9. Family

3 1 1
                                    

Sania sama sekali tidak pernah memprediksi akan ada situasi seperti ini. Tanganya sedikit gemetar saking tegangnya. Bola matanya bergeser tak beraturan dan keringat dingin bercucuran di pelipisnya.

Satu butir...

Dua butir...

"A-ah, tidak, Nyonya Ana, sama sekali tidak ada masalah, anak saya memang sangat pandai dalam mendalami apa yang dia lukis, dia benar-benar berbakat," jawab Sania gelagapan pada akhirnya.

Nyonya Ana tersenyum tipis. Dia paham betul tentang dunia sosialita dan orang-orang di dalamnya. Termasuk wanita muda sukses yang ada di hadapanya.

"Baiklah kalau begitu, saya pikir ada apa," balasnya dan langsung berpamitan dengan Sania.

Sania merutuk dalam hati, "memang apa sih yang digambar anak itu?"

* * *

Hari ini, keluarga besar Gemantara berkumpul bersama di salah satu ballroom hotel. Bukan sebuah kebetulan mereka bisa menyewa ballroom hotel bintang 5, memang sejak dulu anggota keluarga itu selalu saja kaya raya.

Lampu-lampu candelir besar menyala terang benderang, menyinari kerumunan orang berpakaian formal dan menggenggam segelas jus atau alkohol.

Saat itu Alana masih kelas 5 SD, dan sejak dulu, dia memang tidak akrab dengan siapapun di keluarganya. Benar-benar siapapun.

"Albara tambah keren ya, udah gede aja, terakhir tante liat masih kecil banget belom bisa jalan."

"Iya ya, mana sekarang keren banget, mau nggak tante jodohin sama anak temen tante?"

"Al udah makan? Tuh ada makanan banyak, makan dulu gih."

Dan ya, di mana-mana memang Albara yang paling populer. Lelaki itu hanya menimpali dengan seiris senyum tipis sebelum menghampiri adik kesayanganya, hidup dan matinya, bahagia dan sedihnya, Alana.

"Mau makan? Mau Abang ambilin?" tawar Albara dengan senyum semanis gulali. Alana dengan wajah putih bersih dan pipi tembemnya mengangguk pelan, membuat guncangan kecil pada gumpalan lemak mirip bakpau di wajahnya.

Sepanjang perjalanan menuju stan makanan, Albara banyak disapa oleh beberapa anggota keluarga jauh yang lain.

"Bang, itu siapa?" tanya Alana menunjuk kepada seorang wanita muda yang sedang duduk di salah satu kursi kosong dengan tanganya menggenggam gelas berisi jus. Rambut wanita itu hitam pekat, panjang menjuntai hingga punggung. Mungkin wanita itu bukan wanita karier seperti yang lain, karna tatanan bajunya jauh lebih sederhana.

"Itu Tante Elma, adiknya Papa, gak ingat?" jawab Albara. Alana menggeleng pelan.

"Mau nyamperin?" tawar Albara mengingat dia belum menyapa Tante Elma sepanjang pesta.

Akhirnya setelah disetujui Alana, dua kakak-adik itu menghampiri sang tante yang hanya diam duduk termenung.

"Malam, Tante," sapa Albara membuat Tante Elma mendongak. "Ah, Albar ternyata, malam juga sayang," balasnya tersenyum ramah.

Mata Tante Elma berpindah dari Albara ke Alana. "Eh, Alana, apa kabar?" tanya Tante Elma ramah.

Alana yang merasakan aura bahwa Tante Elma tidak 'berbahaya' pun menjawab "Baik Tante, hehe."

"Kalian udah pada makan? Mau bareng? Tante mau ambil kue," tawar Tante Elma. Albara menggeleng. "Ini juga kita mau makan, cuma mau nyapa tante dulu, Albara aja yang ambil, Tante sama Alana tunggu di sini."

"Ah, okay, take care ya, Al!" balas Tante Elma. Albara mengangguk dan segera meninggalkan mereka berdua.

"Alana sekarang kelas berapa?" tanya Tante Elma. Alana tersenyum sebentar lalu menjawab "Kelas 5 tante."

YOU KNOW?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang