjata dari Eropa. Dia terkenal berbasis di Italia, sedikitpun tak pernah bermimpi akan berbicara dengannya, ketika meminta temu janji dengan pengecer senjata Eropa saja susahnya bukan main. Sekarang dia bertemu boss-nya, sialnya dalam kondisi melakukan dosa besar.
Siapa gerangan pemuda berfrackles itu?
"Aku sudah memaafkan." Felix buka suara. Suara peraduan langkah pentofelnya dengan lantai berkarpet membuat orang-orang yang bersimpuh di lantai meremang. Ada aura misterius, terkesan mahal, tak boleh tersentuh, dan suci. Changbin berdiri, menatap Felix dengan wajah sedih dibuat-buat. "Tubuhku memang rapuh, tapi hatiku ini jauh lebih rapuh." Cobra menelan ludahnya, sosok cantik itu terlihat seperti anak laki-laki tanpa dosa yang mencari perlindungan. Namun, dia menakutkan.
Aroma lembut bercampur dengan keju segar menguar dari tubuhnya. Degup jantungnya bereaksi berlebihan. Antara takut dan terpesona. "Aku ketakutan, ini kali pertama aku hampir dinodai pria." Rahang Changbin mengeras, dia tak tahu bagian ini. Buku-buku tangan Changbin memutih, terlalu keras menggenggam. "Beramai-ramai."
"BLOODY HELL!" Changbin berteriak. Bawahannya waspada. Baru kali ini melihat atasan mereka yang selalu bersikap lembut itu menunjukkan sisi agresif. Bak macan lapar. Auranya mendadak mereka ingin menunduk, keringat dingin sebesar biji jagung bahkan mengalir di dahi mereka. Padahal mereka pihak kawan.
Hanya satu manusia yang tersenyum. Sangat manis sampai diragukan spesiesnya. "Aku bahkan dikira gigolo yang diimpor." Dia melanjutkan.
"Seandainya aku bisa menghidupkan bawahanku itu lagi, aku yang akan membunuh mereka." Tubuh Cobra gemetar hebat, wajahnya menunduk sangat dalam. Kaki Felix yang berbalut sepatu pentofel kulit berwarna coklat itu terangkat. Dia menginjak bahu Cobra, dia persis seperti penindas dengan senyuman tanpa dosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Code Name : R [HYUNLIX]
FanfictionFelix tahu, Hyunjin takkan pernah meninggalkannya. Karena Hyunjin adalah "Queen" dalam papan caturnya. "Sometimes I feel like God...when I order someone killed - they die the same day." HYUNLIX