xiv. kenangan terakhir

77 25 15
                                    

Jimin dan Alys mungkin bagaikan minyak dan air—yang takkan pernah bisa disatukan bagaimanapun caranya. Bagi Alys, mungkin Jimin adalah rumus matematika, yang hanya bisa menempel sementara di dalam otaknya, dan kemudian hilang dalam waktu sekejap. Jimin mungkin hadir hanya untuk sekedar mampir membawanya ke hilir. Kemudian menorehkan luka melalui harapan-harapan yang Alys ruahkan.

Alys menatap tangan Jimin yang tengah menggenggamnya, mereka sedang berkeliling di sebuah perbukitan. Merasakan deru angin menawan dengan bunga-bunga yang bergoyang riang. Suara ombak terdengar riuh di permukaan, entah mengapa rasa sesak begitu mengurai, sampai-sampai Alys terberai. Seharusnya ia bahagia, karena masih memiliki kesempatan untuk bersama pria yang ia cintai—meskipun untuk terakhir kali.

"Di sini memang tidak ada hiburan yang menyenangkan, namun aku bisa memberikanmu semua kesenangan. Apa yang kau mau, Alys?" tanya Jimin sembari terus membawa langkahnya.

Alys tidak menjawab, ia hanya diam dengan hati yang sesak. Sebab rasanya sudah berbeda. Kemudian Jimin menoleh dan menangkup pipinya, "Ayolah, Alys, ini kesempatan terakhir kita. Kau tidak ingin semua ini terbuang sia-sia, kan?"

Alys mengangguk, "Aku ingin begitu, namun aku tidak bisa. Aku terlalu kalut dalam emosi."

Jimin menyunggihkan senyuman, senyuman yang malah terkesan menyedihkan untuk Alys. "Kalau begitu lakukan hal yang sering kau lakukan di saat kau kalut di dalam emosi," usul Jimin dengan senyuman sumringahnya.

"Hal yang sering aku lakukan?" tanyanya bingung. Lagi, Jimin mengangguk. Kemudian memutar tubuh Alys tanpa aba-aba.

Jimin beralih mendekat dari belakang, membuat Alys meneguk salivanya sembari menahan napas—tatkala tangan Jimin menyusup dari pinggang menuju perutnya. Alih-alih memeluk, Jimin malah mengambil tangan kiri Alys untuk ditaruh di bahu kanan, lalu mengambil tangan kanannya untuk ditaruh di bahu kiri. Menyilang. Kemudian Jimin mengarahkan tangan gadis itu untuk menepuk bahunya sendiri dengan lembut.

"Butterfly hug?" tanya Alys yang sadar.

Jimin mengangguk dari belakang, "Aku sering melihatmu melakukan ini setiap kau sedang sedih, jadi aku rasa kau bisa mengendalikan emosimu dengan baik karena ini. Maka lakukanlah di detik ini, untuk kita." kemudian Jimin mendekatkan langkahnya, dan beralih merengkuh tubuh mungil itu pelan sembari mengarahkan tangan Alys agar terus menepuk.

"Ji..." Alys melirih, tatkala ia sadar Jimin sudah kelewatan dengan memeluknya dari belakang.

"Tiga menit, hanya tiga menit."

Ada sesak yang tertahan di dalam lubuk kenangan, mengusak air mata untuk jatuh berurai tatkala penciuman pria itu mencoba menghirup surai Alys dalam dan sesekali mengecupnya dengan penuh idaman. Air mata menyeruak di pelupuk, bergenang bimbang harus jatuh membasahi pipi atau tidak. Namun Alys memilih tidak. Ia memilih menahan air matanya.

Alys selalu menyukai hal ini, ia selalu suka kalau Jimin memperlakukannya seperti anak-anak yang perlu dilindungi. Jimin memperlakukannya sangat lembut bak dirinya seorang berlian yang bisa pecah kapan saja.

"Alys ... bagaimana aku bisa hidup tanpamu, hm?" suara Jimin menyendu, ada kesedihan yang terkuar, pun Alys merasakan bahwa rambutnya mulai membasah.

"Kita sudah bergantung sedari kau masih di dalam kandungan. Aku selalu bersamamu, menemani senang sedihmu, memperhatikan gerak-gerikmu, dan terkekeh dengan kelakuanmu—meskipun kau tidak tahu keberadaanku. Tetapi hal itu sangat menghiburku," tutur Jimin diiringi kepalanya yang berpindah tempat. Kini dia beralih menyusuri ceruk leher Alys, mengusak ke sana mencari kehangatan—mampu membuat Alys menahan napasnya.

"Kau tahu? Ketika awal ditugaskan, aku merasa bahwa ini akan menjadi tugas paling berat di hidupku. Bayangkan saja, aku harus mengabdikan hidupku untuk mengawasi seorang bayi mulai dari kandungan hingga ia dewasa dan mendapatkan kekuatannya. Aku paling benci anak kecil di dalam hidupku, awalnya. Menurutku mereka merepotkan, rewel dan menjengkelkan." kemudian Jimin terkekeh sebagai jedanya. Sungguh, Alys ingin lari dari sini sekarang juga. Napas Jimin sangat terasa di lehernya, geli.

Lointain Souvenir | PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang