7.

239 38 5
                                    

Hari dimana aku mengetahui Ayran adalah si penyiar radio. Entah kenapa menunggu jam pulang kerja terasa lebih menyenangkan.

Menanti suaranya yang lebih renyah dibalik speaker radio seperti candu.

Hari itu pun Ayran berkata bahwa acara ngobrol curcol di setiap siarannya hanya untuk event sekali. Tapi ternyata banyak yang memintanya terusan-terusan.

"Aku besok ada pemotretan di studio. Mbak besok ngantor kan?"

Aku mengangguk.

"Nanti kalo free kita makan siang bareng ya."

"Heh puasa."

"Astaga, maaf masih belum kebiasa. Haha"

Tawanya lepas hanya gara-gara lupa saat ini berada di bulan ramadhan. Padahal sudah beberapa hari berlalu.

"Yaudah deh semoga ketemu. Mbak hati-hati pulangnya."

"Kamu juga."

Kemarin saat kami berpamitan sebenarnya ada niatan untukku memberinya pembeda dengan menghilangkan embel-embel "Mbak" dalam setiap kalimatnya. Tapi aku urungkan.

Mengingat sudah beberapa hari aku mendiamkan Ara. Rasanya tidak adil.

Statusku masih menjadi kekasihnya. Dan aku tidak ada niatan selingkuh. Tapi Ayran...
rasanya tidak ikhlas melepasnya untuk yang lain.

Drttt...

IbuIbu

Dengan kamu memberinya kesempatan saling menautkan jemaripun itu sudah termasuk selingkuh kak.

Terkejut!
Siang ini setelah semalam aku berbicara mengenai hubunganku dan Ara, Ibuku baru saja membalasnya. Beliau ini memang wanita super sibuk. Lebih sibuk daripada aku atau Ara.

Aku pun menceritakan Ayran pada Ibu tidak terkecuali dengan tingkah lakunya. Dan yang sudah kuduga adalah, Ibu tidak akan pernah menyalahkan Ara atas perkataanya tempo hari yang cukup membuatku berpikir tujuh kali untuk tetap melanjutkan hubungan ini jika harus dibawa ke arah yang lebih serius.

Konsentrasiku buyar. Ara, Ibu dan Ayran. Semuanya saling berseteru dalam pikiranku yang sudah overthinking sejak kemarin.

24/7

Aku gak mau tau, sore ini kita ketemu.

Kukirimkan pesanku pada Ara atau Zayara. Dia adalah lelakiku yang kubilang sabarnya begitu luas.

Saat ini dia sedang ada dinas kunjungan ke Bali. Seharusnya masih satu minggu lagi dia kembali ke Jakarta. Tapi aku merasa semua ini perlu dibicarakan sekarang.

Terserah aku yang kembali egois memaksanya untuk datang ketika sedang sibuk bekerja. Bukankah, jika dia serius denganku pekerjaannya bisa ditunda barang sebentar?

Ara menyetujui pertemuan kami. Katanya flight tercepat akan sampai pukul 4. Saat ini aku sudah siap-siap menjemputnya di Soetta.

Beruntung tidak banyak pekerjaan yang harus kutangani. Dan semua laporan sudah aman sejak siang tadi.

"Hati-hati beb. Inget juga lagi puasa."

"Haha. Ok."

Aku tidak mengerti peringatan dari Dey mengarah kemana. Karena tidak ingin terjebak macet aku bergegas menuju parkiran dan melajukan mobil kearah Tangerang.
















Aku menunggu di terminal 3 sesuai instruksinya tadi. Samar kulihat laki-laki dengan tangan yang menyeret koper hitamnya berjalan horizontal menujuku.

Aku berdiri di samping mobil. Dia semakin berlari.

Meski dengan maskernya, aku tau dia menunjukkan rasa cemas, rindu, sedih, dan kesal.

"I Miss You a lot." Peluknya sedikit bergetar. Sepertinya dia menangis. Aku hanya berani mengelus punggung bidangnya.

"Me too." Gumamku.

"Maaf karena tidak memikirkan perasaanmu. Ayo kita perbaiki. Kamu mau kan?"

Kasih masih berpelukan.

Aku hanya mengangguk dan semakin erat memeluknya.

Kurasa dahiku basah, beberapa kali kurasakan bibirnya mengecup keningku tanpa jeda.

Aku mundur. Merenggangkan pelukan kami.

"Kenapa?" Kulihat pipinya basah. Matanya memerah.

"Inget puasa."

"Haha, iya iya maaf. Kalo udah ketemu suka lupa semuanya."

"Hilih."

"Ok. Sebagai permintaan maafku, kamu boleh minta apa aja dari aku."

"Beneran?"

"Sure hon."

"Frank and Co." Kataku lantang.

"Kuras hartaku maniiisssss! Ambil card aku sampe kamu puas." Ujarnya.

"Haha sesekali gasih aku minta yang ada harganya. Tapi itu nanti aja sekarang aku pengen jajan mc flurry berries. Dari kemaren BM itu belum ada yang nurutin."

"Laksanakan. Mau drive thru atau sekalian dine in?"

"Drive thru aja, bukannya di jalan sekalian pulang ke apart."

"Boleh sayang boleh. Gas yuk."

"Tapi cheese burger juga." Puppy eyesku sudah menyala.

"Iya boleh sok mau apa lagi?" Jawabnya lembut.

Akhirnya kami berbaikan lagi. Entahlah, bagiku setelah ibu memberi balasan seperti itu berarti aku harus tau posisiku batasnya sampai mana.

Apalagi jika Ara dengan jelas tau aku yang hampir mengarah pada situasi yang sebenarnya aku sendiri pun tidak suka.

Perselingkuhan!

Cheating is a disease whose cure is only in oneself.

Baik aku, ibu dan Ara sama-sama membenci hal tersebut.

Satu hal yang selalu ibu tekankan dalam hubunganku ini "Sebuah komitmen dibangun atas kesadaran dan keinginan kedua belah pihak. Jika kamu menginginkan bersamanya berarti kamu tidak boleh bersama yang lain."

So lucky I'm have them. Right?

***





Si Ayran dikemanain dong? (Gigit jari)

RADIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang