Chapter 6

2K 541 70
                                    

Sepanjang makan malam tidak ada obrolan seperti biasa. Malam ini dipenuhi tatapan tajam akan keingintahuan sang ibu padanya. Wina secara tidak sengaja mengatakan ingin menikah saat ibunya memasak. Akibat ucapannya sang ibu mendadak dingin dan menatapnya seperti sedang menginterogasi secara diam-diam. Seperti yang dia duga jauh sebelum hari ini, ibunya pasti menuduhnya melakukan hal yang tidak-tidak. Hal ini dapat dibuktikan dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya.

"Win, kamu tau kan kalau keluarga kita nggak pernah ada yang hamil duluan?"

Wanita paruh baya itu sedang mencuci piring setelah selesai makan malam dibantu oleh Wina yang mengeringkan piringnya dengan lap kering.

"Ma, denger ya, aku nggak hamil. Wina mau menikah karena sudah siap ke sana," jawab Wina. Dia tidak mungkin memberi penjelasan yang sesungguhnya di balik pernikahan yang diinginkan Pahlevi.

Ibunya Wina—Laras—menghentikan kegiatannya, menyamping sedikit, lalu menyentuh perut putrinya. "Beneran kamu nggak hamil? Jangan bohongin Mama, lho! Kalau kamu menyembunyikan sesuatu pasti akan ketahuan juga."

"Ma, serius. Wina nggak hamil. Kalau nggak percaya kita bisa periksa ke dokter dan sekalian memastikan apa Wina masih perawan atau nggak. Wina tuh belum melakukan yang aneh-aneh. Masih segel, Ma. Masih segel!" tegas Wina mulai kesal.

Laras bernapas lega dan mengusap dadanya setelah menarik tangan dari perut Wina. Dengan cepat dia memeluk anak bungsunya dan berkata, "Syukurlah. Mama takut kamu buat malu keluarga kita karena hamil duluan. Kamu sendiri tau tinggal di antara ibu-ibu tukang gosip tuh berat banget."

"Wina nggak mau bikin Mama pusing. Pokoknya Mama nggak perlu khawatir."

Laras bersyukur memiliki putri yang baik dan dapat diandalkan seperti Wina. Hidupnya mungkin akan sangat menderita jika Wina mirip dengan kakaknya. Mungkin Tuhan sayang padanya sehingga menciptakan Wina sebagai dewi penolong di rumah kala kakaknya selalu menjadi pembuat onar.

"Kira-kira kapan kamu mau kenalin calon suami? Mama kenal sama orangnya nggak?"

"Minggu depan dia ke sini, Ma. Aku jamin Mama suka sama dia." Wina memaksakan senyum membicarakan kalimat terakhirnya. Membayangkan Pahlevi yang mirip robot itu saja rasanya mustahil bisa membuat suasana menjadi asyik. "Pokoknya Mama nggak akan nyesel punya menantu kayak dia."

Laras tersenyum lebar sambil mengusap kepala putrinya. "Baiklah, Mama tunggu."

"Omong-omong di mana Kak Wildan?"

"Mungkin ke tempat biasa. Nggak tau deh. Mama pusing."

Mendengar kata 'tempat biasa' membuat kepala Wina sakit. Kakaknya itu tidak pernah bisa diandalkan. Kerjaannya hanya berulah, berulah, dan berulah. Setiap kali kakaknya berulah, maka dialah yang turun tangan dan membereskan semua masalahnya.

Tepat setelah pertanyaan tadi, ponsel Wina berdering. Segera dia melihat panggilan masuk yang tertera pada layar ponsel dan mengangkat panggilannya. Begitu mendengar kalimat yang terucap dari seberang sana Wina berteriak dalam hati, please... not, again!

* * *

Dinginnya suhu ruangan restoran memberi kenyamanan yang luar biasa ketimbang berada di luar karena sedang panas terik. Ibaratnya tanpa berjemur Wina bisa mendapatkan kulit hitam eksotis secara cuma-cuma. Makan siangnya kali ini disponsori oleh Pahlevi, si manusia yang senang berlaku sesuka hati. Kalau bicara saja lebih sering menyakitkan daripada mengucapkan kalimat yang baik. Selama lima belas menit Wina hanya melahap daging steak setengah matang tanpa bersedia memulai pembicaraan lebih dulu.

"Saya mau menikah di Bali. Bagaimana dengan kamu?"

Wina berteriak dalam hati. Akhirnya ngomong juga lo!

Uncommon Marriage (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang