.
.
.
Happy reading
"papa nti kapan iya li puna mama?"
(Papa nanti Kapan ya Lily punya mama?)"Tidak tau"
"Ela?"
"Tidak"
.
.
.
Malam berganti begitu cepat, kini jam menunjukkan pukul lima subuh. Genta dan Stella berjalan beriringan. Tidak, hanya Genta yang berjalan sementara Stella mengayuh sepeda dengan pelan.
"Wuhh untung jea baik meminjamkan aku sepeda pink cantik miliknya." Stella berucap senang sementara Genta memandang dengan suntuk ke depan mengabaikan semua bualan yang di ucapkan gadis yang sedang mengayuh sepeda nya pelan agar tetap beriringan.
"Sebentar" Genta menghentikan langkahnya dengan segera ia meraba saku celananya yang bewarna coklat tua – kenapa guru selalu berpakaian kuno – Stella bergumam dalam hati, pikirannya menyatakan bahwa Genta yang kemarin itu lebih tampan.
"Apa yang kau cari pak tua?" Stella bertanya, kepalanya melongok ke arah tangan Genta yang meraba saku, berharap mendapatkan jawaban.
"Yang sopan kalau bicara, aku cuma mau ngambil kunci motor" Genta berucap tenang, tangannya menggerak-gerakkan kunci motor dengan gantungan berbentuk palet cat kecil yang berada di tangannya.
"Kalau ada motor kenapa kita jalan kaki?" Stella bertanya polos, kemudian menggerakkan bahunya agar posisi tasnya kembali benar.
"Cuma aku yang jalan kaki, sejak tadi kamu naik sepeda" Genta berucap dengan nada ketus kemudian berjalan mendekati rumah besar dengan mobil bewarna hitam terparkir rapi di depannya.
"Duhh pak Genta menghilang, apa aku harus lapor polisi?" Stella membesarkan suaranya agar Genta mendengar ucapannya. Matanya melirik Kanan dan kiri seolah mencari sesuatu yang kecil dan menghilang.
"Tidak usah mengada Ngada, tunggu disini aku mau mengambil motor" Genta berucap pelan kemudian memasuki rumah besar di hadapannya.
"Seperti ada yang berbicara tapi tidak ada orangnya, mengerikan. sepertinya di sini angker, lebih baik aku pergi lebih cepat." Stella berbicara keras kemudian terkikik geli. Dengan cekatan ia kayuh rodanya secepat mungkin. Rumah Genta dan rumahnya beda arah tapi rumahnya tak jauh dari halte tempat ia menunggu kemarin.
Namun beberapa orang seolah tengah menunggunya di sana, rasanya seperti tidak asing tapi Stella tidak bisa mengingat apapun. Semakin lama ia semakin mendekat, ada tiga orang di sana berdiri dengan beberapa benda tajam di tangan mereka.
Stella membelalakkan matanya, memutar arah sepedanya untuk segera pergi dari tiga orang berbadan besar yang seolah ingin menghadangnya.
"JIKA KAMU BERGERAK, PELURU INI AKAN MENEMBUS OTAKMU"
Stella terdiam, matanya ia pejamkan kuat-kuat berdoa dalam hati. Tak lama sepedanya ia taruh begitu saja dengan santai ia berjalan mendekati tiga laki-laki berbadan besar itu. Rambutnya yang sebahu sedikit tertiup angin seolah angin merestuinya untuk membunuh orang kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Teacher
RomanceTidak ada yang bisa menebak takdir, Berawal dari misi seorang seniman yang harus menjalani kehidupan seorang guru membuatnya menemukan hal-hal baru, termasuk cintanya. Namun apakah dia benar-benar bisa mendapatkan cintanya? Penasaran kelanjutan nya...