Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

Part 2

9.3K 668 37
                                    

Anna melirik jam di sisi kanan dinding kamar. Tepat pukul 20.00. Sebentar lagi suaminya pulang. Ia ingin beranjak dari tempat duduk dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam, tetapi urung ketika ingat 2 jam yang lalu Axelle menelepon jika dia akan pulang terlambat. Ada meeting dengan klien, dan itu artinya Axelle sudah makan malam di luar.

Akhirnya, Anna kembali menyibukkan diri di meja kerja. Mendesain sebuah kalung full diamond pesanan salah satu customer. Meski sejak tadi Anna lebih banyak terdiam, tatapannya kosong, terarah pada lembaran kertas putih di hadapannya. Sesekali punggung tangannya mengusap cairan bening yang menggenang di mata.

Kedatangan Ellen siang tadi cukup menjadi pukulan berat bagi Anna. Anna tahu, sebagai seorang ibu, Ellen sangat menginginkan seorang cucu dari putra tunggalnya. Tapi, bukan salah Anna jika sampai saat ini keinginan wanita itu belum juga terpenuhi.

"Kekayaan Axelle tidak akan habis dimakan tujuh turunan, seharusnya kau tinggalkan karirmu dan fokus menjalani program kehamilan."

Ucapan Ellen begitu menusuk hati Anna. Ellen benar. Axelle mewarisi perusahaan besar milik kakeknya yang tersebar di beberapa kota. Jangan takutkan soal harta. Selain kekayaan milik Axelle, Anna merupakan putri seorang pengusaha sukses, yang pastinya tidak akan membiarkan putri kesayangannya hidup kekurangan.

Perlahan, jemari Anna menggoreskan pensil ke atas kertas. Membuat sebuah sketsa kalung dengan liontin bergambar burung merpati. Setitik cairan bening terjatuh ke atas kertas. Anna menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan agar tangisnya tidak bersuara. Ah, ia benci menangis. Namun, inilah yang selalu terjadi ketika seseorang mengusiknya tentang program kehamilannya yang lagi-lagi gagal.

Bukan maksud Anna tidak mau meninggalkan dunianya sebagai seorang designer. Sungguh, sampai saat ini Anna masih menekuni pekerjaannya, bukan karena ia sedang menumpuk harta kekayaan. Bukan pula untuk mencari popularitas. Alasannya hanya satu, sebagai pelampiasan atas rasa kesedihannya karena berkali-kali ia gagal menjadi istri yang sempurna untuk suaminya, dan tidak bisa menjadi menantu yang dibanggakan ibu mertuanya.

"Selamat malam, Sayang."

Suara baritone di belakang sana membuat Anna berjengit. Secepat mungkin wanita itu menghapus sisa-sisa air mata dengan jari-jarinya. Lantas, ia bergegas meninggalkan meja kerja dan setengah berlari menyambut suaminya.

Anna meraih tangan Axelle dan mencium punggung tangannya, sementara lelaki itu mengusap kepala Anna dengan lembut.

"Sudah makan? Tadi aku bertemu Papa di café. Papa menitipkan pudding cokelat untukmu," ucap Axelle.

"Oh ya? Kebetulan aku lapar." Anna menjawab dengan suara sedikit serak. "Ayo makan bersama."

Axelle mengernyitkan dahi, kedua tangan kekarnya menangkup wajah istrinya. "Kau kenapa?"

"Kenapa?" Anna memperlihatkan senyum palsunya, berusaha menyembunyikan genangan air di pelupuk matanya. "Aku baik-baik saja."

Percuma menyembunyikannya. Axelle sangat mengerti Anna. Hanya menatap mata sayunya saja, Axelle sudah tahu jika Anna sedang membutuhkan bahu untuk bersandar. "Katakan padaku, Anna. Jangan sembunyikan kesedihanmu seorang diri."

"Aku tidak apa-apa." Anna menggeleng, kembali menggigit bibirnya.

"Mommy menemuimu di butik?"

"Tidak, Axelle. Aku hanya sedikit kelelahan."

"Aku tahu, Sayang." Axelle meraih tubuh Anna dan memeluknya erat-erat. "Jangan dengarkan Mommy. Sejak dulu kita sudah tahu sifat Mommy. Bukankah kita sudah sepakat untuk menutup telinga dan fokus pada kehidupan kita tanpa perlu mendengarkan kalimat yang tidak penting dari orang lain?"

Edelweiss untuk AnnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang