08

10 3 0
                                    

Jigme dengan kepalanya yang sekeras batu, tidak mendengarkan perintah Madharsa yang menyuruhnya keluar. Memang benar ia meninggalkan kamar Madharsa, seperti yang disuruh, bukan berarti ia meninggalkan kos-kosan milik kekasihnya itu, bukan?

"Kenapa nduk? Tadi Yangti dengar Dharsa berteriak." Tanya Yangti, yang tiba-tiba mendatangi Jigme, yang sedang melamun di sofa ruang tamu kos-kosan itu.

"Berantem, yangti," jelasnya, singkat, padat, dan jelas.

"Lho, ada apa memangnya?" Tanya Yangti, penasaran.

"Dharsa salah paham sama saya."

"Cepat-cepat diselesaikan lho ya, ndak baik bertengkar lama-lama," nasihat Yangti, yang diangguki oleh Jigme.

Jigme yang sedang menunggu Madharsa keluar dari kamarnya, akhirnya menyerah. Sudah dua jam, ia duduk di sofa itu, menunggu. Ia bangkit dari duduknya, ber hendak meninggalkan Madharsa dan mencoba lagi besok hari. Namun suara Madharsa memberhentikan langkahnya, ia berbalik dan menghampiri laki-laki itu.

"Dharsa," sapanya, dengan tangan kanannya yang menyentuh pipi sang kekasih.

"Ayo masuk," ajak Madharsa, yang sepertinya sudah lebih tenang dari sebelumnya.

Tangan Madharsa menarik pergelangan tangan Jigme, menuntunya untuk masuk, kamarnya.

"Jelasin," pinta Madharsa, seusai ia mendudukan dirinya dikarpet.

"Saya sudah tidak ada apa-apa lagi sama dia, Dharsa." Jelasnya, dengan intonasi yang selembut mungkin, takut ia malah menyulutkan emosi Madharsa kembali, "Saya bener-bener gak sadar kalau saya natap dia seperti itu."

Raut muka Madharsa yang sinis, membuat Jigme gugup.

"Demi Tuhan, Sa."

"Saya harus gimana supaya kamu percaya?" Jigme memelas, tanda ia pasrah akan kelanjutan masalah ini.

"Ya, gak tau. Mas pikir kek!"

Jigme menarik napas dan menghembuskan nya secara perlahan, berhadapan dengan manusia yang sedang di puncak emosinya memang sulit, namun menghadapinya dengan emosi pula akan membuatnya semakin rumit. Jigme berusaha bersabar.

Bukan, bukan Madharsa yang berlebihan, tapi Jigme yang tidak tahu apa-apa tentang Madharsa dan rasa kepercayaan dirinya yang nihil dapat dilihat.

"Saya tau ini bukan cara yang benar, tapi saya mau mencoba. Biarkan saya menelponnya, ya?"

Jigme membuka telepon genggam nya dan ia tampak sedang menghubungi seseorang. Ia menekan tombol speaker pada telpon yang sudah tersambung itu.

"Halo?" Sapa manusia di seberang sana.

"Dega, ada yang mau berbicara dengan kamu."

"Siapa?"

"Pacar saya."

"Oh iya, ada apa?"

Madharsa menggelengkan kepalanya, ia tak mau berbicara, gengsi yang melahap habis semua keberaniannya.

"Ia ingin bertanya, kalau kita sudah putus 'kan?"

"Oh," Dega menyimpulkan kedua pasangan ini sedang bertengkar dan mengatasnamakan dirinya. "Iya, sudah kok. Tahun 2015, waktu saya dijodohkan dengan anak dari temannya papa saya."

"Tapi itu gak menutup kemungkinan kamu bakal selingkuh!"

Jigme memutus sambungan telepon dan menatap Madharsa, kesabarannya sudah ada di puncak sekarang.

"Dharsa, kamu setidak percaya itu 'kah sama saya?" Yang ditanya hanya diam, membisu.

"Saya gak ada niatan atau pikiran sekalipun untuk kembali ke mantan saya," jelasnya, dia meraih tangan Madharsa, mencoba memenangkan kekasihnya, "lagi pula kami pacaran saat SMP, cinta monyet, Dharsa."

Ia berhenti mengelus tangan sang kekasih dan memindahkannya ke surai milik Madharsa.

Madharsa yang melihat laki-laki ini begitu sabar menghadapinya, pun menyerah. Air mata yang sedari tadi 'tak terlihat akan turun, kini turun dengan derasnya.

Jigme merengkuh badan Madharsa, mengusap punggung yang kata Madharsa 'tak sebidang itu. Ia mengecup kening Madharsa, lama dan dalam.

Sementara Madharsa, masih menangis di dada Jigme.

"Jangan lukai diri kamu lagi, ya?" Pinta Jigme, prihatin melihat kulit sang kekasih yang tergores-gores.

"Mas, gak suka, ya?"

"Iya, saya gak suka kamu melukai diri kamu sendiri." Ucapnya, kemudian mengecup lengan Madharsa yang berbekas oleh sayatan.

Semua ini, semua yang Jigme berikan padanya, mulai dari sentuhan, perhatian, hingga waktu, semuanya terasa baru bagi laki-laki itu.

Madharsa yang selalu hidup dengan kemandirian, 'tak dapat bantuan maupun dukungan dari siapapun, sehingga ia terbawa oleh perilaku Jigme.

Siapa yang tidak jatuh cinta pada Jigme jika diperlakukan seperti itu? Ia yakin, 'tak ada. Bagaimana tidak, ekstensi Jigme dapat menyempurnakan kehidupan seluruh raga dan jiwa.

Kanvas & KuasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang