2.

416 58 2
                                    

Rasanya menjalani weekend seorang diri tidak terlalu buruk. Meski rasanya sedikit getir.

Getir pada diri sendiri lebih tepatnya.

Tidak jelas.

Membaca lelucon. Menonton serial komedi. Tawaku bisu dari 2 hari lalu.

Cting...
Jan lupa malem ini konser Tulus!

Hilang minat. Itulah yang saat ini sedang kurasakan. Setelah banyak menimbang tidak ada salahnya meramaikan diri ditengah-tengah syahdunya lagu Tulus, meski pada akhirnya hanya hening yang melekat.

Malam ini satu divisi kami sepakat menghabiskan minggu malam dengan konser Tulus yang sudah sangat diinginkan dari lama.

Karena memang sejak dua hari lalu hubungan ku dan dia sedikit renggang, rasanya pergi tanpa izin sudah bukan hal penting. Dan aku pikir, apa pedulinya?

Stage begitu dekat dari kami saat ini. Tulus dengan lagu yang 2 hari kemarin diputar oleh penyiar radio 102.2 fm membuatku semakin merasa tidak baik-baik saja. Apalagi dengan penutup lagu hati-hati di jalan.

Kukira kita akan bersama

Begitu banyak yang sama

Latarmu dan latarku

Kukira takkan ada kendala
Kukira ini 'kan mudah

Kau-aku jadi kita

Kukira kita akan bersama

....

Hati-hati di jalan

Sudah ada air mata. Sekuat apapun kutahan tetap saja tidak bisa. Dey yang lebih dulu peka membawaku pada dekapnya.

Sudah kuceritakan semuanya hingga dia tak lagi mendekap dengan pertanyaan 'kenapa?'.

Lebih baik setelah usapannya dipunggungku dengan sebuah kalimat "Best woman only for right man. No other.".

"Yuk pulang." Ajaknya.








***



"Beb, mau mampir gak?"

"Kemana?"

"Biasa. Kemaren gue bm banget tapi karena hujan gak jadi."

"Yaudah ayok."

Aku duduk dikursi penumpang. Dey bukan tipikal orang yang akan banyak memberi komentar saat banyaknya kerumitan hidup yang aku ceritakan.

Dia satu-satunya teman yang tersisa dari sekian banyaknya orang yang kukenal dalam circle pertemanan. Tanpa toxic.

"Om Nudi, biasa 2 ya Om."

"Iihhh seneng banget ada Mbak Dey sama Mbak Chika. Ok siap. Minumnya apa nih?"

"Jeruk anget aja kali ya Om, tapi agak manis asem gitu ya, kawanku ini butuh yang seger-seger buat ngalihin isu rumah tangga."

"Loh, Mbak Chika udah nikah toh?"

"Belum Om. Jan percaya dia. Musyrik."

Malam ini cerah. Semua meja hampir terisi. Ketika aku menatap sekeliling selain Dewi alias pengamen banci yang cukup sering kami goda ada satu meja yang tidak asing.

Karena saking seriusnya menatap pria berkacamat di meja ujung bahu dikejutkan oleh usapan Dewi.

"Mbak, lagi galau ya?"

"Hah, kata siapa?"

"Tuh, temenmu."

Aku menjeling kearah Dey.

"Jadi mau aku nyanyiin apa biar hari ini ada ngakak-ngakaknya?"

"Btw mas-mas yang diujung ganteng ya. Katanya jomblo. Tadi Dewi tanya." Sambung Dewi dengan suara yang cempreng karena dimirip-mirip suara perempuan.

Seperti menangkap maksud dari tatapanku pada pria tersebut. Dewi menjelaskan tanpa kuminta.

"Wihhh gercep banget Dewi. Boleh kali mintain nomor telponnya." Kata Dey.

"Minta sendiri, kalo Dewi yang minta nanti Dewi gak mau bagi-bagi. Mending buat Dewi, lumayan. Ganteng."

"Hahah, kalah saing dah gue sama Chika sama elu."

"Iya kan cantikan Dewi." Mengibas ekor jilbab yang dipakainya.

"Mbak Chika jan sedih-sedih. Biar Dewi aja."

"Lah lu sedih kenape?" Tanyaku.

"Sedih karena Dewi tuh maunya jadi Dewi aja tapi kalo dirumah dipaksa jadi Dewa."

"Ya Allah, gue makin sedih dengernya."

"Serem banget." Ucap Dey.

Obrolan tidak diteruskan karena Om Nudi sudah mengantarkan pesanan kami.

Dewi sudah berlalu dengan kecrekannya.

Cara berjalan dan berkerudungnya sungguh rapi. Dengan kaki yang jenjang dan pakaian yang cukup ketat jika dilihat dari belakang tidak akan ada yang mengira bahwa itu laki-laki.

Setelah kehilangan banyak tenaga, menghabiskan seporsi pisang bakar keju rasanya aneh. Tidak semangat.

Dey mengajakku pulang. Aku berdiri dan berjalan lebih dulu.

Brukkk...

Sudah kubilang aku tidak semangat. Kali ini siapa lagi yang kutabrak.

Saat kutatap, ada rasa kaget tentunya.

"Ma.. af." Aku sedikit terbata.

"Duh mas sorry ya, temenku lagi kurang sehat. Gapapa kan ya?" Bela Dey.

Dia hanya menatap kami dan berlalu tanpa kata.

"Dihh sombong banget sih." Teriak Dey.

"Sumpah ya, ganteng sih ganteng tapi kalo sombong begitu fix gak banget."

"Baru ganteng udah sombong."

"GGS, ganteng ganteng sombong."

Aku hanya diam. Sesekali melirik Dey dan kembali menatap jalanan. Kubiarkan dia meluapkan kekesalannya.

Perjalan pulang ini begitu lengang. Mungkin karena sudah larut malam. Beruntungnya apartment Dey dan aku hanya bersebrangan. Jadi Dey hanya perlu putar balik tanpa harus jauh-jauh pulang.

"Btw, cowok tadi itu yang kemaren gue ceritain. Yang kesenggol pas gue buka pintu mobil."

"Hah?"

RADIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang