Chapter 1

3.5K 632 70
                                    

Enjoy<3

-


-

Tidak ada hal yang lebih gila selain memikirkan kejadian kemarin. Wina mengacak rambutnya frustrasi. Permintaannya diabaikan oleh Pahlevi. Laki-laki itu tidak menjawab dan masuk ke dalam mobilnya seolah mendengarkan orang gila. Kalau tahu tidak ditanggapi, dia tidak akan nekat melakukannya. Dirinya telanjur malu. Ya, Tuhan... mau disimpan di mana wajahnya kalau bertemu laki-laki itu?! Apa yang harus dia katakan seandainya bertemu? Parahnya lagi, Pahlevi sering datang ke perusahaan tempatnya bernaung untuk menemui bosnya karena mereka rekan bisnis. Argghhh! Dia bisa gila!

Apa yang Wina pikirkan di umurnya yang ke-32, dia meminta laki-laki asing menghamilinya? Oh, come on! Ini bukan cerita novel. Wina harusnya bisa berpikir lebih matang. Bagaimana jika Pahlevi memberi tahu bosnya? Wina memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk seandainya dipecat dari kantor tercinta yang telah menjadi tempatnya bernaung selama enam tahun ini. Bisa diterima di perusahaan konstruksi saja sudah bersyukur, karena dulu pas baru-baru lulus kuliah, dia kesulitan mendapat pekerjaan hingga akhirnya diterima di PT. Bangun Internal ini. Kalau sampai bosnya mendengar kegilaan yang dia lakukan dari mulut Pahlevi, bisa-bisa kariernya tamat. 

"Win, ngapain sih? Gue perhatiin dari tadi lo kayak orang nggak waras," tegur Belia dengan tangan bertumpu pada batas bilik yang menjadi penengah mereka.

Wina tersentak kaget. Dengan gerakan cepat Wina menggeleng. "Ah, ng-ng-nggak ngapa-ngapain kok."

"Lo yakin? Nggak ada masalah di rumah, kan?"

Wina mengangguk. Dalam hati dia meralat, bukan di rumah tapi di kantor!

"Ya sudah kalau gitu, omong-omong—"

Kalimat Belia terpotong oleh sapaan perempuan bersuara nyaring. "Hai, WinBel!"

Keduanya menoleh berbarengan, mendapati Cia—si ratu gosip kantor mengganggu obrolan mereka. Perempuan bertubuh langsing itu selalu saja datang di saat yang tidak tepat. Kehadirannya dapat membuat mood anjlok. Wina terlampau sering menjadi korban Cia karena perempuan itu tak henti-hentinya mengganggu.

"Gue cuma mau kasih undangan buat kalian berdua. Bulan depan gue nikah," kata Cia dengan nada angkuhnya sambil menyodorkan dua undangan kepada mereka berdua.

Wina dan Belia mengambil undangan tersebut. Mereka saling melempar pandang dan mempertanyakan hal yang muncul di kepala, "Kok bisa sih mempelai laki-lakinya mau sama si kutu Cia?"

"Selamat deh. Akhirnya ada yang mau nikahin lo," sahut Belia sekenanya.

Wajah Cia memerah menahan kesal. Bibir tipisnya maju beberapa senti saat bicara, seakan-akan disengaja memanyunkan bibir supaya terlihat imut. Padahal sih, seperti bebek. "Oh, jelas. Gue bukan Wina. Mana ada laki-laki yang mau sama dia? Pemilih sih," ejek Cia dengan senyum jahatnya.

Wina menjawab, dengan nada menyindir tentunya. "Mending pemilih daripada murahan. Kalau nggak pemilih, nikah bisa sama siapa aja yang mau."

"Suami gue orang kaya. Dia beliin gue berlian. Jadi gue nggak cari suami sembarangan," balas Cia tak mau kalah seraya menaikkan tangannya ke udara menunjukkan cincin bermata berlian yang melingkar di jari manisnya.

Belia tertawa meledek. "Paling berapa karat sih cincin berlian lo itu. Soalnya nggak kelihatan mewah."

Wina ikut tertawa. Wajah Cia berubah masam, dan ada decakan kecil yang terdengar dari mulutnya.

Uncommon Marriage (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang