Chapter 1. Perpisahan

2.5K 290 7
                                    

Suramnya langit hari itu seolah mewakili kesedihan yang dialami oleh keluarga Elvander. Kumpulan karangan bunga telah berjajar rapi di tiap sudut rumah duka. Sementara dresscode hitam para pelayat menjadi pelengkap.

Namun, suasana pedih tersebut tidak berpengaruh pada gadis kecil berumur 3 tahun yang asyik berjalan ke sana kemari sambil memeluk boneka kelincinya tanpa menghiraukan tatapan iba dari orang-orang yang tertuju padanya. Mereka saling berbisik satu sama lain meskipun salah satu anggota keluarga Elvander ada di dekat mereka. Karena bagaimana pun juga, si bocah mungil masih terlalu muda untuk memahami bahwa sebenarnya dia sedang ditimpa musibah.

"Kasihan. Ditinggal dua orang tuanya saat masih sekecil itu. Siapa yang akan merawatnya dengan baik?"

"Oh, Anda tidak tahu? Dia punya paman. Tuan Azkano Elvander, adik dari mendiang ayahnya. Hubungan mereka sangat dekat. Mungkin anak itu akan diasuh olehnya."

"Si pendiri rumah sakit itu? Bukankah dia sudah punya dua putra?"

"Ya, benar. Tapi apa salahnya merawat satu anak perempuan lagi? Mereka keluarga berada."

"Satu anak apanya? Sama seperti Tuan Azkano Elvander, mendiang Nyonya Rifiana dan Tuan Alester Elvander juga punya dua orang anak."

"Astaga, benarkah? Saya dengar anak pertama mereka meninggal."

"Tidak. Itu hanya rumor. Gadis kecil itu punya kakak laki-laki. Usianya kalau tidak salah 10 tahun."

"Oh, jadi begitu. Mungkin Tuan Azkano akan merawat mereka sampai putra sulung kakaknya itu mampu memimpin sendiri Elvander Corp yang ditinggalkan oleh mendiang Tuan Alester."

Lelah berlarian, si kecil yang menjadi bahan perbincangan itu kemudian berjalan menuju ruang keluarga. Tangan mungilnya menyeret Popo si kelinci sementara bibirnya bersenandung lucu, meniru lagu yang biasa Rifiana nyanyikan untuknya sebelum tidur.

Sayup-sayup terdengar suara adu mulut di ruang keluarga Elvander. Gadis kecil itu mengintip dari celah pintu yang terbuka. Di dalam sana, seorang anak laki-laki tengah marah-marah kepada pria dewasa yang ada di hadapannya.

"Kenapa Ayah mau mengirim Ashla jauh dari kita?!"

"Assand, tenanglah. Kamu harus mengerti kondisi tubuhnya. Dia terlalu lemah untuk tinggal di sini."

"Tidak! Aku sama sekali tidak mengerti! Ashla akan baik-baik saja selama kita memperhatikannya dengan baik!"

"Itu benar. Tapi pekerjaan Ayah membuat Ayah tidak bisa begitu."

"Memangnya hanya Ayah saja yang bisa menjaganya?! Aku juga bisa melakukannya, Ayah!"

"Assand, dengarkan Ayah, Nak."

"Tidak mau!" Setelah mengatakan itu, anak lelaki berumur 8 tahun itu berlari pergi.

"Assand-,"

"AKU BENCI AYAH!" Dia menepis tangan Azkano yang hendak menahannya. Pria yang beberapa tahun lalu bercerai dengan istrinya itu tampak putus asa. Dia duduk dan mengusap wajahnya frustasi.

Ternyata masih ada orang lain lagi selain Azkano dan Assand yang berada di dalam ruangan tersebut. Lantaran pandangan Asterla terhalang begitu orang lain itu tiba-tiba bergeser dan membuat celah pintu tertutup oleh punggungnya.

"Assand benar. Paman tidak bisa memisahkan kami. Apapun yang terjadi aku akan tetap bersama Ashla."

Mengenal bahwa itu adalah suara milik Atlas, kakaknya, Asterla langsung berseru gembira. "Tatak!"

Azkano dan Atlas spontan terkejut. Tidak mengira ternyata seseorang yang menjadi sumber keributan mereka ada di sana. Atlas segera keluar ruangan. Terdengar jahat, tapi untungnya Ashla baru memahami beberapa kosa kata. Seandainya dia paham apa yang mereka perbincangkan tadi, gadis itu pasti akan terluka.

"Papa mana?" tanya Ashla polos, menengadahkan kepalanya menatap Atlas yang jauh lebih tinggi darinya sambil memeluk Popo.

"...,"

Tiba-tiba tangan mungil Ashla menggenggam ibu jari Atlas, ingin mengajaknya ke suatu tempat. "Ayo, Tatak. Mama di cana."

Perempuan yang Ashla sebut 'mama' itu bukanlah ibu mereka. Melainkan saudara kandung Rifiana, yang akan membawa Ashla pergi.

"Dia bukan mama!" Spontan anak lelaki sepuluh tahun itu menghempaskan genggaman Ashla terlalu kasar hingga si kecil tersungkur. Atlas tertegun sendiri menyadari perbuatannya keterlaluan. Dia merasa bersalah, lantas berlutut di hadapan adiknya. "Maaf. Mana yang sakit?"

"Ini cakit." Ashla kecil tidak menangis. Dia hanya menunjuk lengannya yang sedikit tergores.

"Kakak minta maaf, ya?" Atlas melepas syal rajutnya dan melingkarkannya ke leher Ashla. "Kulitnya Ashla dingin. Pakailah ini."

Ashla menggeleng. "Aca tak dingin." Dia meniru aksi Atlas dengan melepas syal miliknya yang terikat di perut Popo dan berusaha memasangkannya ke leher Atlas. Tapi tidak berhasil. "Aca tak bica."

Itu adalah sepasang syal merah yang pernah dibuat oleh Rifiana untuk mereka berdua. Sang ibu merajut nama putra-putrinya di ujung syal kemudian memberikannya kepada Atlas dan Ashla sesuai nama mereka masing-masing.

"Syalnya jangan dilepas, ya?"

"Popo dingin."

"Popo sudah punya bulu. Dia tidak akan kedinginan. Kalau Ashla tidak pakai syal, Ashla bisa sakit. Jadi syalnya dipakai Ashla saja, oke?"

"Ote."

Atlas mengelus lembut puncak kepala Ashla. Tingkah lucu gadis mungil itu membuat Atlas gemas. "Ashla pintar, sudah bisa bilang 'oke'. Setelah ini ayo kita cerita ke Mam-,"

Atlas berhenti bicara begitu teringat kembali bahwa ayah ibu mereka telah tiada. Mata bulat Ashla yang mengerjap kebingungan di sampingnya membuat sang kakak tersadar, bahwa mulai sekarang mereka akan menjalani hidup tanpa orang tua.

Tanpa Mama yang selalu memanjakan mereka, memasak makanan favorit mereka, merawat dengan sabar saat mereka sakit, atau mengomel hanya karena mereka pilih-pilih makanan. Dan juga tanpa Papa. Laki-laki hebat yang selalu berusaha menyempatkan waktunya untuk bermain dengan anak-anaknya, mencairkan suasana, dan melindungi keluarga kecil mereka.

Bibir Atlas gemetar. Dalam jarak sedekat itu, Ashla dapat melihat dengan jelas bahwa kakaknya sedang tidak baik-baik saja. "Tatak angis?" tanyanya.

Tak kuasa menjawab, Atlas hanya mengangguk pelan. Dia berlutut, mendekap tubuh mungil adiknya dan menenggelamkan wajah di sana. Perasaan hangat bercampur menyesakkan membuat air mata Atlas yang sedari tadi dia tahan akhirnya luruh. Atlas menangis keras, melampiaskan emosinya di pelukan Ashla.

Paman Azkano benar. Mama Papa yang dulunya menjadi tempatnya pulang kini sudah tidak ada. Hanya Ashla yang dimiliki Atlas. Dan hanya Atlas yang dimiliki Ashla.

Jika ingin menjaga Ashla, Atlas harus menjadi pilar yang kuat. Yang mampu menopang beban berat. Untuk saat ini, Atlas terlalu lemah untuk melindungi Ashla. Dia butuh kemampuan dan kekuatan.

Sebab itu, Atlas tidak boleh egois dengan terus menahan Ashla di sisinya. Ashla butuh tempat beriklim hangat demi menjaga kondisi tubuhnya yang lemah. Sementara Atlas harus ditempa keras demi menjadi penerus yang hebat seperti mendiang ayahnya.

Musim dingin tahun itu, Atlas dan Ashla pun berpisah. Dengan membawa syal merah yang tertukar. Tapi tak apa, karena suatu saat nanti, ketika bertemu lagi, mereka pasti akan menukarnya kembali.


Asterla In The Midst Of Her BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang