Alys melalui hutan dengan pohon-pohon tebal—besar, dengan daun yang oranye kemerahan. Melalui sungai-sungai, semak-semak, rawa-rawa, bahkan sempat bercengkrama dengan beberapa rusa bahkan domba yang berlalu lalang. Hingga akhirnya ia bisa menapakkan kaki di sebuah rumah besar yang didominasikan dengan kayu yang dipoles cat coklat mengkilap.
Kandelir besar bergagang cokelat dengan lampu putih menyambut mereka di ruang pertama, ada banyak lilin aroma di beberapa meja yang di atasnya terdapat lukisan-lukisan beraliran naturalisme, realisme dan romantimisme.
Karena sempat menyebrangi sungai-sungai bahkan rawa-rawa—pakaian yang Alys kenakan jadi basah. Kini Alys baru saja selesai mandi, tubuhnya telah dililit gaun A-line silk berwarna putih dengan model V-neck dan tali putih tipis yang bersandir di kedua bahunya. Gaun ini sudah ada di lemari kamarnya, Jimin bilang ia sudah menyiapkan semua kebutuhannya di sini.
Kamar luas yang terkesan elegan dan hangat berwarna coklat ini sangat membuat Alys betah untuk berdiam diri dan bermeditasi di sini selama berjam-jam penuh. Sayangnya hantu di dalam perutnya sudah meraung meminta makan sebab aroma ayam panggang yang menggelegar.
Kakinya melenggang secara otomatis menuruni anak tangga dan menuju ke arah dapur—rupanya Jimin telah menyiapkan makan malam untuk mereka. Tak hanya itu, bahkan meja kayu berbentuk persegi panjang yang diletakkan di dekat jendela yang terbuka itu sudah rapih tertutupi dengan taplak putih dengan satu vas bunga tulip di tengahnya, jangan lupakan dua lilin aroma yang sangat pendek dan kecil seperti tutup botol yang diletakkan di sampingnya; mengapit bunga.
Piring porselen berwarna putih telah ditata; satu untuk Alys dan satunya untuk Jimin.
"Woaw, adikku sudah mandi rupanya. Pantas saja wangi sekali." Jimin berkata seolah-olah Alys adalah Persephone¹ yang bisa mengeluarkan aroma dari tubuhnya sesuai perasaan hati yang sedang ia rasakan. Aroma manis yang kalem dan powdery menyeruak seiring langkah wanita itu menerjang.
"Aku tidak tahu kau bisa memasak, Jim," kata Alys sembari menghampiri Jimin yang sedang menunggu ayamnya matang di panggangan.
Jimin berkacak pinggang, matanya terus tertuju pada ayam utuh yang memutar di dalam panggangan itu, "Ketika melanjutkan sekolahku di negara lain, kau pikir siapa yang memasak untukku, hm?" kini pandangannya tertuju pada Alys, kemudian dia mengangkat tangan kanannya yang tertutupi dengan sarung tangan kain kotak-kotak putih merah sembari menatapnya penuh kebanggaan, "Tentu saja tanganku yang hebat ini," ucapnya penuh rasa bangga.
Alys hanya menggeleng-geleng memaklumi, kemudian memilih untuk mendudukkan dirinya di atas kursi kayu yang selaras dengan meja makan mereka. Ia memilih duduk lantaran kesulitan untuk membalas candaan yang selalu Jimin lontarkan, ia begitu kaku untuk bercanda, meskipun sebenarnya ia sangat ingin. Ia menopang dagunya dengan kedua punggung tangannya, maniknya tertuju pada sebuah material bersilau yang terpatri di langit sana.
Bulan purnama bersinar terang dengan begitu indah, ditemani dengan bintang-bintang. Di bawah sini, di samping jendela ini ada taman bunga—banyak bunga yang tumbuh di sana; sangat beragam. Lalu ada satu pohon bunga tabebuya berwarna pink, lalu setelahnya ada pagar cokelat dengan beberapa lampu taman di dekatnya.
Semerbak angin tentram menyerbu tubuhnya, Alys memejamkan matanya, membiarkan rambutnya yang masih basah diterpa angin. Alys sangat menyukai sensasi ini. Ketika angin menyentuh kulitnya, ia merasa bebas. Dan entah kenapa, angin di sini lebih membuatnya terasa sangat bebas. Hatinya terasa lega, dan benaknya terasa tentram—tanpa kecemasan sedikitpun. Ia mengembangkan senyuman di bibir merkah yang terpoles liptint merah itu.
Tanpa ia sadari, Jimin memperhatikan dirinya. Senyuman ikut mengembang dari bibir sang pria, seolah-olah ketularan Alys. Angin menusuk dadanya, menghantarkan debaran anomali yang belum ia sadari. Namun—ketika dentingan panggangan berbunyi—pria itu tersadar akan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lointain Souvenir | PJM
FanfictionLointain Souvenir : Distant Memory Alys dengan segala ketakutan yang ada di dalam dirinya membuat kehidupannya terasa suram, tidak memiliki ekspresi. Bertahun-tahun Alys merasa kesepian dengan hidup yang berulang; latihan menari balet, menjadi peri...