xvi. kesempatan terakhir

88 27 6
                                    

Jauh dari sana, Jimin melihat semua yang terjadi. Ia melihat bagaimana semestanya meringkuk di dalam kesedihan di atas ranjang di bawah rembulan. Rasa ingin mendekap-menyalurkan seluruh kehangatan tersirat di dalam benak, namun Jimin sadar—ia kalah telak. Kalah dengan keadaan yang memaksa dan juga takdir yang mengudara. Semua itu menampar Jimin dengan realita yang membara.

Ares benar, Jimin harus dimusnahkan kalau ingin pergi jauh dari Alys. Hidupnya terikat dengan Alys—ia tidak bisa menjauh—seperti saat ini, ketika Alys dikembalikan, tubuhnya ikut kembali ke Italia seperti yang Alys lakukan. Ia hanya bisa mengintip di balik jendela, menunggu saat-saat Alys mengambil keputusan untuk meminum obat penghapus memorinya—karena hanya setelah itu lah, ia bisa lega mendedikasikan hidupnya untuk dimusnahkan.

Sedangkan, gadis di dalam sana masih menangis di dalam keheningan malam. Tangannya mencoba membekap mulutnya berharap tangisnya tertahan—takut orang rumah mendengarnya. Kemudian sebuah bisikan datang entah dari mana, seperti suara Ares yang mencoba berkomunikasi dengannya. Seperti,

“Kau ingin merasakan kehangatan Jimin untuk yang terakhir kali?”

Untuk sesaat Alys terdiam, kemudian mengangguk setelah beberapa detik berlalu.

Jimin yang telah memasrahkan segalanya hanya bisa merasa lega dan bahagia mendapatkan kesempatan terakhir untuk menenangkan Alys di dalam sana. Dengan begitu, dalam sekejap, penjara mistis yang seolah-olah mengurungnya bagaikan hilang dilahap angin. Ia bisa bergerak bebas dan melangkah masuk ke dalam ruangan yang tak begitu besar itu.

Dia tidak ingin macam-macam, hanya ingin menenangkannya.

Oleh karena itu, ia melangkah menuju ranjang, kemudian duduk di tepian dan beralih memeluk perempuan itu yang sedang meringkuk dengan wajah tertekuk. Alys memekik kaget, namun langsung merasakan perasaan yang serabutan dalam sekejap ketika sadar bahwa sosok yang melilit pinggangnya serta menyelipkan wajahnya di perpotongan lehernya adalah Jimin.

Ia merasa bahagia, senang, sedih, marah dan juga kesal. Ia tidak tahu. Sangat tidak tahu. Perasaan apa yang sedang mendiami hatinya saat ini.

"Alys..." Jimin melirih, entah kenapa—lirihannya mengiris hati Alys. Seperti nada kesedihan menghujaminya berulang kali.

"We are not the same, and never will be."

Alys menahan napasnya. Sesak. Bukan ini yang Alys mau. Ia hanya ingin kehangatan dari Jimin, bukan lagi perkataan menyakitkan.

"I know it hurts, but it's the fact. You need to accept it. Please, for your future life."

Lagi-lagi air mata menyebalkan itu turun, namun kali ini Alys biarkan mengalir begitu saja meskipun di hadapan Jimin. Ia hanya ingin menangis dan menangis—di dekapan Jimin—karena ini sekali untuk seumur hidup.

Jimin menutup matanya, ia menarik napas panjang—menahan perasaan negatif yang muncul di dalam hatinya. Ia menahan sesuatu yang begitu berat di dadanya, Alys merasakan hal itu.

"I love you forever, dan itu adalah fakta dan nyata," ujarnya diakhiri dengan sebuah kecupan singkat di leher Alys—hanya sebuah tempelan bibir untuk menahan isakan. Sedangkan Alys malah semakin banjir air mata, tubuhnya bergetar hebat. Bukan karena kisah cintanya yang menyedihkan—melainkan karena orang yang dicintainya akan segera dilenyapkan.

Alys mencoba menetralkan emosinya, ia mencoba tenang dan membiarkan Jimin menceritakan sepercik mengenai kisahnya.

"Setelah merenung—aku rasa aku salah memperlakukan Helen. Mungkin otakku berpikir aku memperlakukannya sebagai tunanganku, aku juga sudah mencoba mendoktrin hal itu sedari lama sekali. Aku mencoba memusatkan seluruh duniaku hanya untuk Helen—namun entah kenapa, makin ke sini—Helen malah lebih terasa seperti sahabatku."

Tidak. Alys tidak bahagia mendengar pernyataan ini. Alys malah semakin kesal, karena kelabilan Jimin yang ternyata lebih parah darinya.

"Aku tidak akan menyalahkan Helen maupun ayahnya, karena ini murni salahku. Dan mungkin, karena caraku mencoba mendoktrin paksa diriku bahwa aku mencintai Helen dan aku adalah tunangannya—itu malah bertolak belakang dengan hatiku. Masa di mana seharusnya aku merasakan kebebasan tentang merasakan cinta yang meletup-letup kepada seseorang yang hatiku pilih—malah terikat dengan hal yang tidak bisa hatiku pilih. Kau tahu, jatuh cinta itu sulit. Kau tidak bisa memilihnya kepada siapa hatimu berlabuh, bukan?"

"Aku tetap tidak membenarkan perbuatanku. Menduakan seseorang itu sama sekali tidak benar, meskipun kami dijodohkan sekalipun, Helen adalah tanggung jawabku. Tindakanku tetaplah salah, dan aku tahu—kau tidak akan suka dengan hal itu," timpal Jimin.

Alys setuju. Dia tidak akan mau menjadi orang ketiga di hubungan seseorang. Ia tidak mau menjalani hubungan yang salah. Ia tidak ingin menyakiti hati wanita manapun. Hanya segini saja, ia sudah merasa bersalah dengan Helen, bagaimana kalau diteruskan?

Tidak, hidupnya tidak akan tenang!

Oleh karena itu, ia masih memiliki sedikit kelegaan untuk melepaskan Jimin.

"Mungkin ketika dilenyapkan nanti, kau akan mengira aku lari dari tugasku, segala tanggung jawabku." Jimin meneruskan ucapannya, "Namun kau salah. Ayahku menjelaskan sesuatu padaku; awalnya ayah Helen akan membalaskan kesalnya padamu, namun ayahku mengatakan bahwa ini berasal dari tugas yang diberikan padaku juga. Jadinya ia yang akan menanggung hukumannya, kau sama sekali tidak tahu apa-apa."

"Lalu? Ayahmu yang dihukum tetapi kenapa kau yang dilenyapkan?"

"Karena hukumannya adalah melenyapkan anaknya."

Alys tercengang. Sekejam itu? Jujur Alys bingung harus berkomentar apa, karena mungkin sakit hati Helen tidak sebanding dengan ini—namun—haruskah dengan cara seperti itu? Kekejaman yang dibalas kekejaman tidak akan pernah berakhir dan malah berujung kepada sebuah dendam.

"Ayahmu setuju?"

Jimin menggeleng, "Meskipun terkesan jahat—itu tidak sepenuhnya berlaku kepada anak-anaknya. Makanya ia memilih memusnahkanku. Menjadi sebuah debu yang terbang tertiup angin. Aku tidak akan memiliki tujuan setelah ini, tidak mengenal siapapun dan tidak memiliki siapapun, hanya seperti angin yang bimbang dengana arahnya. Tidak bisa masuk ke dalam dunia bawah dan akan berkelana sendirian di dunia."

Mendengar hal itu, mampu membuat hati Alys bergejolak. Matanya kembali memanas, "Jimin..." Alys berbalik dan ingin memerotes, namun tidak memiliki tenaga dan malah menangis karena penuturan Jimin.

Jimin menggeleng, Alys bisa merasakan itu di lehernya. "Kau akan menemukan sosok yang terbaik di sisimu nantinya. Yang akan memelukmu seperti ini suatu saat kelak. Yang akan menenangkanmu ketika tangismu menjadi-jadi. Dan yang akan memberimu kehangatan seribu kali lipat daripada diriku."

"Jim, berhenti..."

"Aku menyukai segala aspek di dalam dirimu, terutama senyumanmu. Jadi, tetaplah tersenyum. Dan tidak apa untuk menangis ketika kau ingin menangis. Aku akan merindukan Alys-ku di setiap hembusan napasku, meskipun nantinya—aku tidak akan mengenal dirimu lagi. Namun bisa aku jamin, bahwa Alysia Esterella akan selalu terkenang di dalam hatiku. Aku menyayangimu, Alys."

Dan itu adalah ucapan terakhir Jimin sebelum semuanya menghening dan berganti isakan yang menderu angin malam. Jimin masih berada di sana, tetap di sana memeluk semestanya, namun hanya diam sembari menahan air mata yang mulai menguak. Menyalurkan segala kehangatannya untuk sang bulan yang kedinginan. Sang bulan yang rapuh, dan sang bulan yang sendirian.

Hingga akhirnya mereka hanya menikmati momen itu, sampai akhirnya Alys lelah dan tertidur dengan sendirinya meski ia tidak mau.

Karena Alys yakin, ketika ia membuka mata. Jimin sudah tidak lagi ada di sisinya. []

HALOOOO MAAAF INI TELAT BANGET AHAHSBSHSJ

DRAFT-KU BUAT PUBLISH CEPET DAH ABIS 😭 *ada sih, tapi direvisi dulu wkwkwk

karena aku bakal ujian, aku gatau minggu depan bakalan bisa update apa engga. bukan masalah bisa atau engga sih, tapi tulisannya yang ada atau engga 🙂

tapi semoga aja aku bisa nulis di selang waktu ! soalnya kalo kelamaan update, aku khawatir kalian lupa alurnya :D

yaudah, dadahhhh ayyoutopia ! be happy please 💖

Lointain Souvenir | PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang